Screen Raves

Review ‘Not Okay’: Film Si-Paling-Gen Z yang “Not Okay”

Bisa dibilang, senjata utama film ini adalah kekuatan akting Zoey Deutch

Avatar
  • August 16, 2022
  • 5 min read
  • 2950 Views
Review ‘Not Okay’: Film Si-Paling-Gen Z yang “Not Okay”

(artikel ini mengandung sedikit spoiler)

Quinn Shephard membahas betapa beracunnya media sosial dalam film terbarunya, Not Okay.

 

 

Tokoh utamanya adalah Danni Sanders (Zoey Deutch), seorang Gen-Z yang ingin menjadi relevan, lebih dari apa pun. Eksis di dunia maya adalah satu hal, tapi eksis di dunia nyata adalah hal lain. Di kantornya, Depravity (bayangkan BuzzFeed atau media-media online Indonesia yang suka copy-paste konten orang), Danni tidak memiliki inner circle, tidak punya teman kerja, dan tak diundang ke party.

Danni naksir dengan seorang cowok influencer yang terkenal di media sosial. Obsesi itu berbentuk seorang cowok bertato, berambut pirang dengan lintingan ganja di tangannya dan nada bicara seperti orang kulit hitam, namanya Colin (Dylan O’Brien). Gayanya yang asyik dan fakta bahwa dia punya banyak followers membuat Colin terlihat seperti mainan mahal di mata Danni. Dekat dengan Colin juga bisa bikin pamornya naik.

Kemudian suatu hari, Danni memutuskan untuk bohong pada bosnya. Dia memberitahu sang bos kalau ia sedang melakukan retreat ke Paris, padahal hanya tiduran di apartemen berantakannya di New York. Nahasnya, Paris kena bom dan orang-orang mengira Danni termasuk dalam daftar korban. Alih-alih mengatakan yang sebenarnya, Danni memutuskan menggunakan kesempatan ini untuk menaikkan pamornya.

Sumber: Screen Rant

Baca juga: Review ‘Full Time’: Sulitnya jadi Ibu Tunggal dan Dicekik Kapitalisme

Bukan Tokoh Utama yang Perlu Dikasihani

Dari awal film dimulai, Danni sudah mengatakan ke kamera bahwa ia bukanlah tokoh utama yang perlu dikasihani. Hampir semua yang ia lakukan sangat problematik. Tapi, Quinn Shephard—si kreator—pasti ingin penonton tetap bisa bersimpati pada karakter yang ia buat, seproblematik apa pun hal yang mungkin Dani bikin.

Saya sendiri punya beberapa kali terbawa suasana dan bersimpati pada Danni. Misalnya, ketika ia akhirnya berhasil dekat dengan Colin dan menemukan si pujaan hati tidak sesuai ekspektasi. Makin jitu, karena Shepard menggambarkan situasi ini dengan sangat kasual dan tanpa dramatisasi berlebihan.

Kira-kira begini: Colin dan Danni berhubungan seks, Danni kelihatan tidak menikmati, lalu setelahnya Danni melihat Colin menggoda cewek lain. Adegan ini dibuat dengan begitu santai sehingga efeknya menohok karena memang pergaulan orang-orang seperti Colin emang se-kasual itu.

Selain momen tersebut, setiap adegan Danni dengan Rowan (Mia Isaac)—seorang penyintas teror penembakan di sekolah—juga memperkuat satire yang ingin dilempar Shepard tentang hubungan Gen Z dan media sosial.

Baca juga: ‘Writing with Fire’: Ketika Perempuan Jurnalis jadi Penggerak Perubahan

Di adegan-adegan itu, saya sempat merasa film ini punya kesempatan untuk membicarakan hal yang lebih serius daripada sekadar sindiran tentang betapa toksiknya media sosial. Sayang sekali momen-momen tersebut, dan upaya Shepard untuk membuat penonton simpati dengan Danni, jadi terbuang sia-sia. Not Okay terasa terlalu sibuk untuk jadi keren belaka. 

Sama seperti Danni, Not Okay sangat fokus untuk menampilkan dirinya sebagai film anak muda yang hip dan kekinian, dan kelihatan tidak minat untuk tampil serius. Padahal ada banyak poin serius yang berakhir cuma ditampilkan sekilas di film ini: mulai dari isu kesehatan mental, toxic masculinity (maskulinitas beracun), sampai soal trauma dan juga isu penembakan di sekolah.

Keputusan untuk tetap fokus pada hal-hal “gaul” ini akhirnya juga blunder. Tren-tren yang digambarkan di film ini terasa agak kudet alias kurang update.

Ingrid Goes West, film karya Matt Spicer, yang juga memiliki premis serupa jauh lebih berhasil dalam menyeimbangkan tone dan statementIngrid Goes West tidak pernah malu-malu menunjuk karakter utamanya sendiri sebagai orang yang tidak beres. Namun, di saat bersamaan, memberikan alasan-alasan logis pada penonton kenapa si karakter utama melakukan hal-hal gila itu.

Ingrid Goes West tidak tertarik untuk menjadi kekinian atau lucu. Justru komitmennya untuk mengikuti karakter utama kemanapun ia pergi, membuat Ingrid Goes West menjadi lebih lucu, dan akhirnya jadi lebih menyedihkan.

Sumber: IMDB

Baca juga: 5 Dokumenter Layak Tonton Soal Ketubuhan Perempuan

Mengandalkan Zoey Deutch Saja Tidak Cukup

Not Okay mungkin kurang begitu berhasil menjadi sebuah film yang merangkum seperti apa rasanya hidup di internet. Tapi, overall, film ini bukan film yang buruk.

Salah satu faktor utama yang membuat film ini tidak terjerembab ke lubang kebanyakan film remaja Netflix adalah komitmen aktor utamanya dalam berakting. Saya suka dengan Zoey Deutch sejak saya melihatnya pertama kali di Vampire Academy. Dan masih tetap suka dengan performanya di Not Okay. Sama sekali tidak mengecewakan. Bisa dibilang, senjata utama Not Okay malah ada di akting Deutch.

Ia tahu benar cara memerankan Danni dengan baik. Semua cringe yang saya rasakan ketika menonton aksi Danni sepanjang film adalah testamen betapa baik kualitas akting Zoey Deutch. Rasa malunya tertransfer sampai layar. Semua interaksinya dengan Rowan Aldren juga patut dijadikan highlight, karena kalau saja Quinn Shephard tidak terlalu sibuk untuk membuat filmnya jadi film si-paling-Gen-Z, Not Okay mungkin bisa jadi social commentary yang baik.

Not Okay dapat disaksikan di Disney+ Hotstar



#waveforequality


Avatar
About Author

Candra Aditya

Candra Aditya adalah penulis, pembuat film, dan bapaknya Rico. Novelnya ‘When Everything Feels Like Romcoms’ dapat dibeli di toko-toko buku.