Health Issues

Obat HIV Makin Dekat, Stigmanya yang Masih Membunuh

Di Jerman, seorang pria berusia 60, diumumkan sebagai orang ketujuh yang sembuh dari HIV.

Avatar
  • September 20, 2024
  • 8 min read
  • 683 Views
Obat HIV Makin Dekat, Stigmanya yang Masih Membunuh

Sebut saja namanya Albert. Umurnya 44 tahun dan positif HIV. Pada 2016 lalu, ia adalah satu dari 50 orang di Inggris yang mengikuti percobaan menghilangkan HIV di tubuh mereka. Namanya direkam rahasia sampai Oktober 2016. Di antara 50 orang tersebut, Albert yang pertama  di dalam darahnya tidak lagi ditemukan HIV.

Penelitian itu dilakukan ilmuwan dari Universitas Oxford, Univeristas Cambridge, Universitas Imperial College London, dan Universitas College London dan King’s College London. Profesor Sarah Fidler, dari Imperial College London, mengatakan pada The Sunday Times, “Terapi ini khusus didesain untuk membersihkan virus HIV dalam tubuh. Sudah teruji di laboratorium, dan ada bukti bekerja baik pada tubuh manusia. Tapi ini masih awal, tes ini akan terus berlanjut lima tahun ke depan.”

 

 

Tahun bergeser.  Delapan tahun kemudian, pada Juli 2024 kemarin, di konferensi AIDS, seorang pria berusia 60 tahun dari Jerman dinyatakan sebagai orang ketujuh yang sembuh dari HIV.

Dilansir dari WHO,  pria itu menjalani transplantasi sel punca darah pada tahun 2015 dari seorang donor dengan mutasi CCR5-delta 32. Ia menghentikan pengobatan antiretroviralnya pada akhir tahun 2018 dan sejak saat itu, HIV tidak ditemukan dalam beberapa sampel, termasuk biopsi jaringan usus dan teknik virus yang sangat sensitif.

Orang pertama yang sembuh dari HIV terjadi pada 2008. Ia disebut sebagai “Pasien Berlin”, karena pernah dirawat di Berlin, Jerman. Pada 2010, ia membuka identitasnya pada publik. Namanya Timothy Ray Brown, warga Amerika Serikat yang didiagnosis HIV pada 1995 saat kuliah di Berlin. Sejak itu ia langsung memulai terapi antriretroviral atau ARV. Obat ini bekerja dengan menghentikan reproduksi HIV. Ia dapat mengurangi kadar HIV dan menjaga sistem kekebalan tubuh tetap sehat.

Pada 2006, Brown didiagnosis mengidap leukimia myeloid akut. Tahun berikutnya, ia menerima terapi radiasi dan transplantasi sumsum tulang untuk mengobati penyakit tersebut. Dokter Brown melihat ini sebagai kesempatan mengobati leukemia dan HIV pasiennya secara bersamaan.

Brown bebas HIV setelah radiasi dan transplantasi. Namun, kankernya kembali muncul dan memerlukan transplantasi kedua pada 2008. Tahun itu, para peneliti mengumumkan bahwa “Pasien Berlin” adalah orang pertama yang sembuh dari HIV. Brown tetap bebas dari HIV hingga akhir hayatnya. Ia meninggal karena kanker pada 2020, saat berusia 54, setelah leukemianya kambuh dan menyebar ke tulang belakang dan otaknya.

Baca juga: Masyarakat Desak RUU Penghapusan Diskriminasi Demi Penanggulangan Baik HIV-AIDS

Selain Timothy Ray Brown, orang-orang yang sembuh termasuk “Pasien London”, yang kemudian diketahui bernama Adam Castillejo; “Pasien Düsseldorf” yang anonim; “Pasien City of Hope”, yang April 2023 lalu mengungkap diri bernama Paul Edmonds; Lalu, “Pasien New York”, perempuan pertama yang menerima perawatan serupa; dan seorang pria yang dikenal sebagai “Pasien Jenewa”, yang kasusnya tidak biasa dan sedang dipantau secara ketat.

“[Pasien Düsseldorf] kemungkinan adalah orang kedua yang sembuh, tetapi tim tersebut sangat konservatif, dan menghentikan terapi antiretroviral setelah beberapa tahun, dan menunggu lama untuk menyimpulkan bahwa ia telah sembuh,” kata Dr. Steven Deeks, seorang ahli HIV dan profesor kedokteran di University of California, San Francisco, yang tidak terlibat dalam kasus pasien tersebut, kepada Live Science.

Pasien Düsseldorf dirawat pada tahun 2013, melanjutkan ART selama hampir enam tahun dan kini telah berhenti minum obat selama lebih dari empat tahun. Sementara itu, Castillejo menerima transplantasi pada tahun 2016, menghentikan ART setahun kemudian dan dipastikan sembuh pada tahun 2020, sebelum pasien Düsseldorf.

Stem-sel Masih yang Termutakhir, tapi Hanya Berhasil pada Mereka yang Memiliki Kanker

Semua orang yang sembuh dan berpotensi sembuh dari HIV diobati dengan transplantasi sel punca atau stem-cell. Selain positif HIV, semua pasien memiliki beberapa bentuk kanker, biasanya leukemia myeloid akut atau limfoma Hodgkin. Kanker ini memengaruhi sel darah putih, komponen utama sistem kekebalan tubuh, dan dapat diobati dengan transplantasi sel punca.

Secara umum, seperti dilansir dari laman WHO, untuk mengobati kanker dan HIV pada pasien ini secara bersamaan, dokter mereka mencari sel punca dari orang-orang dengan dua salinan mutasi genetik langka: CCR5 delta 32. Mutasi ini menonaktifkan protein pada permukaan sel yang disebut CCR5, yang digunakan banyak strain HIV untuk masuk ke dalam sel. Virus melakukan ini dengan terlebih dahulu menempel pada protein permukaan sel yang berbeda dan mengubah bentuk; kemudian, ia mencengkeram CCR5 untuk menyerang sel. Tanpa CCR5, ia pada dasarnya terkunci.

Baca juga: Emak Club, Program Pendampingan Ibu Hamil HIV Berlanjut di 5 Provinsi

Dalam jurnal Frontiers in Immunology, dijelaskan beberapa jenis HIV yang kurang umum menggunakan protein permukaan yang beda, biasa disebut CXCR4. Itu sebabnya, sebelum transplantasi, pasien di-filter untuk memastikan bahwa sebagian besar atau seluruh virus dalam tubuh mereka menggunakan CCR5.

Untuk mempersiapkan transplantasi, pasien menjalani radiasi agresif atau kemoterapi untuk memusnahkan sel T yang bersifat kanker dan rentan terhadap HIV—sejenis sel imun—di dalam tubuh mereka. Hal ini melemahkan sistem imun pasien hingga sel punca yang ditransplantasikan dapat menghasilkan sel imun baru yang resisten terhadap HIV. Selama beberapa waktu pasca-transplantasi, pasien juga mengonsumsi obat penekan imun untuk menghindari penyakit graft-versus-host (GVHD), di mana sel imun yang berasal dari donor menyerang tubuh.

Sebagian besar pasien menerima sel punca yang diambil dari sumsum tulang donor dewasa. Sel-sel ini harus “dicocokkan” dengan hati-hati, yang berarti baik donor maupun penerima harus membawa protein tertentu, yang disebut HLA, di jaringan tubuh mereka. Ketidakcocokan HLA dapat mengakibatkan reaksi imun yang dahsyat.

ARV Sudah Ada, Stigma yang Masih Memenjara

Meski vaksin belum tersedia, orang dengan HIV (ODHIV) sebetulnya bisa menekan jumlah virusnya dengan terapi ARV. Terapi ini bertujuan untuk menghambat replikasi virus dan menekan pertumbuhannya sehingga CD4 meningkat dan sistem kekebalan tubuh kembali pulih.

ARV telah menjadi program penanggulangan HIV-AIDS di seluruh dunia karena efektif menekan jumlah HIV sampai ke tingkat yang tidak bisa dideteksi tes deteksi jumlah HIV (HIV Viral Load). Selain itu, ARV juga mencegah pengidap HIV menularkan virusnya kepada orang lain.

Artinya, ARV punya dua manfaat, yakni sebagai penyelamat hidup dan pencegah penyebaran. Terapi ini bisa membuat seorang HIV Positif tidak bisa menularkan virusnya pada orang lain. Namun, ART belum mampu membunuh HIV, bahkan tak bisa memusnahkan virus-virus yang telah mati. Dengan demikian kemungkinan virus-virus mati itu untuk hidup lagi masih ada.

Baca juga: Ruang Aman hayVee, Cara Scott Alfaz Lawan Stigma ODHIV

Selain ARV, orang yang tidak punya HIV bisa mengonsumsi  pre-exposure prophylaxis (profilaksis pra pajanan) atau PrEP. Terutama mereka yang berisiko tertular. Sampai saat ini, PrEP hanya tersedia dalam bentuk obat oral yang harus diminum setiap hari agar efektif. Bila digunakan dengan benar, PrEP oral mengurangi risiko tertular HIV sekitar 99 persen.

Kabar terbarunya, kini ARV versi injeksi atau suntukan telah disetujui sebagai pengobatan HIV termutakhir. Pada 2021, Pada tahun 2021, Badan Pengawas Obat dan Makanan AS (FDA) menyetujui cabotegravir untuk penggunaan profilaksis. Dalam sebuah penelitian yang diterbitkan Juli lalu, injeksi lenacapavir dua kali setahun berhasil mencegah infeksi HIV pada lebih dari 2 ribu perempuan muda dan remaja putri yang aktif secara seksual. Lenacapavir mungkin juga akan segera tersedia sebagai obat PrEP.

Ricardo Diaz, dokter penyakit menular di Universitas Federal São Paulo di Brasil, yang merupakan peneliti utama dalam uji klinis lenacapavir, mengatakan bahwa ada beberapa keterbatasan dalam suntikan tersebut. Misalnya, efek samping pada kulit dapat menyebabkan beberapa orang berhenti mengonsumsi obat. Dan efektivitasnya belum ditentukan pada laki-laki (uji klinis terhadap laki-laki sedang berlangsung). 

Namun, mengingat kemanjuran yang terlihat dalam uji coba yang baru-baru ini diterbitkan, lenacapavir “mungkin bisa menjadi penentu epidemi HIV”, kata Diaz, seperti dikutip dari Nature.

Sayangnya, di Indonesia, informasi tentang ARV dan PrEP hanya beredar di kalangan populasi kunci—sebuah istilah yang dipakai komunitas kesehatan untuk mendeskripsikan mereka yang berisiko tertular. Stigma dan stereotip buruk pada ODHIV masih jadi momok yang menghambat penanganan pencegahan HIV. 

Data terakhir Kementerian Kesehatan pada 2023, kasus HIV meningkat dan penularan didominasi ibu rumah tangga yang mencapai 35 persen. Angka ini lebih tinggi dari kelompok lainnya, seperti suami, pekerja seks, dan kelompok laki-laki seks dengan laki-laki (LSL).

“Aktivitas ini telah menyumbang sekitar 30 persen penularan dari suami ke istri. Dampaknya, kasus HIV baru pada kelompok ibu rumah tangga bertambah sebesar 5.100 kasus setiap tahunnya,” kata Juru Bicara Kementerian Kesehatan dokter Muhammad Syahril, seperti dilansir dari situs Kemenkes.

Menurutnya, penyebab tingginya penularan HIV pada ibu rumah tangga karena pengetahuan akan pencegahan dan dampak penyakit yang rendah serta memiliki pasangan dengan perilaku seks berisiko. 

Ibu rumah tangga yang terinfeksi HIV berisiko tinggi untuk menularkan virus kepada anaknya. Penularan bisa terjadi sejak dalam kandungan, saat proses kelahiran, atau saat menyusui. Dampaknya, sebanyak 45 persen bayi yang lahir dari ibu yang positif HIV akan lahir dengan HIV. 

“Saat ini kasus HIV pada anak usia 1-14 tahun mencapai 14.150 kasus. Angka ini setiap tahunnya bertambah sekitar 700-1000 anak dengan HIV,” jelas Syahril. 

Baca juga: Kisah Caca, Pekerja Seks Tuli yang Berperang Lawan HIV di Tubuhnya

Terkait dengan proses deteksi, Kemenkes mencatat hanya 55 persen ibu hamil yang di tes HIV karena sebagian besar tidak mendapatkan izin suami untuk di tes. Dari sejumlah tersebut 7.153 positif HIV, dan 76 persennya belum mendapatkan pengobatan ARV. ini juga akan menambah resiko penularan kepada bayi.

Melihat sumber infeksi, Syahril menilai penularan HIV masih akan terus terjadi. Sebab dari 526.841 orang dengan HIV, baru sekitar 429.215 orang yang sudah terdeteksi atau mengetahui status HIV dirinya. Syahril menjelaskan upaya untuk melakukan skrining pada setiap individu kini menjadi prioritas pemerintah untuk mencapai eliminasi, termasuk pemutusan mata rantai penularan HIV secara vertikal dari ibu ke bayi.



#waveforequality


Avatar
About Author

Aulia Adam

Aulia Adam adalah penulis, editor, produser yang terlibat jurnalisme sejak 2013. Ia menggemari pemikiran Ursula Kroeber Le Guin, Angela Davis, Zoe Baker, dan Intan Paramaditha.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *