Culture Prose & Poem

Mengapa Semua Orang Menyalahkan Mama?

Ketika Mama sudah berjuang keras mengurus Bapak yang sakit, malah ia dituduh karena sudah membunuh suaminya sendiri.

Avatar
  • January 31, 2024
  • 6 min read
  • 1448 Views
Mengapa Semua Orang Menyalahkan Mama?

Di sepanjang lorong rumah sakit yang sepi, aku, adikku dan Mama saling berpegangan tangan berjalan sambil mengiringi jenazah Bapak. Kami akan membawanya pulang ke rumah untuk disemayamkan sekalian mengurus proses pengebumiannya.

Derai air mata belum berhenti jatuh dari wajah kami bertiga. Aku sebagai anak pertama merasa harus tetap kuat untuk Mama dan adikku.

 

 

Gak tinggal kite betige, Kak, kini di rumah,” ucap Mama dengan suara yang lirih.

Aku pun hanya bisa mengangguk, karena enggak tahu lagi kata apa yang terucap untuk membalas pertanyaan Mama yang terdengar sangat menyayat hatiku.

Setelah itu jenazah Bapak pun masuk ke dalam mobil jenazah. Di kursi belakang hanya tertinggal aku dan Bapak yang sudah ada di dalam peti jenazah. Mama dan adikku duduk di sebelah supir. Kupeluk erat-erat peti itu seolah tak ingin lepas. Aku bacakan surat Al-Fatihah dan Ayat Kursi berulang kali hingga saatnya tiba di rumah.

Sirine mobil jenazah yang mengiringi kepulangan Bapak bak suara pertanda jika kami menumpang permisi kepada setiap orang yang lewat agar bisa memberi jalan untuk kepulangan terakhir Bapak.

“Bapak maafek Kakak”

“Bapak maafek Kakak”

“Bapak maafek Kakak”

Kalimat itu tak berhenti berucap dari mulutku sampai aku tiba di rumah.

Baca juga: Perempuan yang Menikahi Maut

##

Ketika sampai dan melihat rumah yang dipenuhi karangan bunga, isak tangis kerabat, lantunan surat Yasin membuat perasaanku makin tercabik. Apalagi ditambah Mama yang disambut tangisan adik dan kakaknya ketika turun dari mobil jenazah.

Aku tak pernah membayangkan rumahku akan diliputi hal duka ini. Aku termenung diam, tatapanku kosong menuju ke arah jenazah Bapak. Semua orang sibuk untuk membangunkanku agar katanya biar aku enggak kesurupan. Sebuah logika yang agak aneh menurutku.

Sampai ketika masjid di sebelah rumahku mengumumkan tentang Bapak yang sudah meninggal, tiba-tiba aku terlempar pada kenyataan saat itu. Tangisan yang ingin aku keluarkan dengan bagas (keras) muncul begitu saja. Aku berteriak memanggil-manggil Bapak dengan lirih.

“Bapak”

“Bapak”

“Bapak”

Semua orang berhamburan ke arahku dan menenangkanku yang tiba-tiba tak terkontrol.

Biarek die nangis, biarek, ngasin soalnya kalau ditahan-tahan, biar die tenang sedikit”, ujar nenek tiriku yang terdengar sangat memilukan.

Baca juga: Cerpen: Nina Si Bule Kampung

##

Sehari setelah Bapak meninggal, suasana di rumahku masih ramai dengan beberapa keluarga yang datang menginap untuk menemani kami bertiga. Keadaan Mama pun masih diselimuti kesedihan yang mendalam. Tak jarang ia menangis sendiri sembari memeluk baju-baju Bapak.

Aku pun begitu, tapi aku merasa tak ingin terus berlarut dalam kesengsaraan itu. Aku ingin kuat, aku ingin tegar agar Mama tahu kalau aku bisa diandalkan. Memang berat menjadi anak pertama, ketika sedih itu belum kunjung usai namun kamu harus segera berdamai dari keadaan. 

Seminggu setelah Bapak meninggal, keadaan rumah sudah mulai ‘normal’. Tak ada lagi terdengar isak tangis dan kesedihan. Mama pun sudah lumayan tenang, walau masih sering melamun di teras, seperti menunggu Bapak yang biasanya pulang dari bekerja.

Tapi…

Ketika semuanya mulai baik-baik saja…

Datang desas-desus yang justru membuat kesedihan Mama datang lagi. Hal ini pun semakin menyedihkan dan memilukan ketika perkataan tak benar itu datang dari orang terdekatnya sendiri.

Mama dituduh yang membunuh Bapak. Mama dituduh enggak membawa Bapak ke rumah sakit. Mama dituduh membuat Bapak hanya berobat ke dukun. Mama dituduh enggak bisa menjaga suaminya sendiri.

Kata-kata ini sangat menyakitkan bagiku dan semua anggota keluarga.

Mereka enggak tahu apa yang selama ini dikorbankan Mama demi mengurus Bapak. Mama bekerja setiap hari sambil mengurus Bapak sambil dibantu aku dan adikku.

Sewaktu Mama pulang ia tak pernah beristirahat satu detik pun dan langsung mengurus Bapak, membiarkannya tetap terjaga, bersih dan makan dengan baik.

Enggak ada yang melihat itu semua, baik orang yang menyebarkan gosip itu tak pernah melihat perjuangan Mama ketika mengurus Bapak. Bahkan sembari mengurus Bapak, Mama juga mengurus dua nenekku berusia hampir 90 tahun yang tinggal bersama kami.

Lalu memangnya orang akan bilang, “Ya, memang itu kan sudah tugas seorang istri”. Padahal jika keadaan ini berbalik pun orang-orang enggak akan bilang kalau ini semua sudah tugas seorang suami.

Apa nantinya suami akan digosipin juga kalau ia enggak bisa mengurus istrinya dengan baik. Aku rasa tidak. Hidup di masyarakat kita yang masih patriarki memang sedikit agak berbeda. Apa-apa salah perempuan, apa-apa salah istri, apa-apa salah ibu.

Desas-desus seperti inilah yang harus diubah agar aku, kamu dan semuanya untuk enggak lagi menyalahkan perempuan dalam kondisi apa pun ketika tahu kalau mereka sudah berusaha dengan keras.

Hidup sebagai Mama sangat berat, di satu sisi harus bekerja, di sisi lain ia harus merawat orang-orang yang membutuhkannya di rumah.

Ketika mendengar gosip tersebut, Mama hanya legowo dan bilang “Dak ape-ape, semoga kate-kate die jadi pahala untuk kite”.

Aku jadi salut dengan Mama karena masih bisa bersikap tenang karena tuduhan kejam itu. Kalau aku jadi Mama sudah kulabrak itu orang.

Baca juga: Air Mata untuk Arcana

###

Tujuh hari setelah meninggalnya Bapak, kami pun mengadakan tahlilan di rumah dengan mengundang para tetangga dan orang-orang masjid. Aku enggak tahu apa aku hanya yang bisa merasakan suasana yang dingin malam itu. Angin bertiup lumayan kencang dan rintik-rintik hujan mulai turun.

Lantunan ayat suci Al-Quran berkumandang di dalam rumahku. Tiba-tiba ‘brang’ bunyi pintu depan saat terbuka dengan keras sendirinya. Lalu dari kejauhan aku bisa melihat sosok berbaju putih datang dan duduk di antara bapak-bapak yang sedang mengaji di tengah rumahku.

Sosok itu adalah Bapak. Aku hampiri ia dan ku pegang erat tangannya, dingin tak lagi hangat seperti dulu. Bapak tersenyum kepadaku. Ia mengenggam erat tanganku sambil berkata,

Kakak, maafek Bapak karne pegi duluan ye, sekarang tugas Kakak jage adek dan mamak. Makaseh banyak untuk mamak lah ngurus Bapak selama ini. Dak ade yang tau gimane sulitnye mikak (red, kalian) ngurus dan jage Bapak,” ujar Bapak dengan wajah teduhnya.

Perkataan Bapak seolah sedang tahu apa yang sedang terjadi pada Mama. Dan ini pun sebagai pertanda kalau usaha Mama, aku dan adik sudah memberikan yang terbaik untuknya. Setelah itu Bapak pergi tanpa satu patah kata lagi.

Aku hanya bisa terduduk sambil menangis lagi dengan keras, seolah air mata yang aku pendam selama seminggu ini keluar seperti air terjun yang enggak terhingga. Orang-orang sibuk menenangkan dan memproses apa yang sedang terjadi.

Mereka sebenarnya hanya bisa melihat diriku berbicara sendirian karena hanya aku yang bisa melihat sosok Bapak tadi.

Aku pun langsung berlari menghampiri Mama yang duduk di bagian dapur dan memeluknya dengan erat. Ku sampaikan kata-kata Bapak tadi kepada beliau dan kami pun menangis bersama.

###

Keesokan harinya Mama pun memberanikan diri untuk melabrak orang yang memfitnahnya. Ia membantah semua tuduhan itu sembari melempar kertas-kertas bukti bahwa Bapak selama ini dirawat di rumah sakit yang berbeda-beda. Tagihan-tagihan obat, tagihan perawat pribadi, Mama lempar ke muka temannya itu.

Aku yang mendampingi Mama seakan bisa membaca raut muka orang tersebut yang terdiam pucat pasi sambil meminta maaf berkali-kali.

Permintaan maaf itu tak kami gubris dan balik kanan kami berdua pun langsung pergi dari situ. Dan berharap untuk enggak akan bertemu dengannya lagi.

Ilustrasi oleh: Karina Tungari



#waveforequality


Avatar
About Author

Chika Ramadhea

Dulunya fobia kucing, sekarang pencinta kucing. Chika punya mimpi bisa backpacking ke Iceland.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *