Issues

Saya Ngobrol dengan Empat Jurnalis Disabilitas: Media Perlu Libatkan Mereka di Redaksi

Meski semakin sering diberitakan media, penggambaran kelompok disabilitas masih dipenuhi stigma. Padahal mereka juga punya potensi untuk berkontribusi.

Avatar
  • January 5, 2024
  • 6 min read
  • 967 Views
Saya Ngobrol dengan Empat Jurnalis Disabilitas: Media Perlu Libatkan Mereka di Redaksi

Pernah enggak kamu membayangkan para jurnalis harus mengerumuni narasumber demi sepotong informasi? Apalagi ketika narasumber punya waktu yang terbatas di sesi doorstop, para jurnalis mesti berlomba agar direspons saat itu juga. Berlari, mengacungkan tangan dan alat perekam, bersuara yang tinggi agar didengar narasumber. Mungkin terdengar sepele, tapi tidak untuk Restu Lestari.

Ia adalah jurnalis penyandang disabilitas Tuli yang sehari-hari bekerja untuk KamiBijak, media disabilitas yang menyajikan informasi lewat teks, audio, dan bahasa isyarat. Restu menceritakan padaku, betapa menjadi jurnalis dipenuhi tantangan di sana-sini. “Kalau lagi wawancara doorstop, terasa ada jarak (dengan jurnalis dengar). Ini sempat bikin minder juga,” ujarnya.

 

 

Jarak antara Tuli dan orang dengar kerap Restu rasakan saat bekerja. Baik tak ada akses Juru Bahasa Isyarat (JBI), atau JBI yang hanya satu orang sehingga kewalahan menerjemahkan. Akibatnya sama: Ketinggalan informasi.

Salah satunya dalam Debat Calon Presiden (Capres) yang belakangan ini diselenggarakan di televisi. Saat orang dengar bisa langsung memahami, terbatasnya akses JBI membuat teman Tuli kebingungan menontonnya. Sebab, jurnalis Tuli belum mengerti ucapan siapa yang sedang diterjemahkan. Karena itu, mereka menyaksikan siaran ulang dengan akses JBI yang lebih banyak, dan bisa menerjemahkan satu per satu.

Tak cuma itu tantangan buat Restu. Ia juga sering insecure saat melakukan peliputan. Namun, untuk yang satu ini, ia punya resep “ajaib”. Kuncinya adalah berpikir positif, kata dia, bahwa semua orang setara, perlu belajar, dan tak ada yang sempurna atau harus ditakutkan.

Pengalaman Restu merefleksikan industri media di Indonesia yang belum cukup ramah pada penyandang disabilitas. Akses informasi masih didominasi untuk nondisabilitas, sebagaimana temuan Albertus Prestianta, FX Lilik Dwi Mardjianto, dan Hargyo Ignatius dalam Meta Analisis Platform Media Digital Ramah Penyandang Disabilitas (2018).

Berdasarkan riset ketiga peneliti, dari 62 media daring yang terverifikasi faktual dan administrasi oleh Dewan Pers, tak ada situs media daring yang sepenuhnya sesuai dengan Web Content Accessibility Guidelines (WCAG). Padahal, WCAG merupakan pedoman aksesibilitas sebuah web supaya mudah diakses penyandang disabilitas.

Di samping itu, masih terdapat stigma dan stereotip dalam pemberitaan—meski Dewan Pers telah menetapkan Pedoman Pemberitaan Ramah Disabilitas pada 2021. Bahkan, laporan Komisi Nasional Disabilitas pada 2023 yang mengkaji pemberitaan media daring sepanjang 2019-2022, menemukan, 56 persen berita mendiskriminasi dan menunjukkan kekerasan terhadap perempuan penyandang disabilitas. Diikuti delapan persen berita yang melibatkan penyandang disabilitas sebagai narasumber, dan 15 persen berita mencerminkan bias serta berimplikasi negatif.

Padahal, sama seperti nondisabilitas, penyandang disabilitas mampu berdaya, berhak mendapatkan akses informasi melalui media massa digital, dan menjadi subjek dalam pemberitaan.

Baca Juga: 6 Inisiatif Kelompok Disabilitas, Bukti Mereka Juga Berdaya

Keberadaan Media Ramah Disabilitas

Minimnya pemberitaan isu kelompok disabilitas di media arus utama melatarbelakangi berdirinya Solider News pada 2003. Di bawah jaringan Sasana Inklusi dan Gerakan Advokasi Difabel (SIGAB) Indonesia, Solider News hadir sebagai media alternatif yang mengisi kekosongan tersebut.

Awalnya, media tersebut muncul sebagai media cetak. Lalu pada 2012, Solider News migrasi ke daring dan memperluas cakupan output selain artikel berita, yakni podcast, newsletter, dan YouTube.

Menurut Redaktur Solider News Ajiwan Arief yang adalah disabilitas netra low vision, kelompok disabilitas menyambut baik kehadiran mereka sebagai pembaca. Ada pembaca yang kini terlibat sebagai aktivis disabilitas di tingkat nasional, ada juga yang bergabung sebagai penulis kontributor.

Mereka berusaha mengakomodasi beragam jenis disabilitas untuk berkontribusi. Karenanya, tim Solider News terdiri dari penyandang disabilitas fisik, netra, Tuli, dan autis. Selama enam hari, tim redaksi melakukan pelatihan jurnalistik via daring dan luring untuk calon kontributor, sebelum berpartisipasi menulis.

“Sebenarnya itu jadi tantangan kami untuk mempertahankan standar,” tutur Aji. “Soalnya latar belakang kontributor beragam ya, redaksi harus pintar memilah dan memoles konten supaya layak tayang,” kata Aji.

Baca Juga: Rendahnya Kualitas Hidup Penyandang Disabilitas

Keterbukaan Solider News terhadap kontributor itulah yang memberikan ruang bagi Fajrin, 27, sebagai penyandang disabilitas netra untuk menggali kemampuan menulis di bidang jurnalisme. Sejak 2020, ia fokus menulis isu disabilitas. Seperti soal aksesibilitas rumah ibadah, kesehatan reproduksi penyandang disabilitas, profil penyandang disabilitas yang bergerak di bidang wirausaha, serta refleksi regulasi pemerintah yang berimplikasi pada kelompok tersebut.

Dalam melakukan reportase, Fajrin memanfaatkan software Non-Visual Desktop Access (NVDA) yang membantu membacakan layar di gawai lewat suara. Selain itu, software tersebut sekaligus membantu Fajrin mengetik dengan mandiri, yang terampil menjalankan fungsi tombol keyboard.

Namun, sesekali ia mengalami kendala saat memasukkan gambar pendukung artikel, sehingga Fajrin meminta bantuan teman-teman nondisabilitas. Lebih dari itu, Fajrin tak mendapati keterbatasan dalam proses kerja. Terutama persaingan dengan sesama jurnalis saat liputan.

“Apalagi isu disabilitas masih jarang dibahas media, tinggal gimana kita bisa baca tema. Kira-kira topiknya bisa dikaitkan ke isu disabilitas enggak?” kata Fajrin.

Lain halnya dengan Aryani, jurnalis KamiBijak. Sebagai Tuli, ia mengandalkan akses JBI untuk liputan lapangan maupun wawancara. Terlebih tak semua narasumber bersedia diwawancara lewat tulisan sehingga masih mengandalkan rekaman suara. Karena itu, Aryani menyiapkan pertanyaan tertulis sebelum wawancara, dan dibantu editor yang adalah orang dengar, saat tak ada JBI.

Terlepas dari tantangan dalam bekerja, Aryani menyukai pekerjaannya. Kepadaku, Aryani mengatakan, mewawancarai tokoh penting selalu menjadi pengalaman berkesan. Salah satunya Wakil Presiden Republik Indonesia Ma’ruf Amin, di peringatan Hari Disabilitas Internasional 2019.

“Awalnya enggak nyiapin pertanyaan wawancara karena beliau datang di akhir acara. Tapi saya niat doorstop bareng JBI, bahas tentang Indonesia inklusif penyandang disabilitas,” ucap Aryani.

Sementara bagi Aji, liputan pemasungan seorang disabilitas intelektual di Kulon Progo yang membekas di benaknya. Melihat kebebasan seseorang direnggut mengaduk emosi Aji. Kemudian itu menjadi titik balik untuk terus menyuarakan isu disabilitas.

Sayang, jumlah redaksi yang memberikan ruang bagi penyandang disabilitas—seperti KamiBijak dan Solider News—masih sedikit. Hal itu diungkapkan oleh Fajrin. Saat artikel ini ditulis, Magdalene tidak menemukan data pasti berapa banyak penyandang disabilitas yang bekerja di media di Indonesia. Namun, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, proporsi pekerja disabilitas secara umum hanya 0,53 persen dari total penduduk yang bekerja.

Ini penting menjadi sorotan untuk lebih melibatkan mereka di redaksi, alih-alih hanya memosisikan penyandang disabilitas sebagai objek pemberitaan.

Baca Juga: Gender dan Disabilitas: Dua Sisi Mata Uang yang Sama

Perlunya Ruang di Media Bagi Penyandang Disabilitas

Aji melihat proporsi pemberitaan isu disabilitas yang meningkat. Bahkan, media arus utama seperti Tempo.co dan Liputan 6 menyediakan kanal khusus.

Sebenarnya, upaya tersebut akan memperluas pandangan masyarakat terhadap penyandang disabilitas. Namun, menurut Fajrin, pemberitaan saja belum cukup. Media arus utama perlu merekrut jurnalis disabilitas di redaksi, karena mereka punya potensi untuk berkontribusi. Ia mencontohkan Tempo.co yang melibatkan jurnalis disabilitas.

Magdalene mengonfirmasinya pada Wakil Pemimpin Redaksi Majalah Tempo Bagja Hidayat. “Betul. Ada Cheta Nilawati (jurnalis netra) dan komunitas netra, menulis isu-isu difabel untuk Tempo.co,” katanya.

Dalam hal ini, keterlibatan jurnalis disabilitas menunjukkan penerimaan media terhadap penyandang disabilitas—atau sebagai subjek pemberitaan. Ini akan mendorong pengakuan terhadap keberagaman penyandang disabilitas, dan kesempatan untuk membuat pilihan maupun berkontribusi pada masyarakat. Pada akhirnya, yang paling memahami isu disabilitas tak lain tak bukan adalah kelompok disabilitas.

“Ketika pemberitaan disabilitas diberitakan oleh penyandang disabilitas, akan lebih tepat dan objektif. Soalnya yang tahu (isu) disabilitas ya mereka sendiri,” tutup Fajrin.

Ilustrasi oleh Karina Tungari


Avatar
About Author

Aurelia Gracia

Aurelia Gracia adalah seorang reporter yang mudah terlibat dalam parasocial relationship dan suka menghabiskan waktu dengan berjalan kaki di beberapa titik di ibu kota.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *