Issues Politics & Society

Tak Ada Perempuan yang Benar-benar Bebas sampai Palestina Bebas

Feminis perlu kembali mempertanyakan posisi dan solidaritas mereka terhadap perempuan Palestina.

Avatar
  • July 10, 2024
  • 7 min read
  • 878 Views
Tak Ada Perempuan yang Benar-benar Bebas sampai Palestina Bebas

Tahun kedua Annual Kartini Conference on Indonesian Feminisms (KCIF) telah selesai diselenggarakan pada (30/6). Konferensi daring yang digelar LETSS Talk dan Konde.co ini mengangkat tema “Menguatkan Sinergi Kajian dan Aktivisme Feminisme Indonesia di Tengah Politik Oligarki Nasional dan Fasisme Global”. 

KCIF diisi oleh aktivis, akademisi, dan praktisi Indonesia serta dunia. Mereka berkumpul untuk ngobrolin kajian feminisme dan aktivisme di tengah tantangan politik oligarki nasional dan fasisme global. Ada 45 topik diskusi panel dan total pendaftar yang mencapai 1.500 peserta tahun ini. 

 

 

Salah satu topik diskusi panel yang banyak diikuti mengenai Palestina dan Gerakan Feminisme Global. Topik ini masuk ke dalam Special Plenary Session: A Consortium for Plural and Inclusive Indonesian Feminism, (28/6). 

Bertajuk The Occupied Palestine and Feminist Movements, sesi tersebut dimoderatori Riri Khariroh, M.A. (Nihadul Qulub Indonesia Foundation) dan mendatangkan sejumlah akademisi dan aktivis. Di antaranya, Loren Lybarger Ph.D. (Ohio University), Nada Tayem (University of Pennsylvania), Dina M. Siddiqi, Ph.D. (New York University), dan Intan Paramaditha, Ph.D. (Sekolah Pemikiran Perempuan). 

Baca Juga: Elitisida, Kematian Refaat Alareer, dan Pembunuhan Orang Penting di Palestina 

Refleksi Penjajahan Israel atas Palestina 

Loren membuka sesi dengan pembahasan sejarah kolonialisme berkepanjangan yang dilakukan Isreal terhadap Palestina. Ia bilang, sejak Nakba 1948, populasi Israel terus berkembang pesat, sedangkan Palestina berkurang. Hal ini karena orang Palestina diusir dari rumahnya sendiri oleh para pendatang. 

Loren yang kebetulan pernah ke Gaza pada 1989 hingga 1990-an mengatakan, pengusiran itu disusul dengan pemberlakuan peraturan militer yang ketat untuk Palestina. Pemerintah Israel memastikan masyarakat Palestina tidak bisa mengakses hak-hak hidupnya yang paling mendasar. Penindasan ini kemudian melahirkan berbagai gerakan dan tokoh pembebasan dan kemerdekaan Palestina, seperti Leila Khaled, perempuan pejuang kemerdekaan Palestina yang juga anggota Popular Front for the Liberation of Palestine (PFLP). 

Nada Tayem, aktivis, ecofeminis, dan akademisi asal Palestina kemudian menyoroti isu gender dan ekologi terkait penjajahan di tanah airnya. Ia mengungkapkan, laporan United Nation (UN) Women mencatat, sepanjang sembilan bulan genosida, lebih dari 10.000 perempuan telah tewas, termasuk 6.000 ibu, meninggalkan lebih dari 19.000 anak yatim piatu. 

Perempuan di Gaza yang menjadi pengasuh utama dalam keluarga, kini menghadapi trauma dan sulitnya mengakses layanan publik. Mereka juga dijauhkan dari akses dasar seperti air dan sanitasi, padahal ini sangat dibutuhkan mengingat fungsi reproduksi yang mereka punya. 

“Bagaimana kita bisa menjadi feminis sejati jika kita tidak melihat ini sebagai masalah dan tidak memiliki solidaritas atasnya? Setiap perempuan berhak hidup aman, berhak mendapatkan kebebasan sanitasi seperti perempuan lainnya di belahan dunia mana pun. Perempuan Palestina juga berhak mendapatkan masa depan dan kehidupan yang damai,” kata Nada Tayem. 

Ia mengajak peserta berefleksi terkait imperialisme ekologis yang dilakukan Israel melalui kolonialisme pendatang (settler colonialism). Imperialisme ekologis adalah konsep yang diperkenalkan oleh Alfred Crosby pada 1986. Itu menyoroti bagaimana para pemukim Eropa menjadi agen “perubahan” dan pengrusak lingkungan ke mana pun mereka pergi. 

Mereka masuk ke wilayah-wilayah masyarakat pribumi, menggusur, dan mendirikan rumah-rumah baru. Di wilayah jajahan tersebut, mereka bercocok tanam dan bertani dengan spesies yang bawa. Masuknya spesies asing ini mengganggu keseimbangan spesies asli masyarakat pribumi dan merusak cara hidup mereka yang sangat berkaitan dengan alam. 

Dalam konteks Palestina, imperialisme ekologis dilakukan Israel sejak Nakba dan memuncak pada 1967. Dengan menggambarkan Palestina sebagai gurun dan tanah tanpa tuan alias kosong, para zionis Israel mendorong misi lingkungan untuk membuat gurun tersebut berbunga. 

Mereka membumihanguskan ratusan desa dan pada 1967 menduduki 22 persen wilayah Palestina, yaitu Gaza dan Tepi Barat. Pada proses ini, mereka menghancurkan pohon-pohon asli masyarakat Palestina, seperti pohon ek, carob, hawthorn, dan tanaman pertanian seperti zaitun, ara, dan almond, lalu menggantikannya dengan pohon pinus Eropa. 

“Di bawah mitos tanah tanpa tuan, maka tanah yang tidak dikelola dengan cara ‘modern’, siap untuk ditaklukkan. Ideologi ini memainkan peran penting dalam melegitimasi pembasmian masyarakat Palestina dan perampasan tanah. Ini kemudian mengakibatkan marginalisasi adat istiadat dan tradisi Palestina, sehingga memperparah keterlepasan masyarakat Palestina dari ikatan budaya lokal mereka,” jelas Nada Tayem lagi. 

Baca Juga: Magdalene Primer: Yang Perlu Diketahui tentang Isu Palestina-Israel 

Solidaritas Setengah Hati 

Menyusul pemaparan Nada Tayem, Dina M. Siddiqi, akademisi berdarah Pakistan dari Universitas New York mengkritisi struktur kekuasaan dan narasi yang mendukung penindasan terhadap Palestina. Ia menyoroti penyangkalan pemerintah Euro-Amerika, media arus utama, perusahaan-perusahaan besar, dan institusi pendidikan. 

Di kampusnya, para sivitas akademika dikriminalisasi gara-gara lantang memberikan dukungan pada Palestina. Kampus juga secara sistemik telah menyensor apa pun terkait Palestina. 

Ia menuturkan, kehidupan kita sebenarnya saling berhubungan dengan sejarah kolonialisme, imperialisme, orientalisme, kapitalisme, dan patriarki. Sistem global yang tumpang tindih ini bekerja untuk hanya mengakomodasi satu tubuh universal yang dianggap perempuan, yaitu perempuan kulit putih. Cuma mereka yang bisa mengakses hak asasi manusia. 

Karena itu, Siddiqi melihat dalam konteks Palestina, justru banyak para feminis liberal yang seharusnya ikut bersolidaritas, malah diam seribu bahasa. 

“Mereka masih terjebak dalam feminisme kolonial yang menggambarkan perempuan Palestina tak berdaya, terbelakang karena hidup mereka diatur oleh nilai-nilai fundamentalisme Islam seperti kewajiban berjilbab. Sedangkan laki-lakinya “jahat” yang merendahkan perempuan. Sehingga, permasalahan yang sebenarnya mereka perjuangkan seperti hak atas pendidikan pun diabaikan,” tuturnya. 

Dengan ini, Siddiqi menekankan kebutuhan mendesak agar gerakan solidaritas yang lebih luas mengambil sikap melawan kekuasaan. Penting bagi feminis untuk memperluas wawasan dan merapatkan barisan dalam memperjuangkan keadilan semua perempuan di dunia, termasuk perempuan Palestina. 

Menutup pemaparan ketiga panelis, Intan Paramaditha, penulis dan akademisi feminis asal Indonesia menyoroti wacana dan gerakan solidaritas Palestina di Indonesia. Intan mengatakan berbeda dengan negara Eropa dan Amerika yang penolakannya begitu kuat, gerakan pro pembebasan dan kemerdekaan Palestina di Indonesia sebaliknya lebih dominan. 

Kendati demikian, wacana yang melingkupinya masih dinilai cukup “problematis” karena seringkali terbatas pada narasi agama dan identitas keislaman. Palestina dibingkai sebagai perjuangan umat Islam, sehingga gambaran yang sering muncul adalah gambar orang-orang yang diperlakukan tidak adil dengan narasi herostik yang menginginkan pembebasan sesama saudara seiman. Narasi ini kata Intan menekankan pada viktimisasi masyarakat Palestina dan mengecualikan warga Palestina laki-laki yang juga terdampak. 

Penggambaran ini misalnya Intan contohkan dalam unggahan Instagram Atta Halilintar bertajuk “Kami Bersama dengan Anak-Anak Palestina” untuk menekankan narasi penderitaan masyarakat Palestina dan usaha Partai Keadilan Sejahtera atau PKS untuk menyelenggarakan charity nigh atau malam amal. 

Masyarakat Indonesia luput memahami bahwa pendudukan Israel terhadap melibatkan kelindan struktural. Di dalamnya kolonialisme pendatang, rasisme, imperialisme, kapitalisme, serta gender bercampur baur menjadi satu hingga menimbulkan kekerasan dan diskriminasi sistemik yang berkepanjangan. 

Kita bisa melihat contohnya lewat sikap mendiang Gus Dur yang mendukung rakyat Palestina, tetapi di saat bersamaan mendorong pengakuan negara Israel dengan dalih untuk membendung intoleransi, anti semitisme. Lebih dari itu, ketiadaan paradigma kritis bisa dari respons dan kurangnya solidaritas serta pengakuan masyarakat Indonesia terhadap isu-isu di Papua Barat

Baca Juga: Epistemisida: Saat Israel Bakar Buku, Bom Sekolah, dan Hapus Sejarah Palestina 

“Meskipun mayoritas orang Indonesia mengaku mendukung Palestina, ada kegagalan untuk mengenali bahwa situasi di Papua Barat juga merupakan bentuk kolonialisme pendatang dan penindasan militer,” katanya. 

Intan pun mengajak peserta merenungkan kerangka solidaritas mereka sendiri dan memahami adanya hubungan kompleks yang saling terkait satu sama lain antara berbagai bentuk penindasan global. Analisis semacam ini dibutuhkan untuk menyerukan pendekatan yang lebih nuansa dan komprehensif terhadap solidaritas. 

Dalam konferensi ini, ia mengilustrasikannya lewat komitmen untuk memperluas perspektif feminis tentang isu-isu global, serta untuk mendorong tindakan kolektif yang lebih menyeluruh dalam memajukan keadilan dan martabat bagi semua perempuan, termasuk perempuan di Palestina. Karena tidak ada yang benar-benar bebas sampai semuanya bebas. 



#waveforequality


Avatar
About Author

Jasmine Floretta V.D

Jasmine Floretta V.D. adalah pencinta kucing garis keras yang gemar membaca atau binge-watching Netflix di waktu senggangnya. Ia adalah lulusan Sastra Jepang dan Kajian Gender UI yang memiliki ketertarikan mendalam pada kajian budaya dan peran ibu atau motherhood.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *