Sudah Jatuh Tertimpa Tangga, Nasib Perempuan Korban Terorisme
Dari ekonomi, sosial, hingga gangguan reproduksi, perempuan korban terdampak terorisme masih luput dari perhatian negara.
Aksi terorisme di Indonesia bukan hal baru. Kekerasan ekstrem yang kerap memakai dalih agama ini pertama kali terjadi pada 1981, yaitu pembajakan pesawat Garuda DC 9 Woyla. Tren aksi terorisme ini mulai menunjukkan wajah barunya sejak Indonesia mengalami perubahan politik drastis buntut Reformasi 1998. Mereka jauh lebih terang-terangan.
Bagi kelompok radikal pro-terorisme, demokrasi bertentangan dengan agenda mereka mencapai Islam yang menyeluruh. Mereka konon memiliki agenda politik dan ingin mengubah sistem kenegaraan Indonesia.
Tahun 2000 menjadi awal mula deretan aksi pengeboman yang masif di Tanah Air. Komisi Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) dalam acara ”Peluncuran Kertas Kerja Kebijakan dan Pemetaan Pengalaman Perempuan Terdampak Aksi Terorisme”, (25/6) mencatat, ada 57 peristiwa terorisme sepanjang hampir tiga dekade (2000-2022). Peristiwa terorisme ini tersebar di 33 kota/kabupaten.
Dari 33 kota/kabupaten ini, Komnas Perempuan melakukan pemetaan sepanjang Maret hingga November 2023 di beberapa daerah Surabaya, Bali, Poso, Sigi, dan Jakarta. Tujuannya untuk melihat dampak serangan teroris terhadap korban langsung maupun tidak langsung yang terdiri dari 35 perempuan.
Temuan Komnas Perempuan menunjukkan, perempuan korban mengalami dampak berlapis dari serangan terorisme. Kerugian fisik seperti disabilitas permanen dan kerugian psikologis seperti post-traumatic stress disorder atau PTSD akibat pengeboman, bukan dampak tunggal. Faktanya, Komisioner Komnas Perempuan Dr. Imam Nahe’i M.H.I bilang, perempuan korban terdampak terorisme juga mengalami kerugian fungsi reproduktif bahkan hingga dampak sosial berupa pemaksaan perceraian.
Baca Juga: Napi Teroris Perempuan: Perannya Disepelekan, Nasibnya Terpinggirkan di Penjara
Beban Berlapis
Pada 13 Mei 2018, tiga bom meledak di tiga gereja dengan waktu yang hampir bersamaan di Surabaya. Ketiga gereja tersebut adalah Gereja Pantekosta Pusat Surabaya (GPPS) di Jalan Arjuno, Gereja Santa Maria Tak Bercela di Jalan Ngagel Madya, dan Gereja Kristen Indonesia (GKI) di Jalan Diponegoro. Menurut keterangan kepolisian, ledakan bom tersebut merupakan aksi bom bunuh diri.
Dari kejadian itu, setidaknya ada 13 orang meninggal dunia, sedangkan korban luka-luka sebanyak 47 orang, dengan 3 korban dalam keadaan kritis dengan luka bakar mencapai 99 persen. Dari korban yang meninggal dunia 6 adalah perempuan, sementara 25 yang lain ada adalah korban luka-luka.
“Eni” adalah salah satu korban luka-luka dengan luka bakar yang diderita hampir 85 persen dan harus dirawat di rumah sakit selama 3 bulan, dan lebih dari 30 kali operasi untuk pembersihan luka, serta 5 kali operasi plastik. Dari wawancara bersama Komnas Perempuan, Eni bercerita, berkat luka bakar yang dialaminya, ia terpaksa harus berhenti melakukan aktivitas selama lima tahun hanya untuk pemulihan.
Sepanjang pemulihan, ia sangat bergantung pada suami dan anaknya karena karena luka-luka yang dimiliki Eni harus dibersihkan, tidak bisa dibersihkan sendiri. Eni menambahkan, walau masih bisa berjalan, karena ada jarinya yang terputus, maka ia menjadi disabilitas permanen.
Bukannya dapat dukungan dari musibah yang menimpanya, Eni justru dapat tekanan besar dari keluarga, terutama keluarga suami. Mertua Eni berulang kali memintanya untuk dipulangkan ke rumah orang tuanya atau diceraikan karena dianggap tak layak jadi istri yang bisa melayani suami, membersihkan rumah, dan memasak.
“Suami sering kali ditanyakan keadaan seperti itu mau sampai kapan, ini membuat saya merasa tertekan, depresi, dan menangis setiap hari,” tuturnya, dikutip dari kajian Komnas Perempuan.
Ternyata bukan Eni saja yang punya pengalaman serupa. Dr. Imam Nahe’I dalam pemaparannya mengungkapkan, Komnas Perempuan menemukan beberapa perempuan korban yang bahkan dipaksa bercerai oleh suaminya.
“Ternyata budaya patriarki berdampak besar pada para perempuan korban terorisme. Saat mereka jadi korban, mereka sudah tidak dianggap layak oleh budaya patriarki sebagai perempuan cantik. Mereka juga tidak lagi dianggap layak jadi istri karena tidak bisa mengayomi dan melayani suami atau keluarganya. Ini banyak ditemui di Surabaya dan Bali,” kata Nahe’I.
Sayangnya, standar kelayakan perempuan dalam budaya patriarki bukan satu-satunya dampak yang dialami perempuan. Komnas Perempuan mendapati ada sejumlah dampak ekonomi dan psikologis yang dialami perempuan korban tidak langsung. Dalam masyarakat yang masih mengamini dan mempraktikkan peran gender tradisional, laki-laki selalu diposisikan sebagai pencari nafkah utama, sedangkan perempuan diposisikan sebagai pengasuh atau pengayom rumah tangga.
Dalam kasus perempuan korban tidak langsung di mana suami mereka meninggal atau mengalami disabilitas permanen, peran gender tradisional ini membuat mereka kehilangan sumber penghidupan. Mereka dihadapkan situasi untuk melakukan sesuatu yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya.
Mereka yang tak pernah ikut andil dalam mencari nafkah keluarga, pasca-peristiwa mengalami depresi karena tidak punya kesiapan dalam bertanggung jawab menafkahi anak-anaknya. Komnas Perempuan mencatat, ada pula yang memutuskan untuk tinggal di rumah mertua karena tidak tahu harus berbuat apa dan tidak punya penghasilan ekonomi. Situasi-situasi ini membuat perempuan semakin rentan jatuh dalam jurang kemiskinan dan kesehatan mental serta fisik mereka jadi taruhannya karena mengalami beban ganda sebagai pencari nafkah yang juga melakukan kerja perawatan.
Baca Juga: Ahli: Kemiskinan Bukan Sebab Utama Terorisme
Negara Belum Hadir
Tak cuma itu, luka dan serpihan logam pasca-pengeboman juga berefek pada fungsi reproduktif mereka. “Marlina” menyampaikan, tidak dapat menyusui karena di dalam payudaranya masuk serpihan-serpihan logam halus.
Ia harus melakukan operasi lebih dari 13 kali, namun sayangnya tak berhasil mengeliminasi serpihan logam halus di payudaranya. Buntutnya, beberapa tahun ke depan ketika ia melahirkan, Marlina terpaksa tidak bisa menyusui bayinya.
Hal yang sama dialami oleh “Nadine”. Penyintas bom Bali itu menyampaikan, meskipun dapat melewati masa hamil, menyusui menjadi pengalaman yang sangat menyakitkan buatnya. Bingung dengan rasa sakit di payudara, Nadine memeriksakan diri ke dokter. Setelah diperiksa, ternyata rasa sakit yang timbul saat menyusui anak, terjadi karena masih ada serpihan logam ledakan bom yang sangat halus di payudara. Sama halnya dengan Marlina, Nadine pun terpaksa berhenti memberikan ASI pada anaknya.
Tak cuma perkara menyusui, ledakan bom berdampak buruk pada psikologi perempuan korban hingga berdampak pada siklus menstruasi. “Ratih”, penyintas dari Jawa Timur menyampaikan, karena luka bakar bakarnya serta penderitaan psikis, ia tidak menstruasi selama lima tahun. Sementara, “Indah” mengalami haid tidak teratur dan berhenti menstruasi pada usia 43 sampai sekarang karena trauma berat yang ia alami sebagai korban langsung.
Dengan dampak berlapis perempuan ini, seyogyanya pemerintah punya perhatian khusus terhadap perempuan korban. Indonesia sebenarnya telah memiliki dasar hukum yang telah menjamin hak-hak korban, termasuk dari tindakan teroris lewat Undang-undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban dan Undang-undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Terorisme.
Lewat UU Nomor 31 Tahun 2014 dijelaskan, korban berhak memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga dan hartanya, serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikan. Korban juga berhak mendapat pendampingan bantuan medis, bantuan rehabilitasi psikososial dan psikologis, memperoleh restitusi, serta santunan bagi keluarga korban meninggal dan kompensasi.
Sementara dalam Pasal 35 UU Nomor 5 Tahun 2018 disebutkan, korban serangan teroris berhak mendapatkan bantuan medis, rehabilitasi psikososial dan psikologis, santunan bagi keluarga korban meninggal, kompensasi, dan restitusi.
Sayangnya walaupun hak-hak korban sudah dijamin undang-undang, Komnas Perempuan menemukan sejumlah hambatan dalam penanganan korban. Mereka menemukan layanan medis untuk korban terdampak terorisme masih parsial dan tidak berkelanjutan. Wakil Ketua Komnas Perempuan Olivia Salampessy sendiri masih menemukan, korban terdampak terorisme cuma mendapatkan “jatah” pemulihan selama tiga bulan saja dari pemerintah. Padahal harusnya proses pemulihan korban terdampak terorisme tidak dengan batas tertentu.
“Ini (pemulihan) kalau putus bisa menimbulkan trauma berkepanjangan bahkan hatred (pada kelompok tertentu yang diasosiasikan dengan pelaku pengeboman) yang bisa berdampak pada bentuk kekerasan baru,” kata Olivia.
Selain itu tak kompasnya koordinasi pemerintah pusat dan pemerintah daerah juga ditemukan oleh Komnas Perempuan. Hal ini berdampak pada akses layanan pemulihan korban yang jadi terabaikan. Dalam hal ini, isu terorisme dianggap sebagai tanggung jawab pemerintah pusat.
Sementara itu, Nahe’I menambahkan, bantuan berupa dana dan kompensasi juga tidak diiringi penjelasan dan tidak merata. Bahkan dalam temuan Komnas Perempuan, korban baru bisa mendapatkan bantuan pemerintah jika mereka masuk dalam kategori masyarakat miskin.
Baca Juga: Sastra Bisa Jadi Alternatif Tangkal Terorisme dan Radikalisasi: Riset Terbaru
“Ini membuat marah kawan-kawan korban. Untuk dapat bantuan mereka sampai ditanya “Kamu miskin atau tidak?” Mereka harus mengkategorikan diri sebagai masyarakat miskin baru bisa dapat bantuan,” jelasnya.
Dengan berbagai hambatan yang ditemui di lapangan, Komnas Perempuan memberikan beberapa rekomendasi.
Pertama, mekanisme referral yang secara khusus untuk pendampingan dan pemulihan perempuan korban aksi terorisme berperspektif gender. Ini lantaran pola kekerasan dan penanganannya sangat berbeda dengan kekerasan berbasis gender pada umumnya.
Kedua, bekerja sama lintas lembaga seperti Kementerian Pemberdayaan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) serta organisasi/ paguyuban korban dalam menindaklanjuti akses layanan pemenuhan hak korban. Ini terutama mencakup aspek kesehatan, pemulihan dari trauma secara berkelanjutan (psikis dan psikososial, ekonomi, pendidikan keluarga, kesejahteraan sosial).
Ketiga, membangun koordinasi dalam sinkronisasi Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme (RAN-PE) dan Rencana Aksi Daerah (RAD) PE yang telah disusun di sejumlah daerah. Ini diperlukan agar perencanaan tidak hanya sebatas tertulis di kertas saja, tapi dapat menjembatani penanganan pemenuhan hak-hak korban di daerah masing-masing.
Ilustrasi oleh: Karina Tungari