Culture Prose & Poem

Surat Panjang untuk Teman Lelaki yang Meremehkanku di Hari Tari

Bahkan untuk bersenang-senang dengan menari saja, perempuan masih kau rendahkan. Apalah artinya membaca Federici jika masih begini?

Avatar
  • May 2, 2024
  • 5 min read
  • 1914 Views
Surat Panjang untuk Teman Lelaki yang Meremehkanku di Hari Tari

Dear Bayu, 

April adalah bulan yang menyenangkan karena cuacanya sejuk, tak dingin atau panas, pas. Terlebih di Bandung, kota tempat kita tinggal, suhunya berkisar di 22 hingga paling tinggi 29 derajat Celcius. Nyaman sekali untuk berlama-lama di luar ruangan atau sekadar berkumpul dengan teman. 

 

 

Mirip seperti yang kita lakukan tempo hari. Berkumpul bersamamu dan teman-teman lelaki lainnya, Ilham, Tyo, Dhika, membuatku merasa nyaman. Aku tak perlu khawatir kalian akan melecehkan atau melontarkan candaan seksis. Sebab, aku tahu kalian bisa jadi ruang aman. 

Kamu tentu tahu betul klub tari perempuan Hot Mamah Dance Club, tempatku berada. Ada puluhan puan di sana, dari mahasiswa, dosen, aktivis, peneliti, ibu rumah tangga, pegawai bank, seniman, koki, penulis, musisi, hingga influencer di media sosial. Kami bisa belajar menari yang inklusif tanpa perlu mencemaskan bakat dan teknis tertentu. Buat kami, menari sama artinya dengan belajar dan bersenang-senang. 

Kami sudah tampil di beberapa gigs, seperti pameran seni rupa, pertunjukan musik, gathering institusi asing, bahkan pasanggiri. Semuanya diselenggarakan dadakan, sehingga kami lebih banyak mengandalkan spontanitas dan kesukarelaan. Namun di Hari Tari Dunia, 29 April 2024 kemarin, kami ingin lebih bersiap. 

Baca juga: Api di Musim Semi 

Bayu, malam itu aku bercerita padamu, kami bakal menarikan tarian Sunda, yang elemen geraknya berangkat dari Jaipong, tapi musiknya bisa tetap funky. Kami juga akan tampil dengan ciri khas reunceum: Mengenakan kain, kebaya, sampur, dan headpiece bunga warna warni. 

Tak ketinggalan ide saweran. Kalau biasanya dalam pertunjukan tradisional terdapat aksi menyawer penari, di Hari Tari, kami penari dari Hot Mamah Dance Club akan menebar saweran kepada penonton. Kami juga menyiapkan stiker-stiker lucu nan gemas bertuliskan celetukan-celetukan perempuan tentang kehidupannya sehari-hari. 

“Perempuan punya kuasa, kami yang menari, kami yang nyawer!” kataku saat itu. Menggairahkan sekali rasanya membayangkan menjadi perempuan yang punya kuasa di ruang-ruang sosial. 

Kita tertawa-tawa dan kamu berseloroh dalam Bahasa Sunda, “Hanjir pamajikan nu heboh nyawer, salakina nu rieut nyiapkeun duit jeung ningali duit ditebar-tebar,” yang artinya: “Istri yang heboh menyawer, suami yang pusing menyiapkan uang dan melihat uang disebar-sebar.” 

Menjelang tidur aku terus memikirkan celetukanmu saat itu. Rasanya ada yang tidak beres. Karena amat gelisah, aku memutuskan menulis surat panjang ini. 

Kamu mungkin heran, kenapa kemarin aku tidak langsung bereaksi. Itu lantaran aku butuh untuk memproses semua terlebih dulu. Aku tidak mau menyerangmu dan membuat suasana hangat kita dengan teman-teman berubah tak nyaman. 

Bayu, aku ingin protes. Justru karena kemarin konteksnya bercanda, itu menunjukkan bagaimana mental bawah sadar laki-laki bekerja. Aku ingin bicara serius tentang ini karena selama ini kita tak pernah terlewat berbagai gagasan. Kamu pun pernah mendukungku dengan bilang, jika pekerjaan rumah tangga yang dilakukan oleh perempuan dikonversi dalam angka, nominalnya mahal sekali. Karena itulah, kerja perawatan yang dilakukan, baik oleh perempuan maupun laki-laki perlu dianggap dan dinilai.  

Aku membaca Federici, demikian pula kamu. Aku hargai usahamu untuk memahami. Namun, perbedaan kita adalah, kamu tak mengalaminya. Aku selalu bilang, kamu adalah anak yang bahagia, tumbuh di keluarga fungsional, dan bebas melakukan apa pun kesukaanmu. Sebagai anak laki-laki pertama, kamu mendapatkan perlakuan istimewa dari ibu dan adik-adik perempuanmu. Mereka akan selalu menanyakan pertimbanganmu untuk semua yang terjadi dalam keluarga.  

Baca juga: Mengapa Semua Orang Menyalahkan Mama? 

Kamu lupa dengan privilese laki-laki dan ketidakadilan yang dialami perempuan. Kamu lupa dengan Federici yang kamu baca atau Kartini yang kamu tulis. Kamu alpa perempuan tidak mendapatkan imbalan untuk kerja perawatan meski menghabiskan waktu, tenaga, dan mempertaruhkan kesehatan mental. Berbeda dengan lelaki yang cenderung tak dibebani kerja-kerja yang sama. 

Karena itulah, aku tidak bisa terima dengan leluconmu. Saat perempuan akhirnya punya daya untuk bekerja di ruang publik, lalu menggunakannya dengan tujuan bersenang-senang, kenapa kamu memilih menertawakannya? Sementara, untuk bersenang-senang pun, bahu kami tetap terasa berat karena beban yang berlapis-lapis: Sesuatu yang mungkin takkan kamu pahami. 

Dear Astrid, 

Aku minta maaf atas kata-kataku yang tak pantas. Rasa-rasanya aku sudah memangkas internalized-misogyny tapi ternyata ada yang terlewat. Aku memang tak bisa menjanjikan keadilan untuk perempuan karena kerap kali kami jadi agen yang mempertebal langit-langit kaca itu. Namun, dengan kerendahan hati, maafkan aku karena membuatmu marah, membuat semua perempuan terusik. Aku tidak mau merusak pertemanan dan aku yakin kita bisa bersahabat karena ada suasana kesetaraan. Aku menyesal. Hampura

Bayu yang baik, 

Permintaan maaf hanya akan menjadi formalitas dan basa basi, jika tidak diiringi dengan usaha memperbaiki diri. Aku tahu kamu berusaha, kuhargai itu. Kuharap seperti biasa, kata-katamu bisa memengaruhi orang lain. Karena itu, berusahalah untuk patut.  

Aku juga ingin bicara tentang seks yang tidak adil. Bahwa tidak semua perempuan mendapat keberuntungan di ruang-ruang privat, banyak yang apes. Jadi ini juga sesuatu yang istimewa dalam kehidupan perempuan. Tapi kamu bicarakan saja ini dengan istrimu. Berlakulah adil sejak dari kasur.  

Dear Astrid,  

Kata-katamu sering pedas, aku memahami hal konkret yang mendasari itu. Sementara idea dan pemikiranku berangkat dari bacaan, isi kepalamu beranjak dari pengalaman. Sekali lagi, aku tidak hanya memohon maaf karena memantik emosimu. Adalah sebuah kemustahilan meniadakan emosi dari sebuah berita, derita, dan cerita. Pemikiranmu valid dan maafkan khilafku.  

Baca juga: Dari Rahim ini Aku Bicara 

Sampai di sini aku dan Bayu belum bertemu lagi, aku sibuk latihan untuk Hari Tari Dunia. Dan omong-omong, sebenarnya perempuan-perempuan di Hot Mamah Dance Club tidak menggunakan uang untuk menyawer, tapi memakai stiker yang kami bikin. 

Bandung di bulan April jadi terasa panas.  

Astrid Damiarsih lahir dan besar di Bandung, memilih menari dan menulis untuk proses katarsis. Mengasuh anak dan mengelola komunitas adalah pekerjaannya sehari-hari. Senang parti ramai-ramai, namun tak bermasalah dengan nongkrong di warung kopi atau nonton di bioskop sendiri. 

Ilustrasi oleh: Karina Tungari



#waveforequality


Avatar
About Author

Astrid Damiarsih