People We Love

Han Kang, Sastrawan Perempuan Asia Pertama Pemenang Nobel Sastra 2024 

Kemenangan Han Kang sebagai perempuan Asia pertama dalam Penghargaan Nobel, jadi bukti betapa sastrawan perempuan di Asia masih dinomorduakan.

Avatar
  • October 11, 2024
  • 7 min read
  • 84 Views
Han Kang, Sastrawan Perempuan Asia Pertama Pemenang Nobel Sastra 2024 

Penghargaan Nobel bidang Sastra tahun ini jatuh kepada sastrawan perempuan Korea Selatan, Han Kang. Diumumkan pada (10/10) lalu di Stockholm, Swedia, Komite Nobel dikutip dari VOA Indonesia menyebut, karya Han Kang merupakan “Prosa intens, yang menghadapi trauma bersejarah dan mengungkap kerapuhan hidup manusia.” 

Kemenangan perempuan kelahiran Gwangju, Korea Selatan pada 1970 jadi kemenangan kolektif sastrawan perempuan terutama dari Asia. Ia jadi sastrawan perempuan Asia pertama dan sastrawan perempuan ke-18 yang memenangi Penghargaan Nobel. Perempuan terakhir yang meraih penghargaan itu adalah Annie Ernaux asal Prancis pada 2022. 

 

 

Penghargaan Nobel dalam bidang sastra memang sudah lama dikritik karena dianggap terlalu fokus dianggap terlalu “putih” dan maskulin. Penghargaan bergengsi yang sudah ada sejak 1901 ini didominasi oleh penulis asal Eropa dan Amerika Utara dan mereka sebagian besar juga adalah laki-laki. 

Memulai debut sastranya pada 1993, Han Kang pertama kali menerbitkan serangkaian lima puisi yang diterbitkan di majalah Korea, Literature and Society. Mengutip dari artikel The Booker Prizes yang memuat wawancara ekslusifnya, sejak memulai debut perdana tulisan-tulisan Han Kang memang dikenal sangat kritis dan reflektif. Tulisan ini kemudian berkembang lebih eksperimentatif dengan banyak menekankan pada indera terutama sejak ia mendebutkan The Vegetarian (diterbitkan di Korea Selatan pada 2007), novel yang berdasarkan cerita pendek berjudul The Fruit of My Woman yang pernah ia tulis pada 1997 silam. 

Menyusul The Vegetarian, Han Kang terus menelurkan novel-novel laris lainnya seperti ada Human Acts, The White Book, dan Greek Lessons. Novel terbarunya, We Do Not Part, tentang seorang penulis yang meneliti pemberontakan Jeju 1948-1949 (melawan pembagian semenanjung Korea pada masa Perang Dingin) dan dampaknya terhadap keluarga temannya bakal diterbitkan pada awal 2025. 

Baca Juga: Gerakan Feminisme Oleh Sastrawan Perempuan Korea 

Sastrawan Feminis yang Berani 

Berbicara soal Han Kang tak mungkin lepas dari perbincangan soal feminisme. Lewat gaya penulisannya yang mengandalkan metafora dan indera untuk meramu kengerian dalam tubuh kemanusiaan, ia dengan sangat berani mengkritik sistem patriarki yang sukses menelan habis subjektivitas perempuan. Keberanian ini tergambar dalam dua novelnya Greek Lessons (2023) dan salah satu novel terlarisnya The Vegetarian

Dalam wawancara bersama World Literature Today, Han Kang mengatakan kekerasan sudah jadi bagian hidup manusia apalagi perempuan. Kedua novelnya ini makanya menceritakan soal bagaimana perempuan menolak kekerasan yang ada di mana-mana dan tidak menentu, bahkan jika itu merugikan dirinya sendiri. Dalam Greek Lessons, kekerasan menubuh dalam bahasa sehingga karakter perempuannya melakukan perlawanan dengan menolak bahasa sama sekali. 

Sedangkan dalam The Vegetarian, kekerasan itu menubuh lewat tindakan memakan daging, sehingga perlawanan karakter perempuannya digambarkan lewat keputusan jadi vegetarian. Sebagai salah satu novel terlarisnya Han Kang mengaku bahwa The Vegetarian sebenarnya ditulis sesuai dengan konteks masyarakat Korea Selatan, makanya ia enggak menyangka novelnya ini bisa diterima dan dipahami oleh pembaca dunia, terutama pembaca perempuan. Novel yang sudah diterbitkan di Indonesia oleh penerbit Baca ini berkisah tentang Yeong-hye, seorang ibu rumah tangga Korea yang memilih jalan ekstrem untuk menjadi vegetarian. Ia membiarkan dirinya sendiri kelaparan. Menolak apapun yang disuguhkan dan dicekoki orang anggota keluarga untuk meraih mimpinya bertransformasi menjadi pohon. 

Dalam wawancaranya bersama The Guardian, Han Kang menjelaskan Yeong-hye memang sengaja menolak tubuhnya. Ini dilakukan menghapus kekerasan yang dilakukan oleh masyarakat yang dipersonifikasikan dalam diri ayah, suami, dan dalam sebuah adegan lukisan tubuh yang penuh warna oleh suami saudara perempuannya.  

Lewat ayah Yeong-hye memperlihatkan pada pembaca bagaimana maskulinitas digambarkan lewat agresi. Sang ayah adalah veteran perang Vietnam yang sangat otoriter. Ia adalah anggota keluarga yang sejak awal selalu merespons keputusan Yeong-he dengan kekerasan. Ini mulai dari mengikat hingga mencekoki paksa Yeong-he dengan daging babi bahkan hingga muntah. 

Kekerasan yang dilakukan sang Ayah membuat Yeong-he mengancam akan mengiris nadinya. Tindakannya mungkin bagi banyak orang dibilang ekstrem, tapi buat Yeong-he kekerasan atau ancaman cuma satu-satunya bahasa yang bisa dimengerti sang ayah. 

Baca Juga: 5 Sastrawan Perempuan Jepang yang ‘Bunyi’ dan Patut Kamu Lirik 

Jika maskulinitas ayah Yeong-he digambarkan lewat agresi, Cheong, suami Yeong-he digambarkan lewat kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan ekspektasi peran gender tradisional yang ia bebankan kepada Yeong-he. Layaknya banyak laki-laki Korea Selatan yang seksis dan misoginis, Cheong mengharapkan Yeong-hye tunduk padanya. 

Ia ingin Yeong-hye jadi istri ideal yang bisa memasak, bersih-bersih, dan mau diajak berhubungan seksual kapan saja dengannya. Tapi saat Yeong-he memulai perjalannya jadi vegetarian, Cheong menyadari bahwa istri sedang melawan. Ia memaki Yeong-hye gila dan mencoba menundukan Yeong-hye beberapa kali dengan cara memerkosanya (marital rape). 

Sedangkan untuk karakter suami adik perempuannya yang tak bernama, maskulinitas digambarkan lewat seksualisasi tubuh perempuan. Han Kang sengaja menggambarkan karakter ini begitu terobsesi dengan tubuh Yeong-he. Ia menseksualisasi hampir tiap jengkal tubuh Yeong-he hingga pada tahap ia melakukan kekerasan seksual untuk mendapatkan kepuasan dari imajinasinya tersebut. 

Untuk menekankan ragam kekerasan terhadap perempuan yang dialami Yeong-he oleh tiga figur laki-laki dalam hidupnya ini Han Kang pun dengan brilian merepresentasikannya dengan tindakan memakan daging. Carol J. Adams dalam bukunya The Sexual Politics of Meat (1990) pernah menjelaskan binatang yang dibunuh dan dimakan oleh manusia diposisikan derajatnya kurang lebih sama dengan perempuan di masyarakat patriarki. 

Sama seperti hewan yang tak pernah dilihat sebagai subjek, tubuh perempuan pertama-tama “disembelih dan dipotong-potong” seperti binatang untuk menjadi bagian tubuh yang tidak berwajah dan tidak berkepribadian sehingga bisa ditundukkan. Karena itu, keputusan Yeong-he jadi vegetarian dan tubuhnya tak lagi menawarkan hasrat bagi laki-laki di dipandang sebagai sesuatu yang menyimpang, regresif, dan menjijikkan. Yeong-he pada akhirnya adalah protagonis yang kata Han Kang dalam wawancara sama bersama The Booker Prizes “tidak sempurna”. 

Bukan cuma karya feminisnya saja yang buat Han Kang dikenal dan dicintai banyak pembaca dunia. Han Kang juga dikenal sebagai penulis yang “takut” pada manusia. Dalam wawancara yang sama bersama The Guardian, Han Kang bilang betapa takutnya ia pada manusia yang bisa melakukan berbagai macam kejahatan yang tak terbayangkan baik pada sesama maupun makhluk hidup lainnya. Ia bahkan jadi merasa bersalah menjadi bagian dari ras manusia ini. 

“Bagaimana manusia bisa begitu brutal dan kejam …… Saya merasa manusia itu menakutkan dan saya adalah salah satunya,” katanya. 

Kesadaran tentang kekejaman yang menubuh dalam kemanusian ini mulai ia sadari pada usia 12 tahun saat ia mengetahui peristiwa Pergerakan Demokratisasi Gwangju yang bagian sejarah kelam Korea Selatan. Saat itu ia menemukan album kenangan yang berisi foto-foto jurnalis asing yang diambil ketika peristiwa tersebut. Penemuan album itu mengejutkan karena trauma trauma publik menjadi trauma yang sangat pribadi buat Han Kang. 

Baca Juga: ‘Kim Ji-young, Born 1982’ di Tengah Gerakan #MeToo Korea Selatan

“Saya ingat momen ketika pandangan saya jatuh pada perempuan muda yang dimutilasi, wajahnya diiris dengan bayonet. Diam-diam, dan tanpa keributan, sesuatu dalam diri saya hancur,” jelasnya. 

Ia menyadari bahwa foto-foto itu melemparkannya ke dalam krisis eksistensial yang akan bergema sepanjang hidupnya. Ia diliputi rasa bersalah dan terus bertanya-tanya tentang apa yang bisa ia lakukan dalam melawan kengerian ini. Kedua hal ini kemudian menghantarkannya pada keputusan untuk jadi seorang penulis. Ia ingin menuliskan kemanusian dalam wujudnya yang paling ingin ditutup-tutupi oleh banyak pihak. Kemanusian yang paling ia takuti, tapi ingin juga ia selamatkan. 

Human Acts adalah salah satu bukti dari nyata dari cara Han Kang menggambarkan kemanusiaan dalam versi paling jujur. Kemanusian itu penuh penyiksaan dan kekejaman yang tak terkatakan. Untuk menggambarkannya dengan jujur, Han Kang menulis Human Acts lewat suara-suara para korban penyiksaan baik yang hidup ataupun mati saat peristiwa Pergerakan Demokratisasi Gwangju. 

“Pada gilirannya (pembaca) harus siap untuk mengalami penderitaan seperti itu sendiri secara langsung (lewat novelnya),” katanya dalam wawancara bersama World Literature Today. 



#waveforequality


Avatar
About Author

Jasmine Floretta V.D

Jasmine Floretta V.D. adalah pencinta kucing garis keras yang gemar membaca atau binge-watching Netflix di waktu senggangnya. Ia adalah lulusan Sastra Jepang dan Kajian Gender UI yang memiliki ketertarikan mendalam pada kajian budaya dan peran ibu atau motherhood.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *