Mimpi Jakarta Jadi Ibu Kota Seni, Bagaimana Komitmen Tiga Paslon Pilkada 2024?
Di antara ketiga paslon yang berlaga di Pilkada 2024, siapa yang paling serius membenahi problem seni budaya di Jakarta?
Kegiatan kampanye Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Jakarta sudah dimulai. Selain mengambil nomor urut di Komisi Pemilihan Umum, tiga pasangan calon (paslon), yakni Ridwan Kamil-Suswono, Dharma-Kun, dan Pramono-Rano juga menghadiri dialog publik seni di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, (23/9).
Dialog ini sendiri dipandang penting sebagai bagian dari mewujudkan indikator tercapainya kota global, seperti Paris dan New York. Melansir Jakarta Property Institute, kota global berfungsi sebagai simpul utama dalam sistem perekonomian global, termasuk urusan keuangan, perdagangan, dan informasi. Salah satu indikator kota global, menurut Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Jakarta adalah cultural value yang menarik wisatawan untuk berkunjung.
Karena itulah Dewan Kesenian Jakarta menggelar dialog tersebut. Terlebih Jakarta—kendati sudah bukan ibu kota—punya sejarah panjang dalam mengakui dan mengembangkan kesenian serta kebudayaan. Peran gubernur sendiri cukup krusial dalam penjaminan pengembangan kehidupan kesenian di wilayah Provinsi Jakarta.
Jadi, bagaimana ambisi dan pandangan masing-masing paslon terkait pengembangan seni dan budaya di Jakarta?
Baca juga: Kejutan Jokowi Membuka Ekspor Pasir Laut Tak Peduli Riset: Perempuan dan Lingkungan Dikorbankan
Dharma Pongrekun-Kun
Kun yang hadir dalam dialog itu menjelaskan, kesenian dan kebudayaan Jakarta adalah social capital yang penting untuk membangun daerah khusus ini.
“Kita harus memiliki kekuatan dari akar rumput. Ini berarti bukan hanya modal finansial yang perlu dikembangkan. Namun merujuk pada modal sosial yang ada di masyarakat, dan bisa dimulai dari lingkungan terkecil kita, yaitu RT, RW, kemudian ke Kelurahan, dan seterusnya. Nah di antara social capital ini barulah ada cultural capital yang bisa digunakan untuk pemberdayaan masyarakat,” papar Kun.
Untuk itu, pembinaan masyarakat akar rumput wajib untuk dilakukan. Misalnya dengan pengembangan sumber daya di komunitas-komunitas terkecil RT dan RW, penjaminan hak bagi pegiat seni, sampai optimalisasi akses serta fasilitas ruang publik di Jakarta.
“Kita ingin membantu dengan memberikan subsidi dan pengembangan fasilitas. Akses-akses ke ruang publik, seperti Gelanggang Olahraga (GOR) kalau perlu digratiskan. Ini penting supaya kita semua bisa berkumpul dan berkegiatan dengan baik,” tambah Kun.
Selain itu, pemenuhan hak pendapatan juga jadi poin yang digarisbawahi. Menurutnya, pengembangan seni dan budaya perlu dibarengi dengan pemenuhan kesejahteraan yang memadai. Pendapatan yang layak dan dana abadi kebudayaan adalah kuncinya. Dari sini, Kun berharap, ke depannya, akan semakin banyak kesempatan yang terbuka dalam pengembangan kesenian.
Baca juga: #PeringatanDarurat: Koalisi Gemuk di Indonesia, Apa yang Harus Kita Lakukan?
Pramono-Rano
Pasangan Pramono-Rano lebih menitikberatkan bahwa seni dan budaya adalah proses berpikir dan cara masyarakat menjalani kehidupan. “Budaya ini perpaduan budi dan daya, budi adalah otak, dan daya adalah tenaga. Tidak akan lahir sebuah kesenian tanpa ide dan tenaga. Budaya ini pemikiran, bagaimana budayawan bisa menciptakan sebuah karya, itulah budaya. Maka dari itu, TIM ini perlu lebih disejahterakan,” jelas Rano.
Pramono menambahkan, sebagai penyokong dan fasilitator penyelenggaraan pengembangan seni dan budaya, penting bagi pemerintah untuk menjalin komunikasi terbuka agar semua aspirasi dapat terdengar.
“Dari apa yang sudah didapat sampai hari ini, yang perlu kita lakukan itu memang duduk bareng dengan DKJ dan Jakpro, dengan posisi tawar seniman lebih kuat. Ini penting untuk transparansi dan pengembangan dana abadi ke depan, pun merumuskan terobosan-terobosan baru ke depan,” tambah Pramono.
Pramono-Rano juga turut menyinggung dana abadi kebudayaan yang sudah semestinya dimiliki oleh Jakarta. Ini penting agar pengembangan seni dan budaya punya pos keuangan tetap ke depan.
Baca juga: Semakin Banyak Perempuan Memimpin, Apa Artinya buat Kesetaraan Gender?
Ridwan Kamil-Suswono
Sementara itu, Ridwan Kamil-Suswono memaparkan, budaya adalah identitas yang harus punya nilai-nilai tertentu seperti konsistensi, dan juga keberlanjutan.
“Budaya ini kan identitas, pola pikir, yang bisa mendiferensiasi kita dengan masyarakat lain. Nah keseniannya ini adalah ekspresi dari identitas ini. Untuk itu, menurut kami, budaya itu setidaknya harus memiliki beberapa nilai yaitu pertama konsisten, tetap sama terus sampai kapanpun itu, dan juga keberlanjutan, agar bisa ditampilkan terus menerus,” ujar Ridwan Kamil.
Menurut RK, wajib hukumnya bagi daerah khusus seperti Jakarta memiliki dana abadi kebudayaan. Lewat paparannya, sebenarnya hal ini sudah jadi keharusan yang tercatat dalam undang-undang baru Daerah Khusus Jakarta. Untuk itu, penurunan kebijakan terkait dana abadi ini tentu jadi PR besar ke depan.
“Terkait dana abadi kebudayaan, karena itu sudah keharusan, selebihnya kita perlu turunkan apa definisinya, apa dan berapa dana per-tahunnya, untuk apa kebutuhannya, seperti itu kira-kira yang perlu dibahas ke depan,” tambah RK.
Selain itu, Ridwan Kamil-Suswono juga menyinggung wacana pembangunan lembaga adat budaya Betawi. Mengingat kebudayaan di Jakarta didominasi oleh percampuran berbagai latar belakang budaya, penting ntuk mengukuhkan lembaga ini sebagai penjaga simpul akulturasi. Pengembangan ini dilakukan setidaknya untuk dua tujuan penting. Pertama, berkeadilan, agar kesenian bisa dinikmati dan dilestarikan oleh siapa saja. Kedua, agar semua masyarakat dapat merasakan manfaat dari hadirnya seni dan budaya.
“Kami ingin kesenian di Jakarta ini punya dua tujuan, satu berkeadilan, dan dua, menyejahterakan. Soal berkeadilan, jangan sampai acara-acara seni itu dikonsumsi oleh elit saja. Sementara golongan bawah tidak mendapatkan tempat untuk mengekspresikan dirinya. Kami menyiapkan anggaran per-RW Rp200 juta per tahun. Nanti ini bisa dipakai untuk pengembangan budaya dan kesenian sesuai prioritasnya,” jelas RK.