Benarkah Perempuan Harus Meredup Setelah Menikah?
Perempuan sering kali kehilangan jati diri dan potensi setelah menikah. Haruskah mereka meredup di hadapan suami, atau bisakah mereka tetap bersinar dalam pernikahan?
Beberapa waktu lalu saya dikirimi beberapa video yang membuat saya bertanya-tanya, mengapa perempuan sering kali kehilangan jati diri dan potensi setelah menikah? Haruskah mereka meredup di hadapan suami, atau bisakah mereka tetap bersinar dalam pernikahan?
Video-video di media sosial tersebut intinya mengatakan, ‘Perempuan jangan sampai memperlihatkan kehebatannya di depan suami, karena sepintar apa pun, istri tetap di bawah suami’. Di dalamnya juga disertakan ayat-ayat Al-Quran yang membahas mengenai kepemimpinan, bahwa laki-laki mutlak sebagai pemimpin bagi perempuan.
Karena penasaran, saya kemudian mencari video yang serupa, dan sungguh terkejut lah saya karena di media sosial banyak sekali video yang membahas hal demikian. Bahkan ada yang sampai mengatakan bila seorang istri dihormati karena mereka memiliki suami. Seakan-akan identitasnya sebagai individu tidak ada nilainya sama sekali, dan seolah-olah perempuan memang pantas untuk kehilangan identitasnya sendiri sebagai individu utuh setelah menikah.
Baca juga: “Selamat Ya Kamu Sudah Laku”: Menikah Bukan Berarti Membeli Perempuan
Penyertaan dalih agama itu membingungkan karena saya ingat betul Q.S Al-Hujurat (49) ayat 13 yang artinya: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Teliti.”
Bagaimana bisa seorang perempuan dihormati hanya karena mereka menjadi istri dari seorang laki-laki? Padahal ayat di atas jelas-jelas menegaskan bahwa kedudukan manusia di mata Allah SWT adalah sama, baik laki-laki maupun perempuan. Yang menjadikan mereka mulia di sisi Allah adalah ketakwaannya dan yang menjadikan perempuan terhormat di masyarakat seharusnya adalah bagaimana tindakan dan kontribusi mereka di dalam kehidupan sosial.
Dalam acara Ngaji Keadilan Gender Islam (KGI) pada 11 Oktober lalu, yang bertema ‘Pergeseran Relasi Kuasa dalam Tafsir’, Ibu Nyai Nur Rofiah Bil Uzm menjelaskan, “Allah itu Maha Adil. Jikalau ada ayat Al-Quran yang menyatakan ketidakadilan pada salah satu makhluk-Nya (perempuan), maka yang tidak adil bukan ayat tersebut tapi penafsirannya. Karena tafsir adalah hasil pemikiran manusia.”
Baca juga: Menikah: Menghidupkan atau Mematikan Diri Perempuan?
Perempuan dalam Pernikahan
Di dalam sebuah hubungan romantis termasuk pernikahan, kesenjangan maupun ketidakseimbangan keberhasilan dalam karier antarpasangan di dalamnya dapat menimbulkan rasa rendah diri dan tidak aman (insecurities), biasanya pada laki-laki dalam masyarakat patriarkal. Penelitian yang dilakukan Fadhilah Sabrina dan kawan-kawan dari Universitas Negeri Jakarta menunjukkan, insecurities atau rasa tidak aman merupakan salah satu rasa takut terhadap sesuatu yang dipicu oleh rasa tidak puas dan tidak yakin akan kapasitas diri sendiri. Jika dibahas dalam konteks ini, laki-laki yang insecure atau kurang percaya diri cenderung merasa tertekan dengan kesuksesan pasangannya. Hal ini tidak lepas dari tuntutan budaya kita yang selalu menempatkan laki-laki sebagai pemimpin, sehingga mereka merasa harus memenuhi ekspektasi tersebut.
Saya menemukan salah satu contoh di lingkungan sekitar, bagaimana seorang perempuan yang meniti jenjang karier yang baik dan telah mengenyam Pendidikan tinggi, kemudian dipaksa untuk melepaskan kariernya setelah menikah. Ia ditekan untuk menjadi ibu rumah tangga oleh keluarga meski hatinya terasa berat. Mirisnya lagi, bukan hanya kariernya saja yang harus dilepas, dalam Kartu Keluarga pun jenjang pendidikannya tidak tertulis sesuai fakta sebenarnya. Ketika saya bertanya hal tersebut kepada orang terdekatnya, rupanya dia melakukan hal itu demi menjadi istri yang salihah.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Jordan Mansell dan Malu AC Gatto, yang hasilnya dimuat dalam jurnal Politics and Gender (2023), hal di atas bisa disebut fenomena yang menggambarkan adanya fragile masculinity atau suatu situasi di mana laki-laki menunjukkan sikap negatif terhadap perempuan sebagai respons atas adanya ancaman sosial yang dirasakan. Respons tersebut merujuk pada kondisi kecemasan atau ketidakamanan di antara laki-laki yang menganggap diri mereka gagal memenuhi standar budaya maskulinitas. Karenanya, untuk mempertahankan maskulinitas dan superioritas tersebut, laki-laki merasa perlu menjadikan orang lain inferior.
Baca juga: Cerita Tiga Perempuan Lajang di Usia 40-an: Kami Tak Menikah tapi Bahagia
Perempuan Juga Perlu Diapresiasi Potensinya
Perempuan sebagai manusia dan juga individu utuh memiliki bakat serta potensi diri yang sama besarnya dengan laki-laki. Perempuan berhak diakui kemampuannya dan diberi kesempatan yang sama untuk berprestasi juga berkontribusi di dalam masyarakat. Penting bagi perempuan untuk memilih pasangan yang bisa menghargai dan mendukung impian maupun ambisinya serta mau mendorong kemampuan satu sama lain untuk terus berkembang tanpa merasa menjadi kompetitor.
Istri tidak seharusnya menutupi kehebatannya di depan suami. Sebagai pasangan, laki-laki dan perempuan semestinya saling menghormati satu sama lain sebagai manusia yang setara. Karena selain bisa membangun hubungan yang harmonis, menghormati dan menghargai potensi yang dimiliki antar pasangan akan menciptakan rasa saling percaya juga membangun kepercayaan diri.
Ilustrasi oleh: Karina Tungari