Issues Politics & Society

5 Kebijakan yang Mempersulit Kelas Menengah di 2025

Dari kenaikan PPN, kenaikan ongkos KRL, hingga iuran dana pensiun tambahan, wacana kebijakan di 2025 diprediksi bakal makin menekan ekonomi kelas menengah.

Avatar
  • October 18, 2024
  • 5 min read
  • 578 Views
5 Kebijakan yang Mempersulit Kelas Menengah di 2025

Sudah gaji pas-pasan, enggak mendapatkan bantuan pemerintah. Kalimat ini cukup menggambarkan nasib kelas menengah di Indonesia yang semakin hari semakin terimpit. Meski pendapatan cukup stabil dan bisa memenuhi kebutuhan hidup, faktanya kelas menengah lebih rentan miskin. 

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pada 2024, 9,48 juta orang turun kelas menjadi calon kelas menengah selama sepuluh tahun terakhir. Ini dilatarbelakangi faktor ekonomi, sosial, dan kebijakan pemerintah. Misalnya sedikitnya lapangan kerja di sektor formal, penurunan tenaga kerja di sektor industri manufaktur, serta beban kredit untuk rumah, kendaraan, dan pendidikan. 

 

 

Belum lagi pemerintah kerap mengeluarkan kebijakan, yang membuat kondisi kelas menengah kian terjepit. Magdalene merangkum sejumlah kebijakan yang rencananya bakal dikeluarkan pada 2025: 

Baca Juga: Apa itu Tapera yang Bikin Rakyat Resah? 

1. PPN Naik Jadi 12 Persen 

Beberapa hari lalu, Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan menyatakan, tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) akan naik menjadi 12 persen per 1 Januari 2025. Kenaikan ini merujuk pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Namun, implementasinya tergantung pada pemerintah yang baru, Prabowo Subianto. 

Meski tak berlaku berlaku untuk makanan dan minuman di rumah makan maupun hotel, warung, jasa kesenian dan hiburan, serta jasa keagamaan, kenaikan PPN dikhawatirkan membebankan masyarakat karena meningkatkan kebutuhan hidup sehari-hari. 

Masalahnya, kenaikan PPN ini bisa berdampak pada daya beli masyarakat dan meningkatnya angka pengangguran. Sebab, pemotongan pajak ini mengurangi pendapatan yang bisa digunakan untuk belanja kebutuhan sehari-hari, dan berlawanan dengan pertumbuhan ekonomi. 

2. Subsidi KRL Berdasarkan NIK 

Pada Agustus lalu, Menteri Perhubungan Budi Karya mengatakan berencana menerapkan subsidi tarif Kereta Rel Listrik (KRL) berdasarkan Nomor Induk Kependudukan (NIK). Rencana ini tercatat dalam dokumen Nota Keuangan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2025. Harapannya, skema itu dapat memberikan subsidi yang “lebih tepat sasaran”.  

Masalahnya, penggunaan tarif berbeda bisa menambah beban ekonomi masyarakat. Subsidi untuk transportasi massal seharusnya lebih banyak, dibandingkan anggaran subsidi kendaraan lainnya—seperti kendaraan listrik, motor, mobil, dan bus yang mencapai Rp9,2 triliun. Sementara KRL, yang seharusnya mendapat subsidi lebih banyak karena termasuk layanan publik, hanya sebesar RP7,9 triliun. 

Selain itu, cara ini belum mempertimbangkan aksesibilitas masyarakat ke teknologi digital saat meregistrasikan NIK. Sewaktu diwawancara Tempo.co, Ekonom UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat menjelaskan, seharusnya pemerintah mempertahankan tarif KRL yang terjangkau sekaligus meningkatkan efisiensi dan efektivitas pengelolaan subsidi.  

Baca Juga: Pemerintah Harus Libatkan Warga Bikin Kebijakan Publik 

3. Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan 

Pada Agustus lalu, Direktur Utama BPJS Kesehatan Ali Ghufron Mukti menyatakan, kemungkinan iuran BPJS Kesehatan kelas I dan kelas II naik pada 2025. Ini disebabkan untuk memperbaiki kualitas layanan, dengan memberlakukan kelas rawat inap standar (KRIS) pada 30 Juni 2025. 

Contohnya meningkatkan kualitas ruangan rawat inap dan tempat tidur. Rencananya, setiap ruangan di kelas III BPJS Kesehatan hanya diisi maksimal empat tempat tidur yang setara dengan kelas II. Berbeda dengan kondisi saat ini yang mencapai 15 tempat tidur. 

Namun, besaran kenaikannya belum diketahui. Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional Suharso Monoarfa menegaskan, kenaikan iuran ini tidak akan membebani masyarakat karena bermanfaat untuk pelayanan kesehatan.  

4. Memangkas Subsidi Gas Elpiji 

Melansir CNBC Indonesia, Eks Ketua Komisi VII DPR RI, Eddy Soeparno menuturkan, skema subsidi gas elpiji tiga kilogram akan berubah sehingga jumlah penerimanya akan terbatas. Hal ini dilatarbelakangi oleh RAPBN 2025, yang mencatat ada kenaikan subsidi gas elpiji tiga kilogram sebesar 2,3 persen—dari Rp87,6 triliun menjadi Rp85,6 triliun. 

Nantinya, pemerintah akan mengacu pada Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS), untuk memastikan penerima subsidi tepat sasaran. Sebab, selama ini 80 persen penerima subsidi gas elpiji tiga kilogram adalah masyarakat yang tergolong mampu—salah satunya aktor Prilly Latuconsina yang beberapa bulan lalu terlihat memakai gas ini lewat unggahannya di Instagram. 

Sebenarnya, Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 104 Tahun 2007 yang mengatur soal pendistribusian gas elpiji tiga kilogram tidak menyebutkan, larangan kalangan tertentu membeli gas tersebut. Karena itu, Direktur Jenderal Migas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Tutuka Ariadji bilang, pihaknya merevisi aturan tersebut supaya yang berhak membeli gas tersebut sesuai dengan segmentasi masyarakat. 

Namun, menurut Eddy, perubahan skema subsidi gas elpiji tiga kilogram akan berjalan pada 2026, lantaran baru dilakukan uji coba pada akhir 2025. Sebab, dibutuhkan waktu untuk mempersiapkan mekanisme pentransferan dana penerima subsidi. Setidaknya kurang dari lima persen penerima tidak memiliki rekening bank. 

Baca Juga: Jaminan Kesehatan Minim Bagi Korban Kejahatan dan Kekerasan Seksual 

5. Potongan Upah Pekerja untuk Iuran Dana Pensiun Tambahan 

Rencananya, pemerintah akan memotong gaji pekerja untuk program pensiun tambahan selain Jaminan Hari Tua (JHT) dari BPJS Ketenagakerjaan. Menurut Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Penjaminan, dan Dana Pensiun Otoritas Jasa Keuangan (OJK), program ini mengacu pada Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK). 

Pasal itu menyebutkan, pemerintah dapat melaksanakan program pensiun tambahan yang bersifat wajib, selain program JHT. Tujuannya untuk meningkatkan perlindungan hari tua dan meningkatkan kesejahteraan umum sesuai standar International Labour Organization (ILO), yakni sebesar 40 persen. Sedangkan saat ini, manfaat yang diterima pensiunan hanya sekitar 10-15 persen dari penghasilan terakhir saat bekerja. 

Meski belum ada kelanjutan soal jumlah iuran yang akan dikenakan karena Peraturan Pemerintah (PP) baru dirilis pada Januari 2025, kebijakan ini akan semakin membebani kelas menengah lewat potongan penghasilan. Seharusnya pemerintah melihat kondisi yang dihadapi kelas menengah, kemudian fokus memperbaiki pengelolaan sistem jaminan sosial dan isu ketenagakerjaan yang mendesak. 

Dalam wawancara bersama BBC Indonesia, Andriko Otang dari Trade Union Rights Centre (TURC) mengatakan, untuk menyejahterakan masyarakat, sebenarnya pemerintah dapat mengintegrasikan program yang sudah berjalan di BPJS Ketenagakerjaan. Misalnya dengan menetapkan batas bawah penghasilan, supaya masyarakat yang penghasilannya sekadar mencukupi kebutuhan sehari-hari tidak terdampak. 



#waveforequality


Avatar
About Author

Aurelia Gracia

Aurelia Gracia adalah seorang reporter yang mudah terlibat dalam parasocial relationship dan suka menghabiskan waktu dengan berjalan kaki di beberapa titik di ibu kota.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *