Issues Politics & Society

#SetopLiberalisasiKampus: UKT Mahal, Pinjol Jadi Jalan Ninja Saya

Biaya kuliah yang semakin tak masuk akal, bikin banyak mahasiswa tercekik pinjaman ‘online’ (pinjol).

Avatar
  • May 29, 2024
  • 5 min read
  • 1390 Views
#SetopLiberalisasiKampus: UKT Mahal, Pinjol Jadi Jalan Ninja Saya

Bayang-bayang Uang Kuliah Tunggal (UKT) mahal boleh jadi momok menakutkan bagi calon mahasiswa baru. Namun jauh sebelum ribut-ribut UKT mahal, sudah ada sejumlah mahasiswa lama yang pontang-panting berutang demi mengejar gelar sarjana. Tak sedikit pula yang sampai terjerat utang pinjaman online (pinjol). 

Sora, 21, mahasiswa semester enam di Universitas Diponegoro adalah salah satu di antaranya. Ia tak berasal dari latar belakang keluarga berada. Sang bapak, Pegawai Negeri Sipil yang telah pensiun sejak Sora duduk di bangku kelas 1 Sekolah Menengah Atas (SMA). Sementara, ibunya sempat menjadi staf di asuransi Bumiputera sampai akhirnya terkena pemutusan hubungan kerja (PH) dua tahun lalu buntut kerugian besar perusahaan. 

 

 

Dulu saat ibu masih bekerja, biaya kuliah Sora sebesar Rp4 juta per semester masih aman dibayarkan. Namun, keadaan berubah drastis, sehingga orang tua Sora mesti berutang ke teman dan keluarga cuma demi bayar UKT. 

Baca Juga: THR Sudah Dekat, Cari Tahu Dulu Sejarah dan Kontroversinya 

Nyatanya, berutang kepada orang dekat saja tidak cukup. Selain harus bayar UKT, Sora harus membayar kos sebesar Rp750 per bulan dan kebutuhan kuliah lain yang semakin membengkak. Sebagai gambaran, di semester enam ini, Sora harus mengikuti program magang. Dalam program tersebur, ia perlu membuat proyek kewirausahaan yang dalam waktu dua setengah bulan telah menghabiskan uang sebesar Rp2,5 juta. 

“Magang ini butuh banyak uang buat bikin laporan, seminar, projek buat yang kewirausahaan itu per anak iuran Rp300 ribu. Jadi memang butuh banyak modal lagi,” jelasnya. 

Tidak mau membebani orang tuanya lebih jauh, Sora lalu memutuskan untuk ambil pinjol. Awalnya ia mulai ambil pinjol saat awal semester empat. Tanpa sepengetahuan ibu, ia ambil pinjol senilai satu juta dengan asumsi bisa melunasinya dengan ambil pekerjaan sampingan yang mulai dirintis pada 2021. 

Pekerjaan sampingannya ini ada berbagai macam, mulai dari jasa jual menjual aplikasi premium streaming platform, joki tulis tangan, hingga antar jemput. Sayangnya, pekerjaan sampingan tak membuat Sora bisa melunasi pinjol yang bunganya mencekik leher. Sejak itulah, ia mulai gali lubang tutup lubang dengan mengambil pinjol lainnya. 

“Aku malah aku ada perlu untuk kebutuhan lainnya lagi, yaitu beli buku sama proyek besar kewirausahaan dari fakultas. Aku enggak berani bilang orang tua kalo butuh modal banyak buat ini, akhirnya aku putusin buat pinjol lagi,” tuturnya. 

Sora kini terlilit utang pinjol tanpa tahu kapan bisa melunasinya. Keadaan semakin sulit, karena kesibukan di kuliah bikin ia kesulitan menjalankan pekerjaan sampingan untuk melunasi pinjol. 

Sora bercerita di tengah situasi finansial, ia pernah “meminta” bantuan pihak universitas untuk meringankan beban pembiayaan UKT. Namun, dua kali banding UKT ke pihak universitas, di semester empat dan lima, dua kali juga bandingnya ditolak tanpa alasan jelas. 

“Alasannya tidak dijelaskan secara rinci oleh pihak UNDIP. Cuma ada tulisan berkas tidak diterima,” jelasnya. 

Baca juga: Gaji Secuil, Lingkungan Toksik: Potret Buram Kesejahteraan Dosen Indonesia

Utang Kuliah Bukan Solusi 

Sora bukan satu-satunya mahasiswa yang terjerat pinjol karena biaya kuliah yang semakin mahal. Salah satu platform pinjol yang bermitra dengan kampus negeri, seperti UGM hingga ITB, mengklaim telah menyalurkan Rp400 miliar pinjaman ke 28 ribu akun mahasiswa sejak 2021. Data ini menunjukkan, pinjol sudah jadi opsi yang umum di dunia pendidikan. 

Meski sudah jamak, berutang dari aplikasi pinjol bukan tanpa kelemahan. Artikel Rayenda Khresna Brahmana (2024) menegaskan, pinjol semakin membuat kampus jadi tak inklusif. Padahal semestinya, pendidikan bisa diakses oleh banyak orang tanpa kecuali. Namun, pinjol dengan bunganya yang tinggi, menjerat mahasiswa hingga sukar keluar dari lingkaran utang. Imbasnya, jika gagal melunasi, tentu bakal berpengaruh pada skor kredit mereka di kemudian hari. 

Menyikapi ini, pemerintah menawarkan skema student loan atau pinjaman mahasiswa. Namun, Ayu Anastasya Rachman, Peneliti Ekonomi Politik dan Diplomasi Pendidikan Tinggi dari Universitas Padjadjaran mencatat, hal ini tak bisa jadi solusi. 

Indonesia pada era Orde Baru pernah memberlakukan skema ini dalam bentuk Kredit Mahasiswa Indonesia (KMI). Dikutip dari Harian Kompas, berlaku sejak 8 Mei 1982, kredit ini disalurkan bagi mahasiswa melalui sejumlah bank seperti Bank Negara Indonesia (BNI), Bank Rakyat Indonesia (BRI), dan Bank Ekspor-Impor Indonesia. 

Dalam penerapannya, kredit yang diberikan pada mahasiswa jenjang S1, S2, S2, dan program non-gelar diploma II ini dilakukan lewat pembayaran angsuran pokok dan bunga KMI dengan potongan langsung gaji secara langsung (auto debet) tiap bulan melalui instant atau perusahaan tempat lulusan bekerja. 

Sebagai jaminan, ijazah mahasiswa akan ditahan sampai pinjaman tersebut lunas. Namun, karena sulitnya mendapat pekerjaan dan harga kebutuhan pokok yang terus melonjak naik, para penerima KMI sulit membayar cicilan. Alhasil kredit macet jadi tak terhindarkan bahkan BNI sempat menanggung sedikitnya Rp3,4 miliar. 

Dengan berkaca pada sejarah, Ayu mengatakan, sudah seharusnya pemerintah tak lagi mempertimbangkan skema merugikan itu. Pendidikan yang tidak terbatas pada wajib belajar dua belas tahun seyogyanya adalah hak semua warga negara seperti diamanatkan konstitusi.  

Karena itu, Ayu menawarkan setidaknya dua solusi yang ia nilai lebih cocok diambil pemerintah untuk mengatasi mahalnya biaya kuliah. 

Baca Juga: Mendadak Pulang, Balada Buruh Migran Perempuan Terjebak Stigma dan Beban Ganda 

Pertama, diversifikasi beasiswa, salah satunya yang bisa disasar adalah kelas menengah yang selama ini tidak begitu diperhatikan negara. 

Blind spot biaya pendidikan kita itu ada di kelas menengah. Mereka ini distigma mampu, banyak duitnya padahal dekat dengan garis kemiskinan. Misalnya saja anak dosen bukan PNS atau guru honorer yang gajinya kecil. Mereka butuh bantuan biaya pendidikan berupa beasiswa dari pemerintah, tidak cuma kalangan yang finansial kurang mampu,” jelas Ayu. 

Kedua, pinjaman berbunga rendah di mana tidak boleh mengambil keuntungan dari mahasiswa. Bunganya sendiri tidak harus berbentuk uang. 

“Mungkin nanti bisa dipikirkan bagaimana agar kita tidak memberat mahasiswa dari segi bunga, bisa dibuat bentuk pengembalian dalam bentuk berkontribusi ke daerah. Atau mahasiswa lulus dapat pekerjaan dengan posisi strategis dia dapet amnesti pinjaman kemudian dia bikin project yang luar biasa untuk negaranya sendiri. Jadi yang dicari bukan profit, tapi digunakan untuk menge-empower kelompok intelektual Indonesia,” tutup Ayu. 

Artikel ini adalah bagian series artikel pendidikan Magdalene bertema UKT mahal di banyak perguruan tinggi Indonesia. 



#waveforequality


Avatar
About Author

Jasmine Floretta V.D

Jasmine Floretta V.D. adalah pencinta kucing garis keras yang gemar membaca atau binge-watching Netflix di waktu senggangnya. Ia adalah lulusan Sastra Jepang dan Kajian Gender UI yang memiliki ketertarikan mendalam pada kajian budaya dan peran ibu atau motherhood.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *