5 Pasal Bermasalah dalam Revisi UU Penyiaran
Dari mengancam kebebasan pers hingga kuasa KPI yang terlalu besar, berikut rangkuman pasal bermasalah dalam draf terbaru UU Penyiaran.
Parlemen gaspol pembahasan Rancangan Undang-undang (RUU) Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002, demi kejar target pengesahan tahun ini. Meski revisi dibutuhkan karena versi lama yang ketinggalan zaman, tapi versi draf terbarunya justru menuai berbagai kontroversi. Para jurnalis menilai, draf revisi justru berpotensi mengebiri kebebasan pers saat ini.
Tidak hanya itu, beberapa ketentuan tentang muatan konten digital juga diskriminatif dan rentan membatasi ruang gerak masyarakat sipil. Khususnya saat warga mengakses dan memproduksi konten digital.
Nany Afrida, Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dalam “Konferensi Pers Stop Diskriminasi dalam Revisi UU Penyiaran” memberi komentar.
“UU Penyiaran memang sudah outdated, kita memang butuh revisi. RUU Penyiaran boleh direvisi, tetapi revisi yang kali ini justru memberangus kebebasan pers. Ini bukan cita-cita revisi yang kita inginkan. Ini merugikan banyak pihak,” ujar Nany, (21/5).
Pernyataan Nany tampak beralasan. Magdalene merangkum deretan pasal-pasal bermasalah dengan draf revisi terbaru UU Penyiaran:
Baca juga: Neraka Jurnalis Perempuan: Kena KBGO, Tak Dilindungi Perusahaan Media
1. Platform Digital Diawasi KPI
Hal kentara dalam draf revisi UU Penyiaran adalah melebarnya kewenangan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), dari sebelumnya sebagai regulator penyiaran konvensional ke ranah penyiaran digital.
Seperti yang diatur dalam Pasal 1 Nomor 4, 9, dan 17, disebutkan KPI akan mengawasi dan mengatur konten-konten penyiaran yang tayang di platform digital. Sayangnya, definisi dari platform digital bermakna luas dan tidak terbatas. Mulai dari Netflix, Viu, YouTube, Instagram, TikTok, hingga Podcast yang diproduksi kreator konten.
Yovantra Arief, Direktur watchdog media Remotivi menuturkan, pelebaran kewenangan ini sangat berbahaya dan melanggar hak berekspresi individu.
Dalam konferensi pers yang sama, Yoyon mengungkapkan, “Meluaskan definisi penyiaran ke ranah digital sama saja dengan memaksakan pola pengaturan penyiaran konvensional pada penyiaran digital. Kita semua tahu, penyiaran konvensional itu logikanya analog dan linear, sedangkan digital itu sebaliknya. Pada akhirnya, hal ini bukannya jadi melindungi, tapi malah melanggar banyak hak ekspresi dan kebutuhan informasi dari berbagai kelompok rentan.”
Baca juga: Jerat UU ITE: 9 Pasal Karet yang Bisa Kirim Kita ke Penjara
2. Kebebasan Pers Terancam
Yang cukup berbahaya juga ada di Pasal 52B ayat (2) tentang larangan isi siaran dan konten siaran. Larangan ini meliputi penayangan tayangan eksklusif jurnalistik investigasi. Nany mengkhawatirkan pasal itu bisa membungkam kerja-kerja jurnalis.
Lagipula, dalih DPR soal pelarangan untuk menghindari monopoli jurnalis dari kelompok tertentu membongkar penyelewengan, ahistoris dan dangkal. Sementara kita tahu, banyak rasuah atau kecurangan negara terbongkar lewat praktik investigasi para jurnalis di Indonesia. Pers hanya memenuhi perannya sebagai pilar demokrasi keempat alih-alih corong pemerintah.
Baca juga: Belajar Risiko ‘Spill’ Perselingkuhan Suami dari Kasus di Bali: Hati-hati Pasal Karet ITE
3. Tumpang Tindih Kewenangan KPI dan Dewan Pers
Tidak hanya membatasi ruang gerak pers, draf revisi UU Penyiaran juga dinilai dapat menimbulkan tumpang tindih kewenangan antara KPI dan Dewan Pers. Dalam Pasal 8A huruf q, tertulis KPI dalam menjalankan tugasnya berwenang menyelesaikan sengketa jurnalistik khusus di bidang penyiaran. Tentunya hal ini bertentangan dengan UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers yang mengatakan, semua sengketa pers harus diselesaikan oleh Dewan Pers.
Serupa hal-nya dengan Pasal 8A, Pasal 42 ayat 2, dan Pasal 51 huruf E yang mengatur persoalan sengketa pers. Dalam aturan ini disebutkan, sengketa jurnalistik akan menjadi urusan KPI dan semua sengketa harus diselesaikan di persidangan.
Nany afriani sendiri menyatakan, sebagai produk jurnalisme, karya-karya jurnalistik sudah semestinya diatur dan diawasi oleh Dewan Pers. Selain itu, apabila kewenangan dipindah ke KPI, Nany juga khawatir penyelesaian terkait sengketa pers tidak bakal independen nantinya.
“Kalau RUU ini disahkan, kami khawatir akan ada sengketa. Dewan Pers dan KPI pada dasarnya punya fungsi yang sama di RUU ini. Kemudian, jika seandainya RUU ini sah dan sengketa pers diselesaikan oleh KPI, maka itu jelas-jelas tidak independen karena KPI dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)” tegas Nany.
4. Diskriminatif untuk Kelompok Minoritas Gender
Revisi UU Penyiaran kali ini juga dinilai memperburuk kualitas demokrasi Indonesia, khususnya di ruang digital. Nenden S. Arum, Direktur SAFEnet menyampaikan, ada beberapa poin yang dapat merugikan masyarakat dan diskriminatif terhadap kelompok minoritas gender. Secara spesifik aturan ini tertera pada Pasal 56 ayat 2 (g) terkait larangan penayangan Isi Siaran dan Konten Siaran yang menyajikan perilaku lesbian, homoseksual, biseksual, dan transgender.
“RUU ini melihat adanya kemunculan media baru sebagai ancaman keamanan nasional. Padahal, ini adalah wadah untuk kelompok marginal menyampaikan ekspresinya di ranah digital. Jangan-jangan ini bukan menjadi RUU Penyiaran, tetapi RUU Penyensoran,” ungkap Nenden dalam konferensi yang sama.
Tidak hanya itu, Sarah dari Perempuan Mahardika berkomentar, draf revisi bisa membatasi ekspresi tertentu melalui aksi penyensoran. Ini, adalah salah satu tindakan penghilangan hak warga negara.
“Pembatasan ekspresi-ekspresi tertentu melalui penyensoran ini sebenarnya dapat dilihat sebagai bentuk penyempitan ruang ekspresi kelompok marginal. Ini adalah bentuk pemiskinan struktural,” tambah Sarah.
Pembatasan muatan konten penyiaran yang diskriminatif pun melanggar Konvensi Cedaw terkait anti diskriminasi terhadap perempuan. Koalisi Penyiaran Stop Diskriminasi sendiri sudah menyatakan sikap terkait hal ini. Karena Indonesia telah meratifikasi CEDAW tentang diskriminasi terhadap perempuan di tahun 1984, sudah semestinya pasal-pasal diskriminatif seperti di atas perlu dihapuskan.
5. Pasal Karet Penghinaan dan Pencemaran Nama Baik
Dalam Pasal 50B Ayat 2 Huruf (k) dijelaskan tentang larangan penayangan konten siaran yang mengandung berita bohong, fitnah, penghinaan, dan pencemaran nama baik. Same vibe seperti UU ITE, definisi “penghinaan” dan “pencemaran nama baik” berpotensi jadi pasal karet karena tafsirnya beragam.
Ketidakjelasan itu bisa menjadi alat pembungkam kritik serta mengancam kebebasan berpendapat dan pers di Indonesia. Bukan tak mungkin, akan semakin banyak orang yang bisa dipidana penjara karena pasal ini.
Ilustrasi oleh: Karina Tungari