Issues Politics & Society Prose & Poem

Review ‘Yellowface’: Siapa Paling Berhak Ceritakan Kisah Orang Pinggiran?

Siapa yang berhak menceritakan pengalaman kelompok marjinal? Ini adalah pertanyaan penting yang berusaha dijawab dalam novel Yellowface karya R.F Kuang.

Avatar
  • April 22, 2024
  • 10 min read
  • 1712 Views
Review ‘Yellowface’: Siapa Paling Berhak Ceritakan Kisah Orang Pinggiran?

June Hayward benci kehidupannya. Perempuan kulit putih ini bisa dibilang tengah mengalami krisis kehidupan di usia akhir 20-an. Ia enggak cantik, pintar, apalagi populer. Berbeda sekali dengan temannya Athena Liu, seorang Amerika keturunan Asia yang punya segalanya, cantik, pintar, juga kharismatik. Athena punya kehidupan impian: Jadi novelis sukses dengan buku yang diterbitkan penerbit bergengsi Amerika. Ia juga panen penghargaan sastra dan punya kesepakatan film dengan para sineas Hollywood.

Kehidupan gemerlap itu bikin June berfantasi menjadi Athena. Ia ngebet mencicipi popularitas temannya. Suatu hari, mimpinya perlahan mulai jadi kenyataan. Malam itu June pergi ke apartemen Athena dalam rangka merayakan salah satu novelnya yang bakal diadaptasi jadi serial Netflix. Saat berusaha terlihat sebagai teman yang suportif, ada kejadian konyol nan mengerikan. Tiba-tiba Athena meninggal tersedak ketika mereka sedang lomba makan panekuk. 

 

 

Kematian Athena sangat traumatis. June melihat sendiri bagaimana wajah temannya berangsur-angsur berubah ungu dengan mata melotot. Namun siapa sangka, kematian itu bak “berkah” buat June. Saat itu, June menemukan ada naskah novel Athena yang belum dipublikasikan di atas meja. Ia lantas mencuri naskah tersebut dan memodifikasinya dengan selera sendiri.

Naskah itu sendiri bercerita tentang pengalaman tanpa tanda jasa dari Korps Buruh Tiongkok. Sebanyak 140.000 buruh Tiongkok direkrut oleh Angkatan Darat Inggris dan dikirim ke Front Sekutu selama Perang Dunia I. 

Modifikasi naskah itu ia terbitkan dengan judul The Last Front. Hasilnya? Novel curian itu laku keras. Nama June pun langsung melejit, terjual ribuan eksemplar, hingga di jajaran atas New York Times Best Seller. Sineas Hollywood berbondong-bondong menghubungi dirinya untuk membuat kesepakatan adaptasi dari novel tersebut. Ia diundang di berbagai forum sastra bahkan jadi pengajar. Namun segala “kebaikan” yang ia terima tak berlangsung lama saat mulai banyak penikmat buku terutama keturunan Asia mempertanyakan orisinalitas dan intensi karyanya. 

Baca Juga: 6 Rekomendasi Novel Feminisme Terbaru 

Siapa yang Berhak Bercerita? 

Terry Nguyễn, jurnalis, penulis esai, kritikus, dan penyair lepas berbasis di Brooklyn, Amerika Serikat bilang secara historis, yellowface adalah praktik rasis yang sudah jadi fenomena di Hollywood. Secara definisi, yellowface mengacu pada praktik saat orang non-Asia berdandan agar terlihat seperti orang Asia.

Praktik ini berkaitan dengan tradisi blackface di Amerika. Seperti halnya blackface, dipopulerkan di teater dan sinema Amerika yang mengakibatkan dehumanisasi terhadap orang kulit berwarna. Dalam yellowface, ini berarti dehumanisasi terhadap orang Asia. 

Walau dipopulerkan di teater dan sinema Amerika, Nguyễn mencatat dalam tulisannya di The Cleveland Review of Books sejak 1990-an, setidaknya dua contoh sastra yellowface muncul dalam dunia puisi Amerika. Penyair Kent Johnson menyusun biografi lengkap dan karya untuk penyair fiktif Jepang Araki Yasusada. Demikian pula, Michael Derrick Hudson mengadopsi moniker Tiongkok Yi-Fen Chou untuk mengirimkan puisi yang sebelumnya ditolak dengan nama aslinya. Hudson baru mengaku melakukan penipuan identitas ini pada 2015 ketika salah satu puisinya terpilih untuk Puisi Amerika Terbaik tahun itu. 

Praktik yellowface dalam dunia kesusastraan inilah yang kemudian jadi poros narasi novel teranyar R.F Kuang berjudul sama. Lewat karakter June yang merupakan perempuan kulit putih, Kuang tampaknya memang ingin mengajak pembaca dalam sebuah renungan kritis terkait perampasan budaya orang kulit berwarna (people of color).

Siapa yang sebenarnya berkah bercerita tentang perjuangan, diskriminasi, serta trauma kolektif mereka? Apakah memang hanya mereka yang diidentifikasi sebagai orang kulit berwarna yang berhak menceritakannya?   

Jawaban dari pertanyaan ini tak mudah. Bahkan Kuang sendiri tak pernah secara eksplisit memberikan kejelasannya kepada para pembaca. Kuang memang sengaja memperlikan pada pembaca, bagaimana June secara bertahap menjustifikasi praktik rasial yellowface demi keuntungan diri. Ia mengeksploitasi pengalaman dan trauma kolektif kelompok marjinal untuk popularitas. 

Kuang menggambarkannya lewat posisi June yang merupakan bagian dari kelompok yang paling diuntungkan di industri penerbitan, justru dengan keras berusaha memanipulasi persona publiknya agar bisa diterima. Ia mengganti nama pena menjadi Juniper Song. Keputusannya ini ia anggap bukan kecurangan apalagi pembohongan publik. Menurutnya tidak ada yang berkata terang-terangan bahwa Song bisa disalahartikan sebagai nama Tionghoa. Ia juga tidak berpura-pura jadi orang Tionghoa apalagi mengarang-ngarang pengalaman hidup yang tidak ia miliki. 

Baca Juga: 7 Novel Wajib Baca Karya Penulis Perempuan Kulit Hitam 

Kendati demikian, dalam lubuk hati terdalamnya segala alasan yang ia lontarkan ini cuma omong kosong. Toh memang pada kenyataannya nama “Song” terdengar lebih pribumi dan pasti akan lebih jauh mudah diterima masyarakat apalagi ia menulis novel fiksi sejarah soal Korps Buruh Tionghoa. 

Apa yang dilakukan June persis dilakukan oleh Johnson dan Hudson. Johnson bersikeras kepribadian Asia yang dibuat-buat tersebut adalah respons postmodernis terhadap tragedi Hiroshima dan Nagasaki. Singkatnya, ia ingin lewat identitas fiktif Araki Yasusada, bisa tersampaikan cerita yang lebih otentik dan diterima masyarakat. Sebab, identitas tersebut sepenuhnya terlepas dari identitas aslinya sebagai orang kulit putih. Sementara itu, penipuan identitas Hudson merupakan upaya memvalidasi kelayakan artistik dari karyanya yang ditolak. 

Tidak berhenti pada eksploitasi saja, June beserta dengan tim editorialnya juga secara terang-terangan melakukan whitewashing alias praktik menghapus identitas orang kulit berwarna. Baik melalui penggantian karakter minoritas dengan karakter kulit putih atau karakter minoritas dengan penggambaran karakteristik khas karakter kulit putih yang diagung-agungkan. 

Bersama dengan editornya yang juga perempuan kulit putih, Daniella, memperlembut karakter kulit putih dengan mengubah salah satu serdadu kulit putih rasis menjadi karakter Tionghoa dan salah satu buruh Tionghoa yang vokal menjadi petani kulit putih yang simpatik. Mereka juga banyak membuang fakta-fakta sejarah yang sengaja ditampilkan Athena untuk memperdalam nuansa diskriminasi rasial yang benar-benar dialami para buruh Tionghoa. 

Ini di antaranya mencakup soal para buruh yang dilupakan dan diabaikan sampai ada yang bunuh diri bahkan disuruh mati oleh seorang kapten serdadu Inggris hingga tidak diizinkannya para butuh dimakamkan dekat kuburan prajurit Eropa. June beralasan, penghapusan fakta sejarah ini dibutuhkan karena siapa juga yang tertarik membaca rentetan detail yang mirip jurnal sejarah ini? 

Whitewashing yang dilakukan June dan Danielle jelas berbahaya. Jeremy Helligar, laki-laki kulit hitam yang merupakan redaktur Eksekutif di PEOPLE menulis dalam kolomnya di Reader’s Digest bagaimana whitewashing bertumpu pada penghapusan narasi kelam atau dosa-dosa lama soal supremasi kulit putih yang melanggengkan diskriminasi rasial. 

Sepanjang sejarah Amerika Serikat misalnya whitewashing digunakan untuk mengeksklusi orang kulit hitam dan orang Indian dari masa lalu kolonial dan Revolusi, bahkan dari masa lalu masyarakat Amerika. Akibatnya, sejarah supremasi kulit putih dan sudut pandang monokromatik mendominasi Amerika dalam segala bidang hingga menyebabkan marginalisasi sistemik yang dilumrahkan. 

Eksploitasi Pengalaman Seseorang 

Dari penjelasan tersebut, mungkin sebagian dari kita mulai berasumsi, Kuang lewat novel terbarunya ingin menggurui pembaca terkait perampasan budaya. Faktanya, Kuang punya pertanyaan lebih lanjut yang harus direnungkan oleh pembaca. Setelah memperlihatkan betapa menjijikkannya praktik yellowface June, Kuang dengan ciamik perlahan memutarbalikan narasinya pada dampak tak terlihat kepada para penulis kulit berwarna di industri yang belakangan sedang getol mengusung keberagaman. 

Dalam wawancaranya bersama NPR dan The New York Times, Kuang mengatakan bagaimana perampasan budaya sebagai pisau bermata dua. Itu justru semakin meminggirkan orang kulit berwarna. Seorang penulis akhirnya hanya bisa menulis tentang sesuatu jika pernah mengalaminya langsung atau setidaknya identitasnya bersinggungan dengan pengalaman kolektif yang ada. 

Para penulis Asia-Amerika seperti dirinya misalnya mereka diberi tahu tidak boleh menulis apa pun kecuali tentang trauma imigran atau kesulitan menjadi orang Asia-Amerika di Amerika Serikat.  Hal ini kata Kuang memperlihatkan bagaimana keberagaman dalam industri penerbitan hanya menganggap penulis kulit berwarna sebagai tokenisme semata. Mereka terlihat mendukung suara-suara terpinggirkan, padahal kembali memarjinalisasi mereka dan membuat mereka saling sikut menyikut dengan kelompoknya untuk mendapatkan jatah terbitan. 

“Saya benci merasa karya dibaca dibaca hanya karena seseorang (di industri penerbitan) mencoba mencentang kotak keberagaman,” katanya kepada The New York Times. 

Kritik ini ia lancarkan lewat karakter Athena. Sebagai penulis Asia-Amerika, Athena adalah penulis Asia yang sangat dihargai karena kemampuannya untuk menjadi perantara budaya. Dan karena kariernya dibangun dengan menjadi orang yang mampu menjelaskan sejarah Tionghoa, Tionghoa Amerika kepada pembaca kulit putih, ia juga sangat terancam oleh penulis Tionghoa Amerika lainnya.

Ia takut sewaktu-waktu akan digantikan oleh penulis Tionghoa Amerika karena adanya “kuota” keberagaman di industri penerbitan dan kepentingan komersial yang membuat mereka harus saling bersaing satu sama lain meraih trofi “penulis paling marginal”. 

Lebih dari itu, lewat Yellowface, Kuang juga ingin menyampaikan bahwa fiksi seharusnya adalah tentang berimajinasi di luar perspektif kita sendiri, melangkah ke posisi orang lain dan berempati pada orang lain. Ia benar-benar tidak menyukai argumen yang mereduksi orang menjadi identitas mereka atau menetapkan batasan yang ketat tentang apa yang boleh dan tidak boleh ditulis.

Karena itu, ia pun bermain-main dengan argumen tersebut dengan melakukan hal yang dituduhkan kepada June, yaitu menulis tentang pengalaman yang bukan miliknya dan tidak beririsan dengan identitasnya. 

Baca Juga: 8 Buku Fiksi Indonesia Wajib Baca Sebelum Usia 30 

Hal yang tak kalah penting dari Yellowface terletak pada moralitas abu-abu para penulis. Layaknya karakter-karakter yang sudah pernah ditulis sebelumnya, Kuang tidak mau menggambarkan Athena sebagai korban sempurna yang benar-benar tak bersalah. 

Athena dalam hal ini digambarkan sebagai seorang kelas menengah atas. Ia percaya mampu merepresentasikan setiap identitas dan pengalaman orang Asia-Amerika lainnya. Kepercayaan dirinya yang lebih pas disebut arogansi inilah yang membuat Athena mengungkapkan ketidaksukaannya untuk membimbing penulis Asia-Amerika yang lebih muda, untuk menunjukkan bagaimana dia menyadari bahwa nilainya di dunia sastra adalah mampu menjelaskan tentang Asia kepada semua orang. 

Tak cuma soal arogans, Athena juga digambarkan Kuang gemar “mencuri”. Dia menjadi pengamat dan pendengar yang baik bagi orang-orang di sekitarnya, termasuk pacarnya dan June dengan motif terselubung, yaitu untuk kepentingan penerbitan karyanya. Dalam suatu bagian yang provokatif, Kuang menggambarkan bagaimana Athena bak malaikat pelindung bagi June pasca-mengalami kekerasan seksual oleh seseorang yang ditaksirnya. 

Athena membantunya memutuskan apakah ia ingin mendapatkan bantuan konseling atau melaporkan pelaku ke polisi. Athena juga membantunya menjaga pola makan June agar tetap teratur. Tak selang berapa lama dari kejadian ini, June mendapati Athena menerbitkan cerita pendek di majalah sastra alternatif Yale, Ouroboros. Saat membaca cerita pendek itu, June terperanjat. Ia mendapati kata-kata dan pengalaman kekerasan seksual yang ia alami menatapnya balik lewat tulisan. 

“Semua pikiranku yang kebingungan dan kusut, diartikan dengan gaya jernih, sederhana namun berkelas, yang tidak mampu kucapai pada saat aku menceritakannya dulu…… Dia mencuri kisahku. Aku yakin sekali. Dia mencuri kata-kata langsung dari mulutku,” ungkap June dalam benaknya. 

Dan bukannya merasa bersalah telah mencuri kisah June, Athena yang dikonfrontasi oleh June justru membalasnya dengan santai. Pada titik ini, Kuang melancarkan kritik atas moralitas abu-abu para penulis. Moralitas yang bahkan secara terang-terang disampaikan Khalid Hosseini, penulis novel The Kite Runner telah menjadi satu dengan darah para penulis. 

Hosseini dalam tulisannya yang diterbitkan The Times menuturkan bahwa menulis, pada tingkat tertentu, adalah sebuah tindakan pencurian. Kita mengadaptasi pengalaman dan anekdot yang tidak selalu milik kita sendiri untuk tujuan pribadi. Sehingga pada dasarnya sastra dipenuhi dengan kisah-kisah tentang bagaimana para penulis mengambil nyawa orang-orang yang pernah mereka temui dan menggunakannya untuk fiksi mereka. Keluarga, teman, kekasih, mantan kekasih semuanya hanya amunisi yang bisa digunakan penulis untuk menulis karya mereka. 

Alexander Stille, seorang penulis memoir dalam tulisannya yang dikutip Literary Hub bahkan mengatakan tokoh-tokoh dalam karya sastra memang bukanlah orang sungguhan, tetapi pasti memakan darah orang yang masih hidup, seperti vampir. Oleh karena itu, sangat wajar bagi orang-orang nyata itu untuk mempertahankan identitas mereka, seolah-olah mereka sedang berjuang untuk hidup mereka. 

Dengan demikian, dari penggambaran Athena yang tak sepenuhnya seorang korban, Kuang lagi-lagi secara brilian menelurkan karya yang tak hanya mampu mengaduk emosi pada pembacanya. Ia kembali mampu mengukuhkan posisinya sebagai penulis muda yang lihai memberikan umpan balik kepada para pembacanya dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan kritis yang sebelumnya luput diperdebatkan. 



#waveforequality


Avatar
About Author

Jasmine Floretta V.D

Jasmine Floretta V.D. adalah pencinta kucing garis keras yang gemar membaca atau binge-watching Netflix di waktu senggangnya. Ia adalah lulusan Sastra Jepang dan Kajian Gender UI yang memiliki ketertarikan mendalam pada kajian budaya dan peran ibu atau motherhood.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *