Issues Opini

Tuntutan Maksimal, Dukungan Minimal: Beratnya Beban Studi S3 di Indonesia

Dear mahasiswa S3, tabahkan hatimu, kencangkan ikat pinggangmu. Sebab, berjuang sampai garis 'finish', nyatanya semakin terasa sulit hari-hari ini.

Avatar
  • October 29, 2024
  • 6 min read
  • 304 Views
Tuntutan Maksimal, Dukungan Minimal: Beratnya Beban Studi S3 di Indonesia

Beberapa waktu lalu dunia akademik dihebohkan dengan kabar lulusnya Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia dari S3 bidang Kajian Stratejik Global Universitas Indonesia. Yang jadi pertanyaan netizen, total durasi Bahlil hanya 1 tahun 8 bulan saja, lebih pendek ketimbang rata-rata mahasiswa S3 di Indonesia yang biasanya mencapai 3 tahun bahkan lebih.

Kabar ini menuai banyak kritik, termasuk dari mahasiswa doktoral sendiri. Mereka mengaku merasakan beban berat dalam menjalankan studi. Selain maraknya kasus pelanggaran integritas akademis, beban mahasiswa S3 juga bertambah dengan adanya kenaikan biaya pendidikan S3 di beberapa kampus.

 

 

Jika ditempuh tanpa beasiswa, biaya kuliah S3 di Indonesia terhitung cukup mahal, apalagi jika dibandingkan sistem pendidikan tinggi di negara-negara lain seperti Jerman. Negara ini menggratiskan seluruh program doktoralnya. Ada juga kebijakan lainnya di Belanda, yang membiayai penelitian para kandidat doktor selayaknya pekerja kantoran.

Hasil percakapan informal dengan empat mahasiswa doktoral dari program studi/universitas yang tidak menyediakan beasiswa, serta penelusuran forum-forum online terkait studi S3 seperti di Quora, X (dulu twitter), dan Thread, mengidentifikasi beberapa masalah yang menjadi kekhawatiran bersama yaitu, kesenjangan pendapatan dosen dengan biaya S3, minimnya dukungan, dan tekanan publikasi yang menyuburkan jasa instan.

Baca juga: Dear Perempuan, Pendidikan Tinggimu untuk Kamu Sendiri

Besar Biaya daripada Pendapatan

Biaya studi S3 di Indonesia umumnya mencakup uang kuliah, biaya ujian disertasi, dan biaya publikasi jurnal dengan total biaya sekitar Rp100-200 juta.

Dalam banyak kasus, nominal total biaya studi melebihi penghasilan tahunan mahasiswa. Pendapatan bulanan rata-rata dosen lulusan S2, contohnya, berkisar di antara Rp6,1 juta. Asumsinya, hanya 20 persen dari pendapatan tersebut (sekitar Rp1,22 juta/bulan) yang bisa dialokasikan ke pendidikan. Artinya, pendapatan tersebut tidak cukup untuk menutupi kebutuhan uang kuliah yang setidaknya membutuhkan Rp 2-2,5 juta/bulan.

Memang, terdapat peluang mendapatkan beasiswa dari berbagai sumber dana seperti, lembaga pengelola dana pendidikan (LPDP) atau melalui kementerian, pemerintah daerah atau yayasan. Namun, jumlah ketersediaan beasiswa program doktoral jauh lebih sedikit dibandingkan S2 atau S1, jika dilihat dari perbandingan daftar program studi S3 dalam negeri LPDP.

Selain itu, beasiswa untuk studi doktoral umumnya memiliki persyaratan yang lebih ketat. Program studi (prodi) salah satu informan dari Aceh, misalnya, tidak masuk ke daftar penerima beasiswa karena persoalan akreditasi. Akibatnya, mahasiswa doktoral di prodi tersebut menghadapi dilema antara pemenuhan jam kerja dan jam belajar.

Menempuh jalur kelas malam atau non-reguler kemudian menjadi salah satu opsi. Namun, biayanya justru lebih mahal. Program S3 di sekolah pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia, contohnya, membebankan biaya kuliah lebih besar pada mahasiswa non-reguler daripada kelas reguler.

Baca juga: Benarkah Perempuan Berpendidikan Lebih Tinggi Selalu Susah Menikah?

Minimnya Dukungan

Dari segi relasi dosen pembimbing (supervisor) dan mahasiswa S3, sistem pendukung yang ada di Indonesia untuk mahasiswa S3 tidak sebaik negara-negara lain.

Supervisor di Australia dan Amerika Serikat (AS), misalnya, akan membantu mahasiswa dengan menjadikannya asisten peneliti Dengan demikian, mahasiswa tersebut tidak perlu khawatir jika topik penelitiannya membutuhkan pekerjaan yang perlu biaya besar. Pasalnya, mereka akan mendapatkan kompensasi berupa gaji bulanan untuk membantu kebutuhan finansial mereka.

Selain itu, dengan adanya keterlibatan sebagai asisten, disertasi mereka akan ditulis dalam kondisi sudah layak menjadi buku atau menjadi rujukan bagi proyek lainnya. Ini menciptakan peluang penghasilan yang lain.

Kondisi ini jarang ditemui oleh mahasiswa S3 di Indonesia, terutama mereka yang tidak berada dalam grup penerima beasiswa. Dalam obrolan kami seputar sistem doktoral di Belanda, salah seorang informan berkata “Kalau S3 saya seperti itu (digaji), bisa fokus penuh untuk nulis yang bagus.”

Tertekan Publikasi

Selain tidak mendapatkan bantuan dana penelitian, mahasiswa doktoral di Indonesia juga memiliki beban lain yang cukup berat, yaitu mempublikasikan artikel ilmiah di jurnal terindeks SCOPUS.

Meskipun ada yang bebas biaya, beberapa penerbit jurnal SCOPUS umumnya membebankan biaya yang tidak sedikit kepada penulis, dengan besaran tidak kurang dari satu juta rupiah. Ini menambah beban studi mereka.

Di lain pihak, ketersediaan bantuan dana untuk publikasi hanya tersedia di universitas tertentu saja, contohnya UNS atau UGM. Artinya, tidak semua mahasiswa S3 bisa menikmati fasilitas tersebut.

Selain itu, publikasi sebuah artikel bisa menelan waktu yang lama, bahkan mencapai 1-1,5 tahun setelah artikel diselesaikan. Alhasil, mahasiswa baru akan menerima dukungan dana jauh setelah artikel selesai ditulis.

Baca juga: Jalan Terjal Jadi Kepala Sekolah Perempuan di Indonesia

Godaan Jasa Instan

Menjalani studi S3 bukanlah perkara mudah. Mahasiswa berhadapan dengan situasi yang memerlukan energi ekstra, terutama jika ditempuh sambil bekerja. Menghadiri kelas, menjalankan tugas, dan melakukan penelitian untuk menulis disertasi sering membuat mereka kehabisan tenaga fisik dan mental.

Tak heran, beberapa mahasiswa tergoda untuk menggunakan jasa joki tulisan untuk menyelesaikan tugas, karena waktu dan energi yang tersedia untuk “menulis” sudah terkuras.

“Kita itu udah capek dengan kerjaan, terus harus bikin disertasi seperti itu (merujuk pada contoh disertasi doktoral di Leiden, Belanda)? Bisa selesai aja udah syukur!” keluh Mamat (bukan nama sebenarnya) yang mengambil program S3 sambil bekerja.

Ada juga yang menggunakan jasa jurnal predator untuk mengatasi tekanan publikasi. Keterbatasan waktu dan sulitnya memenuhi tuntutan kualitas tulisan membuat beberapa orang terpaksa menempuh jalan pintas.

Pragmatisme Turunkan Kualitas Lulusan Doktor

Beban studi doktoral di atas menciptakan dua kecenderungan: Keengganan untuk menempuh studi doktoral atau menjalankannya secara pragmatis dengan motto “yang penting selesai”.

Praktik serupa juga lazim ditemui di negara lain. Namun, biasanya mereka yang melakukan itu punya motif politik, dan secara personal sudah berada di level tidak membutuhkan bantuan finansial menempuh studi. Sementara di Indonesia, pendekatan pragmatis ini justru dilakukan oleh mereka-mereka yang ingin menjadi akademisi.

Tidak heran, beberapa lulusan doktor di Indonesia memiliki mindset ‘balik modal’ setelah menjadi doktor, dengan mengejar uang, jabatan, dan kehormatan. Apalagi jika mereka sempat berutang dalam proses belajarnya.

Setidaknya ada dua opsi solusi untuk memastikan kualitas studi S3 di Indonesia. Pertama, penyaringan calon mahasiswa yang lebih ketat, sehingga nantinya kandidat-kandidat doktor punya kapasitas untuk menyelesaikan studi dengan cara-cara yang beintegritas.

Kedua, membebaskan biaya pendidikan untuk jenjang S3. Harapannya, mahasiswa S3 dapat mengerjakan penelitian disertasinya dengan serius tanpa distraksi finansial. Salah satu dari kedua opsi ini perlu dipertimbangkan demi kualitas lulusan doktor yang lebih ideal.

Anggi Azzuhri, PhD candidate, Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII) dan Musa Alkadzim, Mahasiswa, Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII).

Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat



#waveforequality


Avatar
About Author

Anggi Azzuhri dan Musa Alkadzim

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *