5 Dokumenter Layak Tonton Soal Ketubuhan Perempuan
Film-film dokumenter ini bercerita tentang isu ketubuhan perempuan mulai dari menstruasi, persalinan, hingga seksualitas.
Beragam film dokumenter dibuat agar para penonton merasa lebih dekat dengan permasalahan sosial yang ada di masyarakat, contohnya terkait isu ketubuhan perempuan. Di banyak negara, termasuk Indonesia, persoalan seksualitas dan kesehatan reproduksi masih menjadi hal tabu, bahkan mengundang kontroversi ketika dibicarakan di ruang publik.
Sejumlah pembuat film pun berupaya mendobrak tabu ini dan memaparkan beragam kondisi dan pendapat perempuan-perempuan mengenai tubuhnya sendiri. Dengan melakukan ini, diharapkan pandangan para penonton terhadap perempuan dan hak atas tubuhnya menjadi lebih terbuka dan diskusi-diskusi selanjutnya mengenai itu pun bisa bertambah.
Berikut ini lima film dokumenter tentang perempuan, terutama soal ketubuhan perempuan, yang kami rekomendasikan untuk kamu.
-
Period. End of Sentence. (2018)
“Saat ada patriarki, sulit untuk membicarakan persoalan perempuan.”
Kata-kata ini diucapkan salah seorang perempuan dari Hapur, India, yang terlibat dalam dokumenter Period. End of Sentence. garapan Rayka Zehtabchi, yang meraih Best Documentary Short pada Academy Award 2019.
Film ini mengisahkan bagaimana isu menstruasi dianggap sebagai tabu terbesar di India, dan bagaimana banyak salah kaprah soal menstruasi, yang bahkan disebut sebagai penyakit. Ada narasi perempuan yang putus sekolah setahun setelah menstruasi pertamanya, karena ia harus ke tempat jauh untuk mengganti pakaian dan kain yang dipakainya untuk menampung darah menstruasi. Ada juga cerita perempuan yang malu jika ketahuan sedang menstruasi sehingga ia memilih diam-diam membuang pembalut kainnya pada malam hari.
Film ini juga mengisahkan soal penemuan mesin pembuat pembalut murah oleh seorang laki-laki bernama Arunachalam Muruganantham, serta menyinggung isu pernikahan usia muda dan pemberdayaan perempuan.
Pembuatan Period dan mesin penghasil pembalut murah di Hapur tersebut didanai oleh siswa-siswa dari Oakwood School, Los Angeles lewat berjualan, penggalangan dana di Kickstarter, dan yogathon. Film ini juga berafiliasi dengan The Pad Project yang terus berjuang untuk pemenuhan kebutuhan perempuan terkait menstruasi.
-
Pertaruhan (At Stake, 2008)
Pertaruhan yang diproduksi Kalyana Shira adalah omnibus empat dokumenter yang mengangkat soal ketubuhan perempuan: “Mengusahakan Cinta” (Ani Ema Susanti); “Untuk Apa?” (Iwan Setiawan dan Muhammad Ichsan); “Nona atau Nyonya” (Lucky Kuswandi); dan “Ragat’e Anak” (Ucu Agustin). Karya-karya dalam Pertaruhan merupakan karya pemenang workshop Project Change! 2008 yang diselenggarakan Kalyana Shira dan The Body Shop Indonesia.
Ada permasalahan glorifikasi keperawanan dan orientasi seksual dalam “Mengusahakan Cinta”, dengan menyoroti secara spesifik kehidupan pekerja migran di Hong Kong. Sementara “Untuk Apa?” mengangkat isu sunat perempuan dengan mengangkat ragam opini dari masyarakat. Alasan yang sering dipakai untuk menjustifikasi tindakan ini adalah dalih agama, dan sayangnya, juga mitos-mitos soal kesetiaan dan performa seks perempuan yang diyakini bisa dikendalikan dengan sunat perempuan.
Cerita ketiga, “Nona atau Nyonya” menggambarkan kegalauan remaja putri yang bingung mencari informasi soal keputihan, juga stigma dan penghakiman terhadap perempuan lajang yang memeriksakan diri ke dokter ahlin kandungan.
Terakhir, cerita “Ragat’e Anak” mengusung pengalaman dua ibu dari Tulungagung, Jawa Timur, yang bekerja memecah batu pada siang hari dan sebagai pekerja seks komersial pada malam hari di kuburan Gunung Bolo. Hal ini mereka lakukan semata-mata untuk memenuhi biaya hidup dan pendidikan anaknya. Pada 2013, “Ragat’e Anak” menyabet penghargaan Film Terbaik di Denpasar Film Festival.
Baca juga: ‘Help is On The Way’ Potret Harapan Buruh Migran Indonesia di Taiwan
-
The Business of Being Born (2008)
Film dokumenter yang disutradarai Abby Epstein ini bercerita tentang praktik persalinan di Amerika Serikat, baik yang dilakukan dokter di rumah sakit, oleh bidan, maupun persalinan di rumah.
Film ini menunjukkan sisi lain medikaliasi persalinan di AS yang kerap luput dari perhatian: intensi dokter dan rumah sakit mencari profit. Selain intervensi pemakaian obat, ada beberapa detail proses persalinan yang jamak dilakukan di rumah sakit yang juga dikritik oleh dokumenter ini.
Di lain sisi, The Business of Being Born menyoroti praktik oleh bidan dan persalinan di rumah yang dikatakan punya banyak sisi positif dibanding persalinan di rumah sakit, asalkan kehamilan si ibu berisiko kesehatan rendah. Sayangnya, di AS persalinan dengan bidan hanya dilakukan oleh 8 persen penduduk, kontras dengan di Jepang dan Eropa yang bisa mencapai 70 persen. Alasannya, penduduk AS merasa persalinan dengan bidan lebih tidak aman dan cenderung primitif. Ini tidak lepas juga dari adanya teknologi dan menguatnya peran dokter di AS membuat “budaya” mengesampingkan peran bidan ini merebak sejak awal abad 20 hingga kini.
Kendati demikian, film ini tetap menekankan bahwa walaupun ada sisi gelap praktik persalinan di rumah sakit, persalinan di rumah atau dengan bidan tetap saja tidak saklek perlu diterapkan ke semua perempuan.
-
Christiane Amanpour: Sex and Love Around The World (2018)
Film dokumenter ini merupakan serial original dari CNN yang ditayangkan di Netflix dan terdiri dari enam episode. Di sini, jurnalis senior Christiane Amanpour berkeliling mewawancarai para perempuan di Tokyo, New Delhi, Beirut, Berlin, Accra, dan Shanghai terkait masalah relasi dan seksualitas mereka. Latar belakang para perempuan ini beragam, mulai dari remaja putri hingga perempuan paruh baya, akademisi, jurnalis, selebritas, pekerja seks, hingga ibu rumah tangga.
Amanpour menyinggung banyak hal spesifik dalam aktivitas seksual yang sering ditabukan masyarakat, contohnya perilaku BDSM (Bondage and Discipline, Sadism and Masochism). Dalam wawancaranya juga diangkat tentang pandangan perempuan yang kontra terhadap peran gender tradisional, perjodohan dan sistem kasta seperti di India, serta isu pelecehan seksual yang masih jamak dialami perempuan. Amanpour terlihat membaur dalam aktivitas sehari-hari di tempat narasumber-narasumbernya berada sehingga sedikit sekali kesan berjarak yang tampak.
Meski hanya mencakup enam kota dari enam negara, dokumenter ini cukup komprehensif membahas permasalahan sosial yang kerap dikesampingkan dalam diskusi publik ini. Beragam isu tabu yang disinggung di sini pun dikemas dengan apik sehingga tak ada penggambaran secara berlebihan atau vulgar.
Baca juga: ‘Miss Americana’ Tampilkan Sisi Gelap Kehidupan Taylor Swift
-
Audrie and Daisy (2016) [Peringatan pemicu]
Dokumenter Netflix ini bercerita soal pengalaman para remaja penyintas kekerasan seksual di AS dengan berfokus pada dua sosok utama, Audrie Potts dan Daisy Coleman.
Saat duduk di bangku SMA, Audrie mengalami serangan seksual dari beberapa teman laki-laki dalam suatu pesta. Saat Audrie tidak sadarkan diri setelah mabuk, ada yang mencorat-coret bagian tubuhnya, termasuk di area payudara dan vagina dan menuliskan kata-kata seksual. Kemudian ada yang menyentuh vagina Audrie, dan ada juga yang memfoto dirinya dalam keadaan tersebut. Foto tersebut akhirnya menyebar. Audrie yang depresi menghadapi hal itu memutuskan bunuh diri pada September 2012.
Kisah serupa dialami Daisy Coleman saat berusia 14 tahun, yang diperkosa dalam keadaan mabuk oleh teman-teman kakaknya. Begitu juga teman perempuannya, Paige, yang juga ikut Daisy ke sana.
Tak hanya mengisahkan kronologi tragedi yang dialami kedua perempuan tersebut, Audrie and Daisy juga menggambarkan betapa tidak berpihaknya hukum di sejumlah tempat di AS kepada korban pemerkosaan. Ada pelaku yang bisa bebas karena datang dari keluarga yang berpengaruh, ada juga permasalahan bukti hukum yang dianggap kurang dalam kasus Daisy.
Isu lain yang juga diangkat di film dokumenter garapan Bonnie Cohen dan John Shenk ini adalah parahnya victim blaming dan cyberbullying terhadap korban yang diperkosa saat mabuk sampai-sampai mendorong mereka melukai, bahkan bunuh diri. Namun di tengah perundungan tersebut, beruntung masih ada kelompok perempuan penyintas lain yang peduli dan membantu orang-orang seperti Daisy supaya tidak semakin terpuruk dan memutuskan mati. Support group seperti inilah yang krusial dalam pemulihan trauma dan depresi korban yang berlangsung lama dan mendalam.