Issues Safe Space

Asal (Bapak) Kiai Senang, Menyoal Perkawinan Anak di Pesantren

Perkawinan anak di pesantren marak dilakukan dengan dalih patuh pada anjuran kyai. Adakah cara yang bisa dilakukan untuk mencegahnya?

Avatar
  • July 10, 2024
  • 6 min read
  • 1471 Views
Asal (Bapak) Kiai Senang, Menyoal Perkawinan Anak di Pesantren

*Peringatan pemicu: Kekerasan berbasis gender pada anak. 

Anak perempuan “ME” dikawinkan paksa secara siri oleh Muhammad Erik, 39, pengasuh pesantren di Lumajang, Jawa Timur. Dikutip dari TV One, ME yang masih berusia 16 tahun, ternyata dikawinkan sejak 2023, tanpa sepengetahuan orang tua.  

 

 

Kasus tersebut disorot setelah Matrokim, ayah korban, mendapati kabar tentang anaknya yang tengah hamil. Matrokim mengaku selama ini anaknya atau pihak pesantren tak pernah memberi tahu soal pernikahan ini. Karena itu, ia kecewa dan sedih dengan apa yang menimpa anaknya. 

Belakangan diketahui, ME dimanipulasi oleh Erik yang mengaku bujang, kendati sudah memiliki istri. ME yang saat itu menginjak usia 15 tahun, diberi iming-iming uang Rp300 ribu dan janji kebahagiaan di masa depan, agar mau dikawini. Kepada polisi, pelaku yang kini telah ditetapkan sebagai tersangka—mengaku mengawini ME karena alasan kebutuhan biologis. 

Usai dikawinkan paksa, korban pun hanya bertemu pelaku saat ingin berhubungan seksual. Selebihnya, korban akan dipulangkan kembali ke rumah tanpa “dinafkahi secara lahir”. Pengalaman ME dalam hal ini bisa dikategorikan sebagai kekerasan berbasis gender. Rachel Kidman, pakar epidemiologi sosial dari Stony Brook Medicine, dalam “Child marriage and intimate partner violence: a comparative study of 34 countries” (2017) menjelaskan tentang kekerasan dalam perkawinan anak. 

Kata dia, perkawinan anak termasuk kekerasan dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Sebab, anak bakal menghadapi risiko lebih besar mengalami kekerasan seksual, fisik, dan psikologis serta dampak buruk lainnya sepanjang hidup mereka. Perkawinan anak juga memupus masa depan dan kesempatan mereka atas pendidikan serta penghidupan layak. 

Pesantren sebagai salah satu poros aktivitas agama, punya aturan ketat tentang hierarki di antara pimpinan pondok dan para santri. Pada hampir tiap pesantren, sering kali, kiai dan jajarannya bukan hanya dilihat sebagai guru agama, tapi juga sumber spiritualitas, dan standar moral bagi murid-muridnya.

Ironisnya, kasus di Lumajang itu bukan satu-satunya perkawinan anak yang terjadi di lingkungan pesantren. Infojambi melaporkan, MG, santriwati Pondok Irsyadul Ibad, Jambi dikawini paksa oleh Habib Bahrun, 70 pada 21 Februari 2018. Lagi-lagi, perkawinan anak ini dilakukan tanpa pengetahuan orang tua anak. Korban yang berusia 18 tahun diramal MG, jika tak menikah dengannya, maka ia baru akan menikah setelah berusia 60 tahun. 
 
Terpisah, pada April 2023, dilansir dari Tribun, sebanyak 22 santriwati yang masih duduk di bangku SMP dan SMK jadi korban kekerasan seksual di Pondok Alminhaj, Bandar, Batang, Jawa Tengah. Pelakunya, Wildan Mashuri Amin, 57 adalah pengasuh pondok pesantren yang telah memiliki istri dan anak perempuan. Pelaku dikabarkan melakukan aksinya dengan modus pernikahan siri kepada para korban.  

Baca juga: Atas Nama Baik Pesantren Jombang, Kekerasan Seksual Dipinggirkan

Kenapa Perkawinan Anak Marak di Pesantren? 

Saya berbincang dengan Iklilah Muzayyanah, dosen dan peneliti di Program Studi Kajian Gender Universitas Indonesia. Iklilah terbilang aktif menyuarakan isu perempuan di lingkungan keagamaan, sehingga ia paham betul realitas di pesantren. 

Kata dia, perkawinan anak yang kerap kali dipaksakan oleh kiai, ustaz, atau pengasuh pesantren didorong oleh sejumlah faktor. Di antaranya, dogma agama yang keliru, relasi kuasa yang timpang, hingga pendidikan seksual yang belum ideal di lingkungan pesantren. 

Pesantren sebagai salah satu poros aktivitas agama, punya aturan ketat tentang hierarki di antara pimpinan pondok dan para santri. Pada hampir tiap pesantren, sering kali, kiai dan jajarannya bukan hanya dilihat sebagai guru agama, tapi juga sumber spiritualitas, dan standar moral bagi murid-muridnya.

Pada kasus kekerasan seksual dan perkawinan anak yang terjadi di pesantren, keyakinan ini sering kali jadi persoalan utama. Setiap santri, terutama santriwati biasanya tidak punya kesempatan untuk bersuara, apalagi mengatakan tidak. Sebab, tidak patuh dengan arahan pemimpin atau guru pesantren, sama saja dengan berbuat dosa, melanggar agama, melanggar Tuhan. 

Sebagai santri yang bertahun-tahun pernah mondok di pesantren, Iklilah sendiri mengamini hal ini. Menurutnya, pakem soal hegemoni dan relasi kuasa itu memang sudah berakar kuat di kalangan para santri. Dalam kasus ME, jangankan menolak, bisa jadi korban tak memahami bahwa pemaksaan perkawinan atasnya termasuk kekerasan. 

“Di kasus ME ini, korban pasti enggak akan berani bilang tidak. Sebab, di pesantren ada hierarki yang harus dijaga kuat. Jadinya dia tunduk. Hal ini juga terkait dengan dogma-dogma yang diajarkan di pesantren soal dosa ketika tidak patuh (pada kiai atau ustaz). Jadi reward and punishment-nya itu clear banget. Kalau kamu enggak patuh, kamu berdosa,” jelas Iklilah.  

Pada kasus perkawinan anak, wali atau orang tua jadi pihak penting yang bisa jadi penentu nasib anak ke depan. Hanya saja, di pesantren, keputusan pihak pondok sering kali dianggap jauh lebih penting ketimbang keputusan orang tua itu sendiri.  

Pada kasus Lumajang, orang tua ME tidak tahu menahu tentang perkawinan anaknya. Setelah setahun berselang, Matrokim baru mengendus perkawinan itu setelah ada gosip beredar di kalangan tetangga bahwa anaknya telah hamil. 

Menurut Iklillah, apa yang terjadi pada ME persis menggambarkan bagaimana problematiknya hegemoni kekuasaan di pesantren. “Jadi di kasus ini, pertama, itu sangat berkaitan dengan konsep kepatuhan dan konsekuensi atas kepatuhan itu sendiri. Sehingga, dia bisa saja enggak pernah berpikir untuk berkomunikasi sama orang tua. Kedua, anak bisa jadi memahami, keputusan pesantren adalah final, jadi dia enggak boleh melawan. Ketiga, dia akan berpikir keputusan pesantren lebih penting daripada keputusan dari orang tuanya,” papar Iklillah.  

Baca juga: Problem Pembahasan Kekerasan Seksual dalam Fikih Islam

Pesantren Butuh Pendidikan Seksual 

Pendidikan seksual secara komprehensif sejak dini terbukti bisa mengurangi angka perkawinan anak. Dalam penelitian Sofia, dkk bertajuk “The role of sex education in tackling early marriage” (2023) disebutkan, pendidikan seksual memberikan pemahaman dan informasi yang memadai soal bahaya perkawinan anak. 

Di pesantren sendiri, sebenarnya pendidikan seksual merupakan bagian dari kurikulum yang termuat dalam proses belajar santri. Pendidikan ini meliputi topik-topik seputar fikih seksualitas hingga kesehatan reproduksi.  

Namun persoalannya, pendidikan macam itu belum cukup komprehensif dan ideal, ujar Iklilah. Ia mengaku banyak mendapatkan materi pendidikan seksual saat di pondok, terutama pada bab fiqih kebersihan diri. Namun, dari semua materi yang dijelaskan, Iklillah merasa pendidikan seksual yang diajarkan sebatas isu-isu reproduksi saja, seperti pendidikan Biologi di sekolah. 

Selain itu, imbuhnya, pendidikan seks juga sebatas pada nilai-nilai normatif agama. Tidak ada pengajaran soal pendidikan seksual tentang apa itu kekerasan seksual, seks konsensual, bagaimana menghindari kekerasan seksual, dan sejenisnya. 

Baca juga: Ulama Perempuan Tolak Kekerasan Seksual, Pernikahan Anak, dan Perusakan Alam

Dilansir dari Alif, Masyithah Mardhatillah, Dosen IAIN Madura, Pamekasan, Jawa Timur memaparkan pendidikan seksual seperti apa yang yang sebenarnya dibutuhkan di pesantren. Menurutnya, pendidikan seksual tidak boleh terbatas pada pengajaran materi normatif agama semata. Sebaliknya, pendidikan seksual harus memuat pengayaan pengetahuan dan kesadaran perihal otoritas akan tubuh, hal-hal yang tidak boleh dilakukan, hingga konsekuensi-konsekuensi yang harus diterima oleh santri. 

Masyithah menambahkan, wacana seksualitas dalam pesantren juga perlu dikenalkan melalui forum-forum yang ada. Pendidikan seksual bisa tetap dikenalkan dengan tidak mengubah materi, buku ajar, atau metode pembelajaran. 



#waveforequality


Avatar
About Author

Syifa Maulida

Syifa adalah pecinta kopi yang suka hunting coffee shop saat sedang bepergian. Gemar merangkai dan ngulik bunga-bunga lokal

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *