Jalan Terjal Jadi Kepala Sekolah Perempuan di Indonesia
Meski kinerjanya lebih baik, peluang perempuan untuk menjadi kepala sekolah lebih kecil dibandingkan laki-laki.
Perempuan mendominasi jumlah guru sekolah dasar di Indonesia. Dari total sekitar 1,4 juta guru SD, hampir satu juta di antaranya adalah perempuan—proporsinya mencapai hampir 70 persen. Meski demikian, hanya sepertiga SD yang memiliki kepala sekolah perempuan. Di madrasah, jumlahnya lebih sedikit lagi dibandingkan di SD, yakni kurang dari 20 persen.
Ketimpangan ini tidak hanya mengindikasikan ketidaksetaraan gender, tapi juga menunjukkan bahwa banyak sekolah di Indonesia yang berpotensi kehilangan manfaat dari kepemimpinan efektif kepala sekolah perempuan dan juga dari lingkungan belajar yang cenderung lebih baik.
Sebuah survei yang dilakukan oleh INOVASI, program kerja sama antara pemerintah Indonesia dan Australia untuk meningkatkan hasil belajar siswa, menunjukkan hal ini. Pada tahun 2018, INOVASI melakukan survei di 16 kabupaten dan satu kota di Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Utara dan Jawa Timur. Kami menyurvei 567 guru dan 199 kepala sekolah dan melakukan analisis data, serta menguji hubungan antarvariabel.
Salah satu temuan survei kami adalah, guru perempuan cenderung memiliki kinerja yang lebih baik. Kepala sekolah perempuan juga cenderung mempunyai manajemen sekolah yang lebih baik dan membangun lingkungan belajar yang lebih kondusif. Namun, kami menemukan juga bahwa guru perempuan cenderung lebih lama mendapatkan kesempatan menjadi kepala sekolah.
Di beberapa aspek, kinerja pendidik perempuan lebih baik dari laki-laki…
Kami menemukan bahwa guru perempuan pada umumnya lebih apresiatif terhadap hasil kerja siswa dan lebih proaktif dalam menggunakan media belajar (seperti kartu kata, buku besar, dan balok). Sebuah studi lain menemukan bahwa guru perempuan lebih jarang absen dibandingkan guru laki-laki.
Guru perempuan juga cenderung untuk memperoleh skor tes literasi lebih tinggi—walau temuan ini masih bersifat sementara.
Kami juga menemukan bahwa kepala sekolah perempuan tampaknya lebih baik dalam beberapa aspek terkait manajemen sekolah. Sebagai contoh, kami mengobservasi bahwa kepala sekolah perempuan cenderung mengalokasikan lebih banyak dana untuk pengembangan kapasitas guru, kegiatan belajar siswa, dan pengelolaan perpustakaan. Di sisi lain, kepala sekolah laki-laki lebih condong mengalokasikan dana untuk gaji guru honorer, pembelian perlengkapan multimedia, dan biaya operasional lainnya.
Hal ini mungkin bisa menjelaskan mengapa lebih banyak guru yang kepala sekolahnya perempuan puas dengan kinerja kepala sekolah (84 persen), dibandingkan mereka yang memiliki kepala sekolah laki-laki (74 persen).
Hasil-hasil penelitian sebelumnya juga menunjukkan bahwa perempuan cenderung lebih efektif dalam hal kepemimpinan instruksional, yang kemudian berkontribusi positif pada hasil belajar siswa.
Kepala sekolah perempuan pada umumnya juga lebih efektif dalam hal menentukan misi sekolah, mengorganisasi program sekolah, dan membangun hubungan yang saling mendukung dengan guru dan siswa. Mereka juga pada umumnya lebih suka menggunakan gaya kepemimpinan yang demokratis, partisipatif, dan fokus pada tugas.
Baca juga: Wahai Suami, Karier Istrimu Bukan Hanya Soal Materi
Studi lain menemukan keterkaitan gender dengan sumber otoritas yang digunakan kepala sekolah. Kepala sekolah perempuan cenderung untuk menggunakan pengetahuan instruksional dan pengalaman mereka, sementara kepala sekolah laki-laki lebih sering menggunakan kemampuan mereka untuk membuat keputusan dan otoritas jabatan yang dimiliki.
…tapi mereka lebih lamban mendapatkan promosi
Data kami menunjukkan kesenjangan yang nyata antara jumlah kepala sekolah laki-laki dan perempuan baik di sekolah dasar maupun di madrasah. Di sekolah dasar, hanya sekitar 30 persen kepala sekolah adalah perempuan, dan di madrasah sekitar 13 persen.
Meskipun kinerja kepala sekolah perempuan memuaskan, mereka cenderung naik pangkat lebih lama. Ketika naik pangkat, mereka juga umumnya sudah memiliki pendidikan yang lebih tinggi dan pengalaman kerja yang lebih panjang dibandingkan kepala sekolah laki-laki. Hal ini sesuai temuan bahwa perempuan harus bekerja lebih keras untuk bisa naik jabatan.
Sebuah studi menemukan bahwa di beberapa negara berkembang, termasuk Turki, Cina dan beberapa negara dengan penduduk mayoritas muslim, diskriminasi terhadap perempuan menyebabkan mereka tertinggal dalam hal pengembangan profesionalitas.
Pada konteks ini, kepemimpinan dianggap merupakan “milik” laki-laki dan kurang mendorong perempuan untuk menduduki posisi tersebut.
Di Indonesia, sejarah telah membentuk peran gender. Pada masa Orde Baru, relasi dan peran gender dikontrol oleh negara, dan menempatkan perempuan sebagai ibu dan istri serta membatasi peran mereka di wilayah domestik.
Baca juga: Warga Miskin Cenderung Sekolahkan Anak Perempuan Mereka di Madrasah: Riset
Politik gender ini menyebabkan diskriminasi konstruksi sosial terkait peran gender. Ketika perempuan berpartisipasi dalam pembangunan, kontribusi mereka dianggap sebagai “bantuan” bagi suami; dan ketika perempuan bekerja, mereka tidak dianggap melakukan pekerjaan sungguhan.
Aspek lain yang ditemukan pada para pelaku pendidikan perempuan adalah kepala sekolah menanggung beban yang lebih berat dan ini memberikan tantangan tersendiri bagi perempuan, terutama bagi mereka yang sudah menikah.
Seorang kepala sekolah yang kami wawancarai mengatakan bahwa dia harus menghabiskan banyak waktu melakukan supervisi dan menyelesaikan tugas administrasi. Posisi ini juga mengharuskannya untuk melakukan perjalanan dan harus siap untuk pergi ke wilayah-wilayah terpencil—persyaratan seperti ini pada umumnya dianggap lebih tepat untuk laki-laki. Kepala sekolah juga harus siap dipindahkan ke tempat-tempat lain.
Tantangan-tantangan ini membuat perempuan di dunia pendidikan, terutama bagi yang sudah menikah, mengalami lebih banyak kesulitan untuk mengejar karier kepemimpinan.
Perempuan cenderung menghadapi dilema terkait dengan tuntutan untuk memenuhi kewajiban mengurus rumah tangga dan tuntutan pekerjaan. Sebuah pengalaman yang biasa ditemui di berbagai tempat terutama di negara berkembang.
Apa yang bisa kita lakukan?
Meskipun literatur terkait kepemimpinan perempuan di pendidikan di Indonesia masih terbatas, ada beberapa hal yang bisa dilakukan untuk mengatasi terbatasnya jumlah pemimpin perempuan di sekolah. Untuk jangka pendek, kita bisa mulai dengan memenuhi kebutuhan praktis gender dan secara bertahap membangun dasar bagi intervensi yang lebih progresif untuk menghapus ketidakadilan.
Kepemimpinan dianggap merupakan “milik” laki-laki dan kurang mendorong perempuan untuk menduduki posisi tersebut.
Contohnya dengan menyediakan pelatihan kepemimpinan untuk memberdayakan guru perempuan. Perempuan mungkin menghadapi tantangan untuk mengejar karier seperti menghadapi budaya patriarkal yang membatasi keinginan mereka untuk menduduki posisi pemimpin. Mereka juga mungkin perlu memikirkan bagaimana cara untuk mengatur tanggung jawab domestik dan tuntutan sebagai pemimpin.
Pelatihan kepemimpinan saat ini tampaknya masih netral gender dan belum mengatasi kebutuhan spesifik perempuan. Kegiatan seperti ini perlu juga mengakomodasi kebutuhan spesifik perempuan meliputi sesi untuk mentoring, sesi mengatur peran domestik, dan pengembangan kualitas kepemimpinan.
Selain itu, pelatihan kepemimpinan untuk kepala sekolah yang ada saat ini bisa juga disesuaikan agar mencakup juga topik-topik terkait gender dan mendorong peserta, baik laki-laki maupun perempuan, untuk belajar dari contoh-contoh kepala sekolah perempuan yang menonjol.
Untuk jangka panjang, pemahaman yang lebih baik tentang bagaimana gender berpengaruh pada kinerja sekolah bisa menjadi masukan bermanfaat bagi pemerintah, terutama dalam perekrutan posisi pemimpin.
Meskipun tindakan afirmasi mungkin dibutuhkan sebagai salah satu solusi jangka pendek, pada akhirnya tujuan utama adalah untuk memastikan bahwa pemimpin sekolah diisi oleh orang yang berkualitas dan kompeten.
Kepemimpinan sekolah yang lebih baik berarti manajemen sekolah yang lebih baik, pengajaran yang lebih baik, dan mendorong hasil belajar yang lebih baik pula bagi anak Indonesia.
Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.