Issues Safe Space

KBGO pada Jurnalis Tajam ke Perempuan dan Gender Minoritas: Tips Jaga Diri karena Sistem Jelek

Perempuan jurnalis dan gender minoritas rentan mengalami KBGO. Saat pemerintah dan perusahaan pers belum bisa melindungi, mereka melakukan beberapa cara ini untuk menjaga keamanan diri.

Avatar
  • October 15, 2024
  • 11 min read
  • 1531 Views
KBGO pada Jurnalis Tajam ke Perempuan dan Gender Minoritas: Tips Jaga Diri karena Sistem Jelek

Sebelum bekerja sebagai jurnalis, Nela, 26 enggak tahu perempuan jurnalis rentan mengalami Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO). Ia mengetahui realitas itu, saat terlibat dalam sebuah penelitian tentang kekerasan terhadap perempuan jurnalis. Dan memahami perempuan sangat dekat dengan kekerasan, begitu menjadi jurnalis pada 2021.

“Hampir semua jurnalis yang waktu itu terlibat dalam penelitian, pernah mengalami kekerasan fisik maupun digital,” ungkap Nela pada Magdalene, Jumat (26/9).

 

 

Laporan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) pada 2023 mencatat, 26,8 persen perempuan jurnalis pernah mengalami kekerasan online. Mereka mendapat body shaming, serta komentar kasar dan eksplisit bersifat seksual. Lewat pesan teks, maupun audio visual.

Kekerasan ini tak datang dari ruang hampa. Ada lapisan-lapisan tak terlihat yang merentankan perempuan: Seksualitas, identitas gender, budaya, kelas, ras, agama, dan pekerjaan. Ditambah industri media yang didominasi laki-laki, membuat kekerasan terhadap perempuan jurnalis  dinormalisasi sebagai bagian dari kultur pekerjaan. Belum lagi minimnya keterlibatan pemerintah maupun perusahaan pers, yang bertanggung jawab melindungi jurnalis dari KBGO.

Namun, Nela bukan satu-satunya perempuan jurnalis  yang awalnya tidak menyadari kerentanan mereka terhadap KBGO. Kami juga berbincang dengan tiga perempuan jurnalis lainnya—Malika, Xena, dan Jasmine, serta seorang jurnalis lepas nonbiner AFAB—Fadiyah. Mereka membagikan berbagai upaya yang dilakukan untuk melindungi diri dari KBGO. Simak obrolan kami.

Baca Juga: Jurnalis Perempuan Rentan Alami KBGO

Apa yang kamu lakukan untuk mengamankan diri dari KBGO?

Fadiyah:

Sebagai jurnalis lepas, aku bergabung dengan organisasi dan kolektif tertentu. Soalnya, mayoritas media enggak memberikan perlindungan terhadap jurnalis lepas. Dengan masuk ke ruang-ruang kolektif, kita bisa lebih banyak mendiskusikan isu ini dengan teman-teman yang punya kegelisahan yang sama.

Lalu mengatur postingan di media sosial dan memperlakukan setiap media sosial dengan cara berbeda. Selain meminimalisir KBGO, ini juga caraku untuk melindungi diri dari jurnalis laki-laki lainnya karena kultur industri media di Indonesia masih toxic masculine banget. Mayoritas jurnalis laki-laki dan banyak kekerasan dinormalisasi.

Terakhir, aku memastikan keamanan password dan data maupun informasi yang didapat pas liputan terjaga dengan aman.

Jasmine:

Kalau bikin email atau akun media sosial, password-nya jangan sama semua, pendek-pendek, dan gampang ditebak. Sebisa mungkin pakai kombinasi frasa, simbol, dan angka. Lalu disimpan di KeePass karena password yang kuat ini susah diingat.

Lalu, kalau ada yang minta data pribadi, sebisa mungkin pakai nama samaran dan jangan kontak asli. Soalnya, ini jadi celah datamu dicuri dan rentan jadi korban doxing. 

Malika:

Biasanya aku mengunci gadget, jangan tinggalkan gadget dalam keadaan terbuka, dan pakai aplikasi pesan yang terenkripsi. Lalu meng-update software, dan jangan sembarang percaya sama aplikasi pihak ketiga karena mereka bisa mengakses data kita.

Xena:

Aku enggak banyak berinteraksi secara online, khususnya yang berkaitan dengan pekerjaan. Sebagai jurnalis, aku sering mantengin berita, dan di kolom komentar itu banyak argumen warganet. Kalau ada pendapat bertentangan, aku berusaha menahan diri enggak berkomentar supaya media sosialku enggak dikunjungi orang-orang usil.

Nela:

Aku mengaktifkan two factor authentication, bikin password yang aman, enggak mencantumkan lokasi kalau posting di media sosial pas real time—atau pas lagi liputan isu yang sensitif.

Yang enggak kalah penting juga, punya pengetahuan yang cukup terkait KBGO dan lembaga yang bisa dihubungi ketika mengalami hal tersebut. Soalnya, mungkin kita enggak sadar sebagai korban.

Dan aku bangun support system di kantor. Ketika tim dan manajerku punya kesadaran bahwa KBGO bisa menyerang siapa pun dan kapan pun, aku merasa lebih aman dan yakin akan mendapat perlindungan (seandainya mengalami).

Apa tantangannya dalam menjaga personal safety?

Fadiyah:

Menurutku, percakapan tentang personal safety masih dilihat sebagai sesuatu yang individual. Padahal, risiko keamanan ini datang karena pekerjaan sebagai jurnalis. Ketika jadi beban individu, banyak hal yang enggak tercakup.

Sebagai individu, kita bisa mengatur password dan postingan media sosial. Tapi banyak risiko di luar kontrol kita, dan perlindungannya cuma bisa diberikan secara kolektif atau lewat organisasi.

Aku pernah punya media sosial untuk keperluan pribadi—enggak pakai nama asli. TIba-tiba, salah satu editorku nge-outing akun itu dan dampaknya ke mana-mana. Aku kena doxing, keluargaku juga keseret.

Makanya urusan personal safety enggak bisa dilihat sebagai tanggung jawab individu. Walaupun setiap orang punya mekanisme berbeda ya, sesuai kerentanannya. Tapi, butuh upaya kolektif untuk membentuk perlindungannya.

Jasmine:

Membiasakan diri melakukan keamanan berlapis. Sebenarnya susah juga shifting dari satu password untuk beberapa akun, sekarang harus punya password berbeda. Cuma ya, mau semaksimal apa pun menjaga data pribadi, kalau pemerintah enggak punya kompetensi yang cukup untuk melindungi itu, sama aja bohong.

Malika:

Membiasakan log out apa pun yang terhubung dengan perangkat, dan enggak buru-buru buka pesan sebelum memastikan keamanannya. Lalu hati-hati sama konten yang diunggah, dicek lagi apakah masih relevan atau berpotensi membahayakan diri dan keluarga.

Xena:

Aku menahan diri untuk enggak terlalu banyak posting hal-hal pribadi di media sosial, biar (jejak digital) enggak bisa digali.

Nela:

Perkembangan teknologi ya. Kita harus belajar terus apakah (cara mitigasi) yang saat ini masih relevan, atau perlu diperbarui.

Baca Juga: Modul Pencegahan dan Penanganan KBGO AMSI

Kamu punya tips menjaga diri dari kemungkinan serangan digital? Terutama yang bisa datang dari profesimu sebagai jurnalis?

Fadiyah:

Setiap orang punya kerentanan dan kemungkinan ancaman yang berbeda ya, tergantung wilayahnya dan lapisan kerentanan lain. Contohnya jurnalis yang punya disabilitas fisik jauh lebih rentan. Atau dari lapisan ekonomi dan identitasnya—kayak jurnalis nonbiner dan yang terbuka dengan orientasi seksual tertentu, kerentanannya beda dengan jurnalis heteroseksual maupun yang enggak punya disabilitas.

Tapi, kita bisa memitigasi bareng-bareng, misalnya diskusi dengan atasan dan teman-teman kantor. Kalau kamu bukan berasal dari lingkungan yang cukup suportif—kayak aku (karena jurnalis freelance dan nonbiner), bisa diskusi ke sesama jurnalis perempuan atau nonbiner.

Dari situ bisa menganalisis dan memitigasi, lapisan kerentanan apa aja yang dimiliki. Baik posisi kita di media, liputan yang dilakukan, sampai identitas dan latar belakang lainnya.

Jasmine:

Kamu bisa memisahkan akun publik dan pribadi. Kalau akun pribadi di-privated (dikunci), jadi isinya cuma orang-orang yang dikenal dan dipercaya, supaya menurunkan potensi dapat serangan digital dari orang yang nggak dikenal. Kalau tetap ingin dibuka secara publik, sebisa mungkin jangan kasih live location karena mempermudah pergerakanmu diketahui orang lain.

Selain itu, sebaiknya enggak posting soal laporan-laporan jurnalistikmu yang sensitif di media sosial. Soalnya akan mengundang kontroversi di kalangan warganet, lewat reply atau direct message (DM). Untuk DM juga kalau bisa dikunci aja, menghindari komentar merendahkan, seksis, dan misoginis. Nanti dibuka kalau mau ngobrol sama narasumber.

Malika:

Pastikan kamu punya akun email atau media sosial yang berbeda dengan kehidupan pribadi. Atau punya dua gadget berbeda untuk memitigasi serangan online yang menyasar informasi pribadi.

Xena:

Aku membiarkan akun media sosial enggak terkunci, tapi enggak mencantumkan nama depan dan username-nya pun enggak menggunakan nama asli. Tujuannya biar lebih sulit ditelusuri kalau ada pihak-pihak yang mau doxing.

Nela:

Aku menerapkan two-steps verification di email dan akun media sosial. Dan sebaiknya enggak menyertakan geolokasi pas posting Instagram story.

Bagaimana cara perusahaan di tempatmu bekerja melindungi jurnalis perempuan dari KBGO?

Fadiyah:

Aku enggak tahu. Posisiku freelance, jadi enggak pernah dikasih informasi soal upaya perusahaan melindungi pekerjanya dari kekerasan. Dan itu dari pengalamanku freelance selama bertahun-tahun ya. Kalau pun punya, mungkin berlakunya untuk pekerja full-time. 

Jasmine:

Perusahaan pernah melakukan pelatihan digital safety dan ada SOP terkait KBGO. Menurutku, ini sudah baik.

Malika:

Di kantorku ada pedoman berperilaku di media sosial, panduan bagi jurnalis dalam melakukan kerja-kerja jurnalistiknya, sama assessment dan mitigasi ketika jurnalis melakukan liputan berisiko.

Xena:

Kayaknya enggak ada sih.

Nela:

Perusahaan tempatku bekerja lagi menyusun Standar Operasional Prosedur (SOP) Kekerasan Seksual. Mereka mengacu pada Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, SOP-nya AJI (Aliansi Jurnalis Independen), dan SOP dari SINDIKASI (Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi).

Manajerku juga selalu ngingetin untuk enggak pakai byline kalau meliput hal-hal sensitif, atau lagi melakukan pemeriksaan fakta—termasuk orang-orang yang punya followers banyak di media sosial. Dari pengalaman periset dan pemeriksa fakta di sini, dulu ada yang pernah di-doxing.

Baca Juga: Hati-hati Di Internet dan Hal-hal yang Perlu Diketahui Soal KBGO

Apa yang harus dilakukan perusahaan dalam melindungi jurnalisnya?

Fadiyah:

Memetakan apa saja risiko yang dimiliki perusahaan dan setiap individu pekerjanya. Misalnya dari segi finansial, fisik, dan psikologis—ancaman apa yang berkaitan dengan digital. Kemudian, perusahaan bisa membangun aturan soal itu. Pemetaan ini penting karena sering kali kekerasan terjadi, karena perusahaan enggak sepenuhnya bertanggung jawab memberikan perlindungan untuk pekerjanya.

Contoh paling sederhana, aku jarang melihat ada media yang human resource-nya memantau relasi antarpekerja. Padahal ini perlu buat memastikan, enggak ada penyalahgunaan kekuasaan atau kekerasan. Soalnya, di industri media itu kultur kekerasan dari atasan ke bawahan adalah sesuatu yang dinormalisasi.

Hal itu bisa dicegah kalau perusahaan punya aturan yang tegas untuk menjaga relasi yang sehat antar pekerja. Apalagi KBGO enggak selalu dari pihak eksternal. Jurnalis perempuan dan nonbiner justru mengalami (KBGO) dari atasan, atau sesama rekan kerja yang lebih dominan—misalnya laki-laki cisgender.

Jadi sambil memastikan keamanan jurnalisnya saat liputan di lapangan atau berhubungan dengan narasumber, keamanan di internal perusahaan pun perlu ditertibkan.

Jasmine:

Minimal punya SOP ya. Dari SOP nanti bisa dikembangkan lagi untuk mencegah KBGO terjadi pada perempuan jurnalis, serta pendampingan menyeluruh.

Malika:

Menyusun SOP perlindungan jurnalis dari kekerasan seksual, dan dimasukkan sebagai bagian dari K3 (Keselamatan dan Kesehatan Kerja). Tujuannya biar media punya panduan, dan komitmennya mencegah kekerasan sekaligus mendampingi korban bisa terlihat.

Xena:
Bikin panduan khusus soal apa yang harus dilakukan jurnalis jika mengalami KBGO, supaya kasusnya bisa segera ditangani. Jangan sampai diremehkan karena KBGO bisa mengurangi keamanan. Kantor pun harus peduli dengan pekerjanya.


Nela:

Setiap perusahaan media mesti punya SOP yang jelas terkait penanganan kekerasan seksual. Dan bukan cuma punya SOP aja, tapi didistribusikan secara menyeluruh ke karyawan. Kemudian implementasinya juga diperhatikan, jangan sampai enggak dijalankan oleh perusahaan.

Apa yang harus dilakukan pemerintah agar nasib jurnalis, terutama perempuan, lebih aman?

Fadiyah:

Aku ingat ada beberapa survei yang nunjukkin, salah satu aktor pelaku kekerasan terbanyak terhadap jurnalis perempuan itu politisi, orang dari pemerintahan, dan Aparat Penegak Hukum (APH). Soalnya kalau dikritik jurnalis, lembaga pemerintah dan APH justru merespons dengan kekerasan—salah satunya KBGO.

Jadi perlu dipastikan, supaya mereka berhenti melakukan kekerasan dalam bentuk apa pun. Setelah itu, baru bicara apa yang bisa mereka lakukan untuk membangun perlindungan yang lebih holistik. Di antaranya bikin peraturan, memastikan kebebasan pers bisa sepenuhnya diimplementasikan di Indonesia, dan pekerja perempuan bisa bekerja dengan aman.

Jasmine:

Sebenarnya di Pasal 14 UU TPKS itu membahas Kekerasan Seksual Berbasis Elektronik (KSBE), sama aja dengan KBGO. Sayangnya, definisi KSBE masih sempit dan belum mencakup berbagai jenis KBGO yang semakin banyak, karena teknologi terus berkembang.

Enggak cuma itu. Selama aku nulis laporan terkait UU TPKS dan KBGO, masih banyak APH yang enggak mengerti KBGO. Bahkan, enggak tahu ada UU TPKS dan perlu ditindak lewat pasal 14. Ujung-ujungnya, laporan korban diproses lewat UU ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik). Padahal, ini bikin korban rentan dikriminalisasi balik oleh pelaku lewat pencemaran nama baik.

Makanya APH perlu disosialisasikan soal KBGO secara menyeluruh, dan tujuh aturan turunan dari UU TPKS pun perlu diterbitkan. Harapannya, APH bisa menangani kasus dengan berperspektif korban.

Malika:
Menurutku pemerintah perlu menghadirkan regulasi yang mendukung, memastikan penanganan untuk jurnalis korban KBGO, dan menegakkan hukum untuk memproses pelaku.

Xena:

Seharusnya pemerintah menindak tegas pelaku KBGO. Lebih peduli, mau menindaklanjuti kasusnya supaya perempuan jurnalis  bisa kerja dengan aman.

Nela:

Menurutku penting jika pemerintah mengakui kerja-kerja jurnalistik sebagai pekerjaan untuk kepentingan publik. Pemerintah seharusnya enggak mengecilkan profesi ini, apalagi mengesahkan aturan-aturan yang malah mengancam pers. Contohnya UU PDP (Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi) juga ada yang mengancam jurnalis. Makanya aturan turunannya perlu dipikirkan.

Ada saran untuk perempuan dan gender minoritas lainnya dalam mencegah ancaman KBGO pada jurnalis, maupun cara menanganinya?

Fadiyah:

Untuk menghindari doxing dan dampaknya, kita perlu menghindari posting foto dengan background di bagian depan rumah, nama orang tua, atau informasi pribadi lainnya. Kalau nge-tag lokasi tertentu, pastikan itu bukan tempat tinggal pribadimu. Dan pilah kepada siapa informasi pribadi itu akan disebar.

Bisa juga membiasakan untuk membangun ruang aman di kalangan teman-teman jurnalis perempuan dan nonbiner, biar kamu merasa aman untuk menceritakan kegelisahan. Supaya kalau ada yang mengalami KBGO, bisa saling cerita ke lingkaran terdekat di ruang kerja, tanpa merasa malu atau takut.

Jasmine:

Ikutin aja tips-tips mendasar tentang digital safety. Cuma karena secara infrastruktur pemerintah belum siap menjaga data pribadi WNI, mau semaksimal apa pun menjaga data pribadi juga ujung-ujungnya bakal kesebar juga.

Malika:

Kalau mengalami KBGO, hal pertama yang bisa dilakukan adalah memantau dan menilai situasi yang dihadapi. Baru memutuskan tindakan yang paling baik dan aman untuk diri sendiri.

Kalau memungkinkan, dokumentasikan apa saja yang terjadi. Ini untuk membantu proses pelaporan, dan pengusutan atas kasus yang dihadapi. Lalu cari individu, atau lembaga yang bisa memberikan bantuan hukum. Dan layanan psikologi dan bantuan keamanan digital jika diperlukan.

Xena:

Kalau kamu mengalami KBGO, segera laporkan. Entah pada atasan atau orang terdekat. Jangan dipendam sendiri, takutnya memengaruhi kinerja sebagai jurnalis. Dengan sharing, harapannya bisa dicari bareng jalan keluarnya, supaya kembali merasa aman dalam bekerja.

Nela:

Apa pun yang terjadi, itu salah pelaku, bukan kamu. Ada komunitas dan lembaga yang bisa dihubungi untuk membantu menangani kasus KBGO. Kemudian, tuntut kantor untuk memberikan perlindungan karena itu hakmu sebagai jurnalis.

Lalu, usahakan merekam apa pun yang dialami—misalnya kalau mengalami kekerasan verbal di media sosial atau WhatsApp. Soalnya, APH suka menganggap kita minim bukti.

Ilustrasi oleh: Karina Tungari



#waveforequality


Avatar
About Author

Aurelia Gracia

Aurelia Gracia adalah seorang reporter yang mudah terlibat dalam parasocial relationship dan suka menghabiskan waktu dengan berjalan kaki di beberapa titik di ibu kota.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *