Culture Screen Raves

‘Jatuh Cinta Seperti di Film-film’: Membedah Seraya Mengkritik Genre ‘Romcom’

Apa jadinya saat seorang jatuh cinta pada cinta lama yang sedang berduka?

Avatar
  • December 9, 2023
  • 6 min read
  • 4024 Views
‘Jatuh Cinta Seperti di Film-film’: Membedah Seraya Mengkritik Genre ‘Romcom’

Peringatan: Artikel ini mengandung spoiler

Ada formula yang biasanya digunakan di film-film romcom: berawal dari meet-cute—pertemuan pertama menggemaskan antara dua karakter dan mengarah pada hubungan romantis. Diikuti kedua karakter yang punya perbedaan latar belakang, serta konflik yang dipicu kesalahpahaman. Enggak lupa, hambatan terbesar yang harus diatasi karakter utama datang dari diri sendiri. Formula-formula ini juga diterapkan Yandy Laurens dalam Jatuh Cinta Seperti di Film-film (2023).

 

 

Bagus (Ringgo Agus Rahman) adalah penulis naskah film, yang dikejar deadline untuk naskah asli perdananya. Sementara Hana (Nirina Zubir) seorang florist, sedang berduka selepas ditinggal suami. Keduanya berteman sejak SMA, dan enggak sengaja bertemu di supermarket empat bulan setelah kematian suami Hana.

Sejak bertemu Hana, diam-diam Bagus ingin mengangkat kisah temannya dalam skenario film bergenre romcom yang digarap. Mendengar Hana bercerita enggak akan jatuh cinta lagi, Bagus yakin itu hanya bagian dari duka dan trauma. Sampai Bagus tuangkan dalam skrip sebagai false belief—sesuatu yang salah diyakini karakter dan biasanya disebabkan oleh luka. Menurut Bagus, Hana bakal jatuh cinta lagi.

Keyakinan Bagus lah yang mengawali konflik dalam Jatuh Cinta Seperti di Film-film. Di saat ia berharap menjalin hubungan, Hana masih memproses kepergian suami.

Relasi Bagus dan Hana Mencerminkan Hubungan Orang Dewasa

Umumnya, film romcom didominasi adegan menggemaskan. Ada yang karakternya saling membenci, pura-pura jadi orang lain dan melakukan apa pun demi menarik hati orang yang dipuja, hingga terpaksa harus bersama di suatu kesempatan. Kalau ceritanya happy ending, kedua karakter enggak bersatu sampai adegan terakhir. Ini menunjukkan perjalanan karakter dalam menemukan cinta, sebagai hal terpenting dalam film.

Dalam Kapan Kawin (2015) misalnya. Dinda (Adinia Wirasti) menyewa seorang aktor teater, Satrio (Reza Rahadian), untuk menyamar jadi pasangannya gara-gara dituntut orang tua untuk menikah. Hubungan Dinda dan Satrio awalnya enggak lepas dari cekcok, tapi lama-lama jatuh hati.

Atau Fall in Love at First Kiss (2019), yang mengawali cerita dengan adegan ciuman enggak sengaja, antara Jiang Zhishu (Darren Wang) dan Yuan Xiangqin (Lin Yun). Meski sempat bermusuhan, Zhishu membantu Xiangqin belajar sampai larut malam agar mendapat predikat siswa terbaik saat ujian akhir tahun. Kemudian, mereka hujan-hujanan selagi terjebak di suatu tempat, menyempurnakan rumus dalam plot komedi romantis.

Namun, Jatuh Cinta Seperti di Film-film enggak menampilkan adegan-adegan gemas seperti kedua film di atas. Lewat sebuah dialog dengan Bagus, Hana mengatakan, enggak realistis kalau film romcom yang menceritakan orang-orang seumuran mereka—hampir 40 tahun—kasmaran layaknya remaja. Menurut Hana, terlalu banyak realitas dan hal tentang kehidupan yang orang dewasa ketahui.

Karena itu pula, ia menyinggung relasi romantis orang dewasa idealnya didominasi dengan ngobrol. Bukan kayak La La Land (2016) yang kebanyakan nyanyi dan joget, tapi enggak menyelesaikan masalah—walau film ini memang bergenre musikal.

Tak hanya lewat dialog Hana yang beropini tentang romcom, hubungannya dengan Bagus merefleksikan relasi orang dewasa. Contohnya Bagus yang enggak paham, perasaan seseorang yang berduka harus melanjutkan hidup.

Tanpa disadari, Bagus merasa sudah cukup berempati dengan Hana yang baru kehilangan. Yakni dengan enggak meminta izin, saat mengangkat kisahnya ke dalam skenario. Bagus khawatir momen itu terlalu cepat bagi Hana yang masih berduka—selain enggak surprise karena film itu juga ingin dimanfaatkan sebagai medium untuk mengungkapkan perasaan.

Keputusan Bagus mencerminkan keegoisan berkedok empati. Ia bahkan memperkirakan tenggat waktu bagi Hana yang berduka, kurang lebih setahun sampai film tayang di bioskop. Padahal, Bagus hanya ingin kisah cintanya berhasil.

Sedangkan Hana digambarkan berusaha melanjutkan hidup sambil membawa duka. Pelan-pelan, Hana membuka diri untuk punya kehidupan yang baik. Salah satunya mengizinkan kehadiran Bagus di kesehariannya sebagai teman, tanpa harus jatuh cinta seperti di film-film romcom.

Plot serupa juga diangkat Celine Song dalam Past Lives (2023). Nora (Greta Lee) dan Hae Sung (Teo Yoo) kembali bertemu dan saling berhubungan, setelah berpisah selama 24 tahun. Meski demikian, keduanya hanya berteman karena memiliki hidup masing-masing. Dan asmara antara Nora dan Hae Sung menjadi bagian dari masa lalu.

Selain berduka, Hana yang melanjutkan hidup tanpa sosok pasangan sebenarnya bisa dilihat dari perspektif lain. Yakni potret modern romcom-esque dalam film.

Romcom di Era Modern

Sampai pada 2000-an, gendered trope—stereotip dan norma gender—dalam film romcom masih populer. Misalnya pekerjaan tokoh utama laki-laki diceritakan berstatus lebih tinggi, atau secara implisit memegang kekuasaan. Seperti Christopher Marshall (Ralph Fiennes), seorang pewaris dinasti politik, yang berhubungan dengan Marisa Ventura (Jennifer Lopez), seorang housekeeper hotel dalam Maid in Manhattan (2002).

Ada juga Nancy Tremaine (Idina Menzel) dalam Enchanted (2007), yang rela meninggalkan keluarga, karier, dan teman-teman demi laki-laki dari dunia fantasi yang baru dikenal.

Namun, alur penceritaan seperti itu mulai dianggap usang dan mengawali kematian romcom pada 2000-an. Karenanya, film-film romcom membawa hal baru dan lebih relevan dengan zamannya, yang disebut The Take dalam video esai The Rom-com Formula, Explained sebagai modern romcom-esque. Salah satunya lewat karakter perempuan yang memilih melajang.

Pilihan itulah yang ditampilkan Yandy Laurens dalam karakter Hana. Selain memproses kematian suami, Hana menegaskan pada Bagus bahwa ia memilih enggak jatuh cinta lagi. Bukan karena berduka ataupun trauma kehilangan, melainkan merasa cukup dan ingin hidup sendiri saja.

Keputusan Hana membuktikan perempuan enggak harus hidup berpasangan. Mereka mampu melanjutkan hidup tanpa ditemani, atau bergantung pada laki-laki sebagai pendamping—sebagaimana dilanggengkan dalam budaya populer di mana perempuan digambarkan putus asa untuk jatuh cinta, ingin menarik perhatian laki-laki, dan menikah.

Dalam film romcom, gagasan marriage plot sendiri diperkuat oleh karya-karya Jane Austen. Keenam novelnya—yang juga diadaptasi ke film—menjadikan pernikahan sebagai akhir cerita. Sebenarnya, karya-karya Austen merefleksikan kondisi sosial pada abad ke-18 dan 19, saat perempuan harus menikah demi melanjutkan hidup.

Marriage plot itulah yang kemudian diteruskan dalam film-film romcom modern. Meski belum tentu berakhir pada pernikahan, ending film mengarah pada happily ever after yang menunjukkan komitmen pasangan monogami.

Komedi dalam Relasi Pernikahan dan Peran Sutradara Perempuan

Jatuh Cinta Seperti di Film-film tak hanya menggambarkan relasi romantis orang dewasa, yang realistis melalui karakter yang enggak bersama. Rumah tangga Cheline (Sheila Dara) dan Dion Wiyoko menjadi pelengkap. Mereka adalah pasangan yang santai, perhatian dengan teman—Bagus, dan mendebatkan hal-hal sepele seperti tifus disebabkan oleh bakteri atau virus.

Bahkan, perdebatan Cheline dan Dion sempat menyinggung alasan sutradara perempuan diperlukan. Sayangnya, kedua karakter ini melihat pentingnya keterlibatan sutradara perempuan hanya sebatas lebih sensitif dalam menulis naskah. Padahal, sutradara perempuan dibutuhkan karena industri perfilman belum sepenuhnya aman bagi perempuan.

Contohnya relasi kuasa yang berkontribusi dalam kasus kekerasan seksual dan perundungan. Kemudian diskriminasi, bahwa perempuan enggak mampu menggarap film-film bergenre tertentu yang dianggap terlalu sulit. Ada juga karakter perempuan yang sering dijadikan pelengkap cerita dan disorot dari male gaze, hingga pengucilan kelompok minoritas gender dan orientasi seksual. Karena itu, terlalu dangkal apabila keterlibatan sutradara perempuan hanya dipandang seperti penyampaian Cheline dan Dion—sekalipun dialog tersebut bertujuan sebagai guyonan. Sebab, film ini berpotensi menarasikan isu tersebut lebih serius, mengingat banyak pembahasan dan kritik terhadap industri perfilman yang disampaikan.



#waveforequality


Avatar
About Author

Aurelia Gracia

Aurelia Gracia adalah seorang reporter yang mudah terlibat dalam parasocial relationship dan suka menghabiskan waktu dengan berjalan kaki di beberapa titik di ibu kota.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *