Lifestyle Madge PCR

Menyelami Isi Kepala Gen Z yang Ogah Buru-buru Nikah

Saya ngobrol dengan tiga Gen Z untuk cari tahu alasan mereka enggak mau buru-buru menikah. Padahal pertanyaan ‘kapan nikah’ terus membuntuti mereka dimana-mana.

Avatar
  • January 16, 2024
  • 7 min read
  • 7590 Views
Menyelami Isi Kepala Gen Z yang Ogah Buru-buru Nikah

Ada pertanyaan favorit anggota keluarga “Lita”, yang rajin ditanyakan padanya setiap acara keluarga: “Kapan nikah?” Puncaknya tahun lalu, di acara peringatan setahun meninggalnya ayah Lita. Usai menanyakan keberadaan pacar, seorang sepupu berinisiatif mengadakan doa bersama agar Lita enteng jodoh.

Sebenarnya, Lita enggak keberatan untuk didoakan. Yang bikin enggak nyaman adalah doa yang dilakukan secara kolektif. Menurutnya, itu berlebihan.

 

 

“Keluarga gue terbiasa ngeliat sepupu-sepupu yang nikah di umur 24. Makanya bingung, kok gue umur segitu belum nikah?” cerita Lita.

Keluarga Lita bukan satu-satunya yang mempermasalahkan status lajang perempuan berusia 20-an. Akhir tahun lalu, “Melinda” menghadiri acara tunangan seorang sepupu. Saat itu, paman merendahkan Melinda yang belum punya pasangan, demi membuat anaknya merasa lebih baik.

“(Status) kamu lebih tinggi dari Melinda, Kak. Mungkin penghasilannya lebih tinggi, tapi kamu udah punya pasangan hidup,” tutur Melinda mengutip kalimat pamannya.

Melinda mengatakan, sepupunya—anak dari si paman—akan menikahi laki-laki yang berbeda status sosial. Hal itu membuat nenek Melinda tak merestui hubungan keduanya, dan sempat membuat paman merasa malu. Alasannya karena relasi paman dan ibu Melinda tak begitu akur, lantaran kehidupan ibu Melinda yang lebih sejahtera.

Baik Lita dan Melinda sebenarnya enggak mempermasalahkan status single. Mereka menikmati masa lajang untuk fokus pada diri sendiri—dari segi karier dan kehidupan personal. Waktu luang pun digunakan untuk me time, atau hangout bersama teman-teman.

Masalahnya, sebagian orang masih melihat pernikahan sebagai pencapaian, atau fase hidup yang harus dilalui. Seperti ibu Lita dan Melinda yang berharap anak-anaknya menikah, dan memandang pernikahan sebagai kesuksesan maupun fase kehidupan yang akan dilalui. Meski demikian, Lita dan Melinda sendiri tak memaksakan pernikahan.

Baca Juga: Cerita Tiga Perempuan Lajang di Usia 40-an: Kami Tak Menikah tapi Bahagia

Ingin Menikah, tapi Bukan Keharusan

Awalnya, Melinda enggak ingin atau pernah terpikir untuk menikah. “Gue bisa ngelakuin apa pun sendiri, why do I need someone else?” katanya.

Sebagai perempuan pekerja, Melinda memfokuskan diri pada perkembangan karier dan mengesampingkan relasi romantis. Menurutnya, sulit untuk menjalankan kedua hal itu bersamaan.

Pikirannya berubah, saat Melinda menjalin relasi dengan mantan pacarnya. Ternyata menyenangkan punya seseorang yang bisa menemani. Karenanya, Melinda mau berkomitmen dengan seseorang lewat janji pernikahan.

Namun, untuk saat ini kondisi enggak memungkinkan. Melinda bekerja di bidang pemasaran konten di sebuah startup, sambil mengambil proyek pekerjaan lepas. Alhasil, ia enggak punya kapasitas untuk berhubungan dengan seseorang secara intens. Hal itu memaksa Melinda bersikap kuat menjalani keseharian.

“Pengen fokus ke karier, enggak pengen nikah, but I’m afraid of dying alone,” ujar Melinda.

Ia mengaku sering kali merasa kesepian setelah seharian beraktivitas. Itu salah satu alasan Melinda ingin punya pasangan—supaya ada sosok yang bisa diajak ngobrol dan saling memprioritaskan.

Hal serupa dirasakan Lita. Selain menginginkan teman bercerita tanpa merasa sungkan, ia melihat sosok pasangan bisa berperan sebagai support system. Kemudian juga tumbuh menjadi pribadi yang lebih baik, dan memberikan kesempatan untuk saling belajar.

Belakangan ini, Lita berusaha mencari pasangan lewat aplikasi kencan. Kriterianya cukup sederhana: Bisa diajak diskusi, memahami kondisi emosional diri sendiri, dan mau berusaha demi memenuhi kebutuhan finansial.

Berhubung tiga tahun terakhir enggak punya pacar, Lita menyatakan sudah menerima keadaan bila nantinya hidup melajang, meski sebenarnya masih terbuka pada pernikahan—salah satunya karena ibu menginginkan Lita menikah. Bahkan, ia berusaha menyampaikan pada ibu tentang hal tersebut, yang dinilai ibu Lita sebagai berpasrah terhadap keadaan.

“Mama anggap gue nyerah dan menyedihkan karena belum dapat pasangan. Dia berusaha nenangin, katanya nanti juga ada cowoknya. Padahal, gue memang enggak apa-apa kalau enggak menikah,” ucap Lita.

Sebelum berdamai dengan diri sendiri perihal pernikahan, Lita sempat memandang pernikahan sebagai sesuatu yang ideal. Hal ini dilihatnya dari drama Korea yang ditonton, sehingga menambah pemikiran bahwa hidup berpasangan dan punya anak akan menyenangkan. Lita juga pernah beranggapan, butuh sosok orang yang berarti bagi setiap orang agar mampu melengkapi diri.

Baca Juga: Melajang Bukan Karena Tak Ketemu Jodoh, Tapi Karena Jodoh Tak Sesuai Harapan

Seiring bertambahnya sudut pandang yang Lita ketahui—dari media sosial dan buku Love for Imperfect Things: How to Love Yourself in a World Striving for Perfection (2016)—ia memahami, hidup sendirian pun enggak masalah.

Lain halnya dengan Nissi. Semasa remaja, perempuan yang bekerja sebagai jurnalis ini menilai pernikahan adalah sesuatu yang umum dilakukan masyarakat. Bahkan pasti akan dilakukan setiap orang dewasa. Ini membuat Nissi sempat menargetkan untuk menikah di umur 24 tahun, usianya saat ini.

Begitu mengetahui konflik dalam pernikahan orang tuanya, Nissi menyadari rumitnya relasi suami istri. Seperti bom waktu, konflik tersebut sudah lama muncul. Namun, semakin bergejolak begitu ia duduk di bangku SMA, hingga akhirnya orang tua Nissi berpisah.

Target usia menikah pun semakin memudar, walaupun sekarang Nissi punya pacar. Melihat kebutuhan keluarganya, Nissi malah bersyukur saat ini enggak harus memprioritaskan pernikahan. Sebab, sedikit banyak penghasilannya digunakan untuk keperluan rumah tangga. Seperti membayar biaya BPJS Kesehatan ibu dan kedua adik, tagihan kartu kredit milik ibu, cicilan motor dan televisi, serta biaya listrik per bulan.

“Enggak kebayang kalau menikah dan harus nyiapin uang untuk persiapannya (sewa gedung, pakaian, dan katering). Secara finansial, uang gue sekarang bukan buat itu,” ungkapnya.

Nissi pun memandang pernikahan bersifat opsional. Menikah atau melajang nantinya tak masalah. Ia melihat dua orang perempuan anggota gereja, yang tidak menikah dan tetap menjalani hidup dengan baik.

Ada kesamaan dari Melinda, Lita, dan Nissi, yakni ingin memfokuskan diri pada hidupnya saat ini, sebelum komitmen untuk berpasangan. Bahwa mereka harus berdaya dan bertanggung jawab atas hidupnya sendiri, yakni dengan mengutamakan karier.

Ketiga Gen Z ini berupaya mencari kestabilan finansial, sambil menunjang kebutuhan hidup sendiri maupun keluarga. Begitu pun setelah menikah nanti. Harapannya penghasilan datang dari kedua pasangan, bukan salah satu pihak. Seperti diucapkan Lita pada Magdalene, Gue nyari pasangan yang mau usaha (memenuhi kebutuhan finansial). Soalnya enggak bisa dengan ekonomi kayak sekarang, yang kerja cuma sepihak.”

Berbeda dengan generasi pada 1960 atau 1970-an, saat laki-laki di usia pertengahan 20-an bisa memenuhi kebutuhan keluarga. Sedangkan pasangannya berperan sebagai ibu rumah tangga.

Hal itu pula yang disampaikan Jessica Klein dalam tulisannya di BBC Worklife. Ia menyebutkan beberapa faktor yang membuat Gen Z enggak begitu praktis dalam urusan relasi romantis. Di antaranya adalah generasi ini memasuki usia dewasa di masa-masa sulit, yakni pandemi COVID-19. Diikuti krisis iklim dan ketidakstabilan finansial.

Sejumlah faktor tersebut menjadi alasan Gen Z merasa perlu mencapai stabilitas bagi dirinya sendiri, sebelum melibatkan orang lain dalam hidup. Ditambah berbagai informasi di internet, yang membantu mereka mengetahui apa yang diinginkan dari relasi romantis, yang tidak mengorbankan kebutuhan maupun identitas diri.

“Kalau gue lebih suka low maintenance relationship. Enggak perlu kontakan terus, tapi saling peduli, respect, dan ada untuk satu sama lain,” tutur Melinda. “Cuma untuk saat ini, gue belum bisa (menjalin relasi).”

Baca Juga: Curhatan Generasi Z: Kami (Masih) Susah Mengakses Layanan Kesehatan Mental

Yang Diinginkan Bila Hidup Melajang

Selain mencari kestabilan finansial, Melinda masih belajar mencintai diri sendiri. Ia mengaku memiliki masalah dengan body image, yang juga disebabkan oleh Polycystic Ovary Syndrome (PCOS). Gangguan hormonal itu membuat berat badan Melinda enggak stabil dan sering naik beberapa kilogram, hingga mengalami GERD. Karenanya, Melinda merasa enggak nyaman dengan tubuhnya.

“Kadang gue mikir harus benerin diri sendiri dulu, biar pas orang lain dateng enggak cuma ngurusin masalah gue,” tutur Melinda.

Bila akhirnya akan hidup melajang, ia berencana punya anak—baik adopsi ataupun kandung. Harapannya, dengan merawat dan membesarkan anak, Melinda bisa meninggalkan “warisan” berupa hal-hal baik.

Berbeda dengan Nissi yang tetap ingin mengutamakan keluarga. Ia berencana tinggal bersama ibu, sambil merawat adik bungsu yang masih balita. “Pokoknya penghasilan gue untuk membiayai mama dan adik, sampai adik bisa ngurus dirinya sendiri,” kata Nissi.



#waveforequality


Avatar
About Author

Aurelia Gracia

Aurelia Gracia adalah seorang reporter yang mudah terlibat dalam parasocial relationship dan suka menghabiskan waktu dengan berjalan kaki di beberapa titik di ibu kota.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *