Issues Lifestyle

Seberapa Inklusif Fasilitas Umum di Ibu Kota: Pengalamanku Keliling Jakarta bareng Teman-teman Disabilitas

Aku berjalan kaki mengelilingi Jakarta bersama kawan-kawan disabilitas, untuk membuktikan seberapa ramah fasilitas umum di sini. Ini hasilnya.

Avatar
  • March 4, 2024
  • 6 min read
  • 1331 Views
Seberapa Inklusif Fasilitas Umum di Ibu Kota: Pengalamanku Keliling Jakarta bareng Teman-teman Disabilitas

Jika kamu melintasi trotoar di sepanjang Jalan Dewi Sartika, Jakarta Timur, akan mudah sekali menemukan guiding block atau lantai pemandu berwarna kuning buat disabilitas penglihatan. Masalahnya, alih-alih membantu mereka, trotoar ini justru digunakan untuk jalan pintas kendaraan bermotor jika lalu lintas macet. Tak jarang juga ditemukan motor parkir di sana atau tiang listrik dan billboard berjajar.

Tentu saja pemandangan semacam ini bukan satu-satunya di jalanan Jakarta. Ada banyak sekali jalanan dan fasilitas umum lain yang belum ramah untuk disabilitas. Ini agak disayangkan, mengingat jumlah kawan-kawan disabilitas di Indonesia mencapai 28,05 juta atau 10 persen dari total penduduk di Indonesia, catat Kompas. Banyak dari mereka yang juga tinggal di kota-kota besar nan semrawut macam Jakarta.

 

 

Pembangunan kota yang tidak memperhitungkan keselamatan kelompok disabilitas adalah pembangunan yang tidak inklusif. Padahal mengutip The SMERU Research Institute (2020), pembangunan inklusif artinya pembangunan yang melibatkan seluruh kelompok tanpa diskriminasi, sehingga muncul rasa memiliki pada masyarakat. Sayangnya kita masih jauh dari kondisi tersebut.

Untuk membuktikan argumen ini, pada (24/2), saya sengaja berjalan-jalan dengan teman Tuli di program Jakarta Green Tour Sebumi, organisasi nirlaba yang fokus pada isu lingkungan. Rute yang saya ikuti membentang di sepanjang area Dukuh Atas hingga Blok M. Tur kota yang terinsipirasi dari gerakan zero waste journey ini memang ajeg menggandeng kelompok disabilitas, termasuk Tuli, orang yang mengalami gangguan penglihatan, pengguna kursi roda, dan lainnya. Tujuannya agar pengalaman mengakses layanan umum kota yang inklusif bisa dirasakan oleh mereka juga.

Didampingi juru Bahasa Isyarat, saya diajak untuk sedikit optimis bahwa masih ada ruang publik dan fasilitas umum yang inklusif di Jakrta. Meskipun saya sadar, itu cuma sepersekian kecil contoh yang baik. Sebab, jika seantero kota sudah inklusif, tentu saja saya akan jauh lebih senang berjalan kaki. Demikian juga teman-teman disabilitas akan nyaman berkeliling kota, tanpa mengkhawatirkan keselamatannya.

Kawasan Dukuh Atas, Foto: Magdalene/Chika Ramadhea

Baca juga: Kereta Cepat Jakarta-Bandung Belum Ramah Penyandang Disabilitas: Riset Terbaru

Contoh Fasilitas yang Inklusif

Perjalanan kami pun dimulai dari Dukuh Atas, titik temu dari semua transportasi umum. Sebelum mulai berkeliling, kami diberikan beberapa info dan sejarah tentang tempat pertama yang jadi Transit Oriented Development (TOD) pemerintah.

Ada lima jenis transportasi publik yang ada di sini, dari MRT, BRT Transjakarta, KRL, LRT Jabodetabek, dan kereta bandara. Selain itu kawasan Dukuh Atas lumayan asri dan nyaman karena dikelilingi oleh pohon-pohon besar yang bisa membuat pengunjung berteduh dari teriknya matahari.

Jika ditanya contoh kawasan yang ramah disabilitas, saya akan dengan mantap menjawab Dukuh Atas. Sebab, di tengah Stasiun Dukuh Atas juga terdapat informasi yang ditulis dalam huruf braille untuk memudahkan orang yang mengalami gangguan penglihatan.

Di kawasan ini, kami juga berkunjung ke Kafe Difabis (Difabel BAZNAS BAZIS) yang dikelola oleh Badan Amil Zakat Nasional. Di sini dijual berbagai macam kopi, teh, serta roti. Para pegawai dan bartender yang ada juga dikelola oleh Teman Tuli. Di Kafe Difabis ini pula, kami berkesempatan untuk belajar bahasa isyarat Indonesia (BISINDO) di sini. Sungguh pengalaman yang menyenangkan dan bikin hati hangat.

Baca juga: Pandemi Perparah Akses Informasi bagi Komunitas Tuli

Transportasi Umum Belum Inklusif

Beranjak dari Kafe Difabis, kami menuju Taman Literasi Blok M, Jakarta Selatan. MRT kami pilih sebagai moda transportasi. Selama perjalanan menuju ke sana, teman-teman Tuli banyak bercerita tentang pengalaman mereka mengakses transportasi umum.

“Kalau MRT, LRT, atau Transjakarta masih gampang karena ada layar di atas yang nunjukkin nama tujuan kita. Yang sulit jika harus naik KRL. Susah buat tahu tujuannya, karena sering tak ada layar penunjuk lokasi. Apalagi kalau di malam hari, gelap jadi enggak tahu kita lagi di mana. Makanya aku sering banget buka Google Maps. Ini pun bukan solusi jitu, karena di dalam KRL biasanya sinyal internet enggak lancar. Pilihannya cuma tanya ke petugas, kalau ada,” ujar Aura, 23, teman Tuli yang berdomisili di Jakarta.

Dikutip dari Kompas, kelompok disabilitas memang masih kesulitan berjalan di trotoar, mengakses transportasi publik, hingga masuk rumah ibadah, pertokoan, dan fasilitas kesehatan. Hak mereka atas aksesibilitas pun enggak terpenuhi.

Kawasan Taman Literasi, Foto: Magdalene/Chika Ramadhea

Akibat aksesibilitas yang buruk, kelompok disabilitas jadi rentan mengalami kecelakaan. Contohnya saja pengguna kursi roda yang harus melintas di badan jalan karena trotoar yang biasanya rusak atau dipakai untuk berjualan kadang enggak memadai buat mereka.

Hal ini juga dibenarkan oleh Aura. Selain memenuhi aksesibilitas yang baik buat teman Tuli, mereka yang menggunakan kursi roda juga perlu dapat fasilitas yang memadai. Tujuannya agar bisa memudahkan mereka untuk pergi kemana-mana. Apalagi untuk mengakses transportasi umum, kadang mereka harus membutuhkan waktu yang lama jika aksesnya kurang baik.

“Aku berharap pemerintah bisa membuat fasilitas umum dan transportasi publik yang lebih ramah disabilitas lagi. Meski yang sekarang sudah ada, tapi rasanya kurang atau belum cukup aja. Bukan hanya buat Teman Tuli aja ya tapi juga buat teman-teman disabilitas yang lain, “ ujar Aura.

Baca juga: Saya Ngobrol dengan Empat Jurnalis Disabilitas: Media Perlu Libatkan Mereka di Redaksi

Apa Kantor Pemerintah Sudah Ramah Disabilitas?

Sesampainya di Stasiun MRT Blok M, kami beranjak ke Taman Literasi Martha Christina Tiahahu. Di sini enggak hanya belajar soal pohon-pohon yang membuat taman ini menjadi asri dan rindang, tapi juga menilai seberapa ramah fasilitas publik itu buat disabilitas.

Walau tak banyak fasilitas, di sini sudah menyediakan guiding block. Enggak hanya itu, bagi orang-orang yang menggunakan kursi roda juga disediakan ramp atau jalur landai. Fiuhh, setidaknya ada satu taman yang sudah mengupayakan fasilitas inklusif di ibu kota.

Tujuan kami terakhir adalah Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, salah satu kantor pemerintah yang ramah lingkungan dan mengantongi beberapa Rekor MURI (Museum Rekor Dunia Indonesia). Misalnya, rekor kantor kementerian dengan koleksi jenis vegetasi terbanyak dan menerapkan teknologi proses pengembunan terkendali untuk siap minum.

Kantor Kementerian PUPR, Foto: Magdalene/Chika Ramadhea

Selain relatif ramah lingkungan, Kementerian PUPR sedikit demi sedikit bersolek agar lebih ramah disabilitas. Di sini terdapat guiding block bagi teman-teman yang mengalami gangguan penglihatan. Meskipun tentu saja, saya sepakat denganmu bahwa indikator ramah disabilitas tak sekadar guiding block saja, tapi juga akses jalan yang ramah untuk disabilitas fisik misalnya, atau layar informatif untuk kawan Tuli.

Namun, lepas dari itu semua, perjalanan keliling kota ini menyadarkanku. Bahwa kota memang sudah seharusnya bisa diakses semua orang tanpa kecuali, termasuk kawan-kawan disabilitas. Selama ini kita kerap menerima begitu saja privilese, tanpa memedulikan hak-hak lainnya yang kerap diabaikan.

Aurelia Gracia dalam artikel Magdalene bilang jika kelompok disabilitas juga masih sangat jarang dilibatkan dalam tahap pengembangan dan operasional transportasi umum di Indonesia. Cita-cita inklusivitas juga sekadar jadi jargon karena fakta di lapangan masih jauh dari ideal. Kenapa saya bilang begitu? Karena Jakarta bukan cuma Dukuh Atas dan Blok M yang relatif lebih ramah disabilitas.



#waveforequality


Avatar
About Author

Chika Ramadhea

Dulunya fobia kucing, sekarang pencinta kucing. Chika punya mimpi bisa backpacking ke Iceland.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *