History Issues Politics & Society

THR Sudah Dekat, Cari Tahu Dulu Sejarah dan Kontroversinya

Tanpa perjuangan panjang para buruh, kita tak mungkin bisa cicipi THR. Lalu, kenapa pemerintah repot menyunatnya hari ini?

Avatar
  • March 28, 2024
  • 7 min read
  • 1978 Views
THR Sudah Dekat, Cari Tahu Dulu Sejarah dan Kontroversinya

Menunggu turunnya Tunjangan Hari Raya (THR) jelang Lebaran bisa jadi momen yang relatif mendebarkan. Setidaknya jika mengacu pada Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 6 Tahun 2016 tentang THR Keagamaan bagi Pekerja/Buruh di Perusahaan, setiap buruh wajib menerima THR maksimal H-7 Lebaran.  

Masalahnya, ada pemandangan berbeda dalam penerimaan THR tahun ini. Di X dan Instagram, banyak warganet menyoroti potongan pajak THR 2024. Lewat Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 58 Tahun 2023, Direktoral Jendral Pajak mulai berlakukan perubahan tarif pemotongan PPh 21 menggunakan skema tarif efektif rata-rata (TER). 

 

 

Karena THR termasuk tunjangan dalam objek PPh 21, sebagaimana tertuang dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan (PPh), imbasnya uang THR buruh bakal disunat jadi lebih sedikit. 

Lepas dari itu, sebenarnya sejak kapan, sih THR ada di Indonesia? Kenapa cuma ada di negara ini saja? 

Baca Juga: Menolak Lupa, Kerusuhan Mei 1998

Muncul dari Kondisi Kemiskinan Buruh

Jafar Suryomenggolo, peneliti di Pusat Studi Kajian Asia Tenggara (CSEAS) Universitas Kyoto, dalam bukunya Politik Perburuhan Era Demokrasi Liberal 1950-an (2015) memberi penjelasan. Kata dia, di Asia Tenggara hanya Indonesia saja yang memberlakukan pemberian THR buruh.  

Ini mulai jadi diskursus pada 1950-an, di mana upah buruh di semua lapangan kerja, khususnya perkebunan masih sangat rendah. Upah rendah ini sangat kontras dengan kenaikan harga barang-barang kebutuhan pokok jelang hari raya. Buruh semakin tercekik karenanya. 

Kemiskinan buruh pada dekade itu pernah digambarkan pengamat ekonomi perburuhan Everett Hawkins dalam artikelnya Labour in Developing Economics (1962). Hawkins menulis, buruh di Indonesia terpaksa menerima fakta, harga bahan pokok terus naik dari tahun ke tahun. 

“Harga 19 bahan pokok di Jakarta naik 77 persen dari tingkat awal 100 persen pada 1953 menjadi 177 persen pada 1957, dan kemudian naik makin cepat, dari 258 pada 1958 menjadi 325 pada akhir 1959,” tulis Hawkins. 

Kondisi itu membuat posisi sosial-ekonomi kaum buruh jadi semakin rendah di masyarakat terutama di mata pemberi kerja. Ogah pasrah, buruh pun berserikat dan menuntut kenaikan kesejahteraan lewat demo dan mogok kerja. Masalah utama yang diangkat gerakan buruh adalah kenaikan upah dan THR yang dulu dikenal sebagai “hadiah Lebaran”.  

Jafar menambahkan, tuntuan akan hadiah Lebaran ini diharapkan bisa lebih mudah dan cepat direalisasikan dibandingkan kenaikan upah. Selain itu, dibandingkan kenaikan upah, hadiah Lebaran dinilai lebih dapat diterima oleh pengusaha karena tidak terlalu membebani. 

Baca Juga: 20 Tahun Tragedi Mei 1998, Keluarga Korban Terus Minta Keadilan

Semua Berkat Serikat Buruh

THR yang sudah jadi tuntutan buruh semakin galak didorong. Ini dapat dilihat dari catatan Panitia Penyelesaian Pertikaian Perburuhan (P4) sepanjang 1951-1952 yang menyelesaikan 51 perselisian perburuhan. Dari jumlah itu, kebanyakan diajukan serikat buruh, termasuk ihwal THR. 

Dalam hal ini, ada peranan besar Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI), yang kemudian hari dicap sebagai organ Partai Komunis Indonesia (PKI). Sebagai corong serikat buruh buruh, mereka menuntut perusahaan membayar THR senilai satu bulan gaji penuh pada Sidang Dewan Nasional II, Maret 1953 di Jakarta.

Tuntutan ini, kata Jafar cukup progresif mengingat THR umumnya masih dianggap kesukarelaan dan hasil negosiasi dengan pemberi kerja. Kemudian pada 1955, SOBSI menjalin kerja sama dengan sejumlah serikat buruh di kalangan pengawai negeri untuk dapat menggolkan tuntutan THR bersama-sama.  

SOBSI menyusun program tuntutan yang salah satunya menekankan, pemerintah harus memberikan THR kepada semua kaum buruh termasuk PNS yang digaji menurut Peraturan Gadji Pegawai Negeri (PGP), buruh otonom, pamong desa, pegawai non-aktif, buruh pensiunan, tentara, dan polisi. Apa yang disampaikan SOBSI jelas. Mereka mendesak pemerintah agar THR bisa dinikmati buruh sebagai kewajiban pengusana bukan pemberian sukarela. 

Perlu dicatat pada 1954 pemerintah telah peraturan yang disebut sebagai “persekot hari raja”. THR tersebut lebih berbentuk uang pinjaman yang wajib dibayar kembali di kemudian hari. Adapun besarannya separuh penghasilan bersih yang diterima terakhir dalam bulan. Menurut Pasal 6 ayat (1) PP tersebut, pengembalian “dilakukan dalam enam angsuran dengan memotong gaji pegawai yang bersangkutan tiap-tiap bulannya.  Persekot hari raja sendiri juga hanya berlaku untuk pegawai negeri saja.  

Sedangkan untuk para buruh swasta, ada istilah “Hadiah Lebaran” berdasar Surat Edaran nomor 3676/54 yang dikeluarkan Menteri Perburuhan S.M. Abidin dalam Kabinet Ali Sastroamidjojo I. Peraturan ini, kata Jafar, dikeluarkan guna meredam militansi serikat buruh. Diberikan atas dasar kesukarelaan, besaran Hadiah Lebaran nilainya seperduabelas dari upah yang diterima buruh semasa Lebaran sebelumnya dan yang akan datang. Atau sekurang-kurangnya 50 rupiah dan sebanyak-banyaknya 300 rupiah. 

Pada 1955, 1956, 1957, 1958, surat edaran itu sama isinya dan tidak banyak membawa perubahan karena tidak punya kekuatan hukum. Surat itu bersifat anjuran, sehingga sama sekali tidak menyelesaikan masalah. Karena itulah, serikat buruh terutama SOBSI terus bergerak. Lewat aksi pemogokan, demonstrasi, dan pengajuan persoalan THR sebagai bentuk perselisihan perburuhan, mereka semakin keras melawan. 

Perjuangan serikat buruh ternyata mulai memberikan hasil. Di bawah kepemipinan Ahem Erningpradja, peraturan yang mengukuhkan keberadaan THR sebagai hak ekonomi buruh diterbitkan, yakni Peraturan Menteri Perburuhan Nomor 1 Tahun 1961 tentang Tundjangan Hari Raya Lebaran. Menurut peraturan ini, THR menjadi hak bagi buruh swasta maupun negeri yang mempunyai hubungan kerja sekurang-kurangnya tiga bulan tidak terputus (Pasal 1 ayat 1).  

Selama tahun-tahun berikutnya, isi peraturan ini dikukuhkan kembali lewat Peraturan Menteri Perburuhan. Bedanya tulis Jafar hanya berupa jumlah nominal besaran THR tiap tahun. 

Baca Juga: Catatan Hitam Indonesia dalam Lima Novel Sejarah

Sempat Dinilai sebagai Masalah oleh Orde Baru

Kemenangan serikat buruh sayangnya tidak berlangsung lama. Jafar mencatat lewat Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja, Mohammad Sadli yang pada periode 1968-1972, Ketua Komite Penanaman Modal Asing (KMPA) mempermasalahkan keberadaan THR yang dinilai sebagai hambatan komparatif dalam menarik investasi modal asing. Ia mengusulkan pengganti THR dan membuat THR bukan lagi hak ekonomi buruh.

Terbitnya surat ini pun membuktikan arah kebijakan industrialisasi Orde Baru yang berorientasi ekspor. Hambatan-hambatan teknis hukum sengaja dilakukan untuk memuluskan jalan investor asing. Pemerintah pun dalam hal ini memperlihatkan ketidakberpihakannya pada buruh di negerinya sendiri. Apalagi, kata Jafar, bentuk Surat Edaran cuma ditunjukan kepada para pengusaha dan dapat langsung diterapkan tanpa persetujuan buruh.

Hilangnya tuntutan THR sepanjang 1970-an lalu sejalan dengan makin ketatnya kendali pemerintah atas gerakan buruh. Buruh tidak diberikan kesempatan untuk menyuarakan apa yang menjadi hak dan kepentingnya secara bebas dan mandiri. Karena itu pula, catat Jafar akisi pemogokan dan demostrasi tidak hanya mustahil tapi jadi tabu sosial-politik.

Walaupun dibungkam, gerakan butuh tidak sepenuhnya lupa atas hak-haknya. Kebijakan industrialisasi Orde Baru membuat buruh semakin berani menyuarakan tuntutan-tuntutan ekonominya di luar institusi kendali negara. Sepanjang 1989 hingga 1993 terhadi lonjakan pemogokan yang memuncak pada 1994.

Salah satu aksi pemogokan terkemuka terjadi di Medan pada April 1994. Pemogokan ini sebagaimana yang diungkap oleh pleidoi Muchtar Pakpahan, Ketua Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI) berawal dari tuntutan pemenuhan THR. Aksi pemogokan inilah yang kemudian membuka kesempatan gerakan buruh untuk menyuarakan tuntutannya.

Akhirnya demi memperlihatkan “itikad baik” pemerintah pada buruh, Peraturan Menteri Tenaga Kerja (Permenaker) Nomor 4 Tahun 1994 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan bagi pekerja swasta di perusahaan diterbitkan. Sayang, menurut Jafar, peraturan ini tetap tidak kembali mengakui keberadaan THR sebagai hak buruh, melainkan hanya sebagai bentuk “perhatian pemerintah” saja.

Dikutip dari Kata Data, memasuki era reformasi pokok-pokok aturan mengenai pemberian tunjangan hari raya masih mengadopsi aturan yang tertera dalam Permenaker Nomor 4 Tahun 1994. Revisi atasnya baru dilakukan di era kepemimpinan Presiden Joko Widodo pada 2016 melalui Permenaker Nomor 6 Tahun 2016.

THR kembali jadi kewajiban pemberi kerja dan juga diberikan untuk pekerja yang berstatus pegawai kontrak, yang bekerja berdasarkan perjanjian kerja harian lepas. Termasuk yang bekerja berdasarkan perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT) ataupun perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT).

Revisi aturan terkait THR ini bisa dibilang jadi kemenangan. Karena itu kita perlu menghargai perjuangan para buruh terdahulu.

Ilustrasi oleh: Karina Tungari



#waveforequality


Avatar
About Author

Jasmine Floretta V.D

Jasmine Floretta V.D. adalah pencinta kucing garis keras yang gemar membaca atau binge-watching Netflix di waktu senggangnya. Ia adalah lulusan Sastra Jepang dan Kajian Gender UI yang memiliki ketertarikan mendalam pada kajian budaya dan peran ibu atau motherhood.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *