Culture Gender & Sexuality Opini

Jamu: Melawan Patriarki Lewat Ramuan Kesehatan Tradisional Indonesia

Ada pergerakan perempuan dalam tradisi jamu kita—sesuatu yang sering kali dilihat sebelah mata.

Avatar
  • November 24, 2024
  • 6 min read
  • 375 Views
Jamu: Melawan Patriarki Lewat Ramuan Kesehatan Tradisional Indonesia

“Dulu, nenek saya selalu membuat jamu untuk keluarga, itu cara kami menjaga ikatan. Tapi belakangan, saya merasa perempuan seperti saya jarang dilihat sebagai bagian penting dari cerita ini,” salah seorang peserta workshop yang saya bikin Agustus 2023 lalu membuka kisahnya.

Ia yang kini berusia 25, resah karena merasa jauh dari tradisi produksi jamu yang dulu dekat dengan neneknya. “Kami seringnya cuma dianggap konsumen, bukan penggerak,” tambahnya.

 

 

Keresahan salah satu peserta ini memang jadi satu topik penting yang kami bahas dalam workshop hari itu. Jamu, di Indonesia, bukan sekadar obat herbal. Ia adalah representasi identitas, terutama bagi perempuan. Lewat jamu, perempuan tidak hanya menjaga kesehatan keluarga, tetapi juga mengklaim ruang mereka dalam praktik kesehatan tradisional yang kaya makna. Di tengah derasnya arus patriarki, jamu menjadi simbol perlawanan yang unik, memulihkan keseimbangan, sekaligus menyuntikkan otonomi bagi para perempuan penggeraknya.

Peserta lain bilang, “Lewat jamu, kami bisa lebih mengerti tentang pemberdayaan diri, tentang hak kami untuk mengontrol kesehatan dan tubuh kami.” Ini menggambarkan bagaimana jamu tidak hanya berfungsi sebagai alat untuk menjaga kesehatan, tetapi juga sebagai simbol perlawanan terhadap patriarki. Dengan jamu, perempuan tak hanya melestarikan warisan budaya, tetapi juga memperjuangkan otonomi dan kesetaraan dalam dunia kesehatan.

Sejak ratusan tahun lalu, seperti yang dicatat dalam Penyelenggaraan Pengobatan Tradisional di Indonesia (Wahyuni, 2021), jamu telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari, diwariskan dari generasi ke generasi oleh tangan perempuan. Resep-resep jamu,  yang sebagian besar berbasis tanaman lokal, bukan hanya menjadi pengobatan bagi tubuh, tetapi juga membentuk jaringan sosial yang menguatkan komunitas perempuan.

Dalam budaya kita, perempuan yang mengolah dan menyajikan jamu bukan hanya bertindak sebagai “penyembuh” bagi masyarakat, melainkan juga penjaga tradisi. Ketika sistem kesehatan modern sering kali didominasi oleh perspektif laki-laki, jamu hadir sebagai pengingat akan pentingnya ruang yang diciptakan, dirawat, dan diwariskan oleh perempuan. Jamu adalah kekuatan mereka untuk berdaya, untuk menantang stereotip yang ada, dan untuk kembali ke akar yang merawat, bukan hanya menyembuhkan.

Baca juga: ‘Gadis Kretek’ dan Citra Perempuan Merokok: Melawan atau Sekadar Keren-kerenan?

Dijerat Patriarki, Dijegal Kapitalisme dalam Industri Medis

Perjalanan jamu tidak selalu mulus dalam memasuki dunia medis yang dominan didominasi oleh patriarki.

Struktur patriarki dalam industri kesehatan sering kali meremehkan atau mengabaikan kontribusi perempuan dalam praktik-praktik kesehatan tradisional, termasuk dalam pengolahan jamu. Industri medis, dalam Refleksi Praktek Harmful Traditional Practices di Indonesia (Astuti & Lestari, 2020), disebut cenderung melihat jamu sebagai solusi alternatif daripada sebagai pengobatan utama.

Meski banyak tantangan, popularitas jamu terus berkembang, terutama karena semakin banyak perempuan yang terlibat dalam pengolahan dan distribusinya sebagai sumber mata pencarian. Ketika perempuan mulai membangun kemandirian ekonomi melalui jamu, mereka secara tidak langsung menantang struktur ekonomi yang patriarkal, dan bukan lagi sekadar konsumen pasif. Mereka menjadi produsen aktif yang mendorong jamu ke garda depan sebagai solusi kesehatan lokal. Hal ini menunjukkan bahwa pengobatan tak selalu harus datang dalam bentuk pil atau suntikan, tetapi bisa hadir dalam bentuk minuman sederhana yang sarat dengan nilai.

Dalam konteks pemberdayaan perempuan melalui jamu, beberapa inisiatif menonjol yang membantu perempuan untuk membangun kemandirian ekonomi sekaligus memperkenalkan kembali tradisi pengobatan herbal. Salah satunya adalah Temukini, yang didirikan oleh kelompok perempuan di Yogyakarta, yang kini memiliki depot jamu sendiri di Sleman. Usaha ini tidak hanya memperkenalkan jamu sebagai solusi kesehatan tradisional, tetapi juga memberdayakan perempuan untuk belajar dan mengembangkan keterampilan produksi jamu, bahkan sampai pada tahap mengelola usaha secara mandiri. Temukini sering kali mengadakan workshop, terutama untuk generasi muda, untuk mengenalkan bahan-bahan alami dan cara pembuatan jamu, serta membuka ruang bagi perempuan untuk terlibat dalam produksi dan distribusi jamu yang semakin populer.

Tidak hanya itu, JogJamu, perusaahan jamu yang saya rintis berbasis di Jogja, juga berupaya menyemarakkan isu pemberdayaan perempuan melalui pengenalan jamu sebagai solusi kesehatan. Kami mengadakan berbagai workshop, termasuk untuk perempuan, guna mengajarkan pembuatan jamu seperti kunir asem, yang dikenal efektif untuk meredakan sakit haid. Melalui workshop ini, perempuan dapat mempelajari teknik membuat jamu tradisional yang dapat digunakan sebagai pertolongan pertama bagi kesehatan mereka sendiri, sekaligus menambah pengetahuan dan keterampilan yang dapat mereka terapkan dalam kehidupan sehari-hari

Inisiatif seperti ini tidak hanya mempromosikan kesehatan melalui jamu, tetapi juga membantu perempuan untuk lebih mandiri dalam mengelola masalah kesehatan mereka sendiri yang paling utama.

Baca juga: Ada ‘Generasi Gula’ di Balik Menjamurnya Gerai Mixue

Jamu dan Pemberdayaan Perempuan

Lebih dari sekadar minuman, jamu menghidupkan narasi pemberdayaan perempuan yang berakar dalam budaya. Bagi banyak perempuan, meracik jamu memberikan rasa kontrol, tidak hanya terhadap kesehatan mereka sendiri tetapi juga terhadap sumber penghidupan mereka. Sebagai contoh, Wakil Sekretaris Jendral IV Gabungan Pengusaha Jamu Kusuma Ida Anjani menyebutkan bahwa lebih dari 80 persen perajin dan penjual jamu adalah perempuan, yang menunjukkan bagaimana budaya jamu memberikan ruang kreasi luas bagi perempuan di Indonesia.

Banyak dari mereka juga menjadi tulang punggung keluarga. Dalam wawancara dengan 304 responden, sebagian besar perempuan dari provinsi seperti Yogyakarta dan Jawa Tengah menggambarkan bagaimana usaha jamu tidak hanya memperkuat kemandirian ekonomi mereka, tetapi juga memberikan penghargaan pada peran perempuan dalam tradisi pengobatan herbal ini

Melalui jamu, perempuan juga mulai melihat diri mereka bukan lagi sebagai “konsumen” di bidang kesehatan, tetapi sebagai produsen, pelindung, dan pelaku perubahan. Setiap kali mereka menuangkan segelas jamu, mereka juga sedang menuangkan kekuatan dan pengakuan akan kontribusi mereka yang sering kali tak terlihat dalam industri medis konvensional.

Baca juga: Terlalu Manis untuk Dibiarkan: Pentingnya Cukai Minuman Bergula

Refleksi: Jamu sebagai Kekuatan untuk Masa Depan

Minat terhadap solusi kesehatan alami dan berkelanjutan semakin meningkat, memberi ruang bagi jamu untuk kembali populer, baik di Indonesia maupun global. Data dari Gabungan Pengusaha Jamu (GP Jamu) menunjukkan bahwa lebih dari 80% perajin dan penjual jamu adalah perempuan, mencerminkan peran vital mereka dalam industri ini (GP Jamu, 2022). Seiring dengan tren global menuju kesehatan holistik, produk jamu kini mendapat perhatian lebih besar sebagai alternatif pengobatan alami.

Jamu bukan hanya menjaga tradisi, tetapi juga menjadi ruang bagi perempuan untuk berinovasi dan membangun kemandirian ekonomi. Contohnya, workshop dari JogJamu di Yogyakarta mengajarkan perempuan cara membuat kunir asem untuk kesehatan haid, memupuk kemandirian mereka sebagai produsen. Langkah-langkah ini membantu menciptakan sistem kesehatan yang lebih inklusif dan memberdayakan perempuan, menggabungkan nilai tradisional dengan modernitas dalam pengobatan lokal.

Pada akhirnya, jamu bukan hanya milik perempuan atau masa lalu. Ini adalah pergerakan menuju masa depan yang lebih berkeadilan, di mana perempuan Indonesia berdiri sebagai pemimpin, inovator, dan pelindung dalam industri kesehatan yang mereka bangun dari warisan leluhur.

Anindwitya Rizqi Monica adalah pendiri Women in Tourism Indonesia (WTID) dan pemilik CV Slamet JogJamu Indonesia.



#waveforequality


Avatar
About Author

Anindwitya Rizqi Monica

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *