Perempuan Torobulu Berjuang Tolak Tambang: Dirikan Tenda, Kehilangan Pekerjaan, Dikriminalisasi Perusahaan
Meski kehilangan semua, para perempuan ini tetap teguh menolak tambang nikel di kampungnya. Kini yang mereka perjuangkan bukan nasib sendiri tapi anak cucu di masa depan.
Suara ekskavator pagi itu memecah kedamaian Desa Torobulu, Sulawesi Tenggara. Para perempuan yang tengah meladang dan beraktivitas di pasar, langsung menghentikan pekerjaannya. Lalu berbondong-bondong pergi ke sumber kebisingan. Di sana tampak sembilan eskavator milik PT Wijaya Inti Nusantara (WIN), perusahaan tambang Frans Salim Kalalo dan Anthony Kalalo, tengah mengais nikel.
“Berhenti! Kami bilang berhenti!”
Suara enam perempuan dalam kerumunan itu bersahut-sahutan. Di tengah debu galian tambang yang menyesakkan, perempuan ini berlari mengadang ekskavator hingga jarak kurang dari tiga meter. Mereka menyebar di depan, samping kanan dan kiri, seolah tak takut cedera. Sementara, operator mesin eskavator itu tak bergeming. Galian nikel terus berlanjut.
Hari itu 27 September 2023, suasana di Simpang 3, Desa Torobulu cepat memanas. Warga setempat sudah habis kesabaran melihat ulah PT WIN yang diduga melakukan penambangan ilegal. Mereka enggak mengantongi dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) dan Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB). Berulang kali warga meminta bukti AMDAL dan RKAB itu, tapi tak sekali pun perusahaan menyanggupi.
Selain tak mengantongi izin, kemarahan warga juga dipicu aktivitas PT WIN yang menambang kurang dari 100 meter dari pemukiman warga. Sebelumnya pada 21 September 2023, warga sempat meminta perusahaan berhenti beroperasi. Aktivitas memang diberhentikan sementara untuk memenuhi permintaan warga. Namun belum genap satu minggu, mereka kembali menggali nikel.
Berikutnya adalah aksi perempuan yang berjuang menolak tambang. Mereka bertemu di lapangan untuk mempertahankan desa dari kerusakan lingkungan yang lebih fatal. Bahkan, mereka sengaja mendirikan tenda di Simpang 3 untuk melawan perusahaan tambang tersebut.
Ide aksi gelar kemah pertama kali tercetus dari salah satu perempuan penolak tambang bernama Nia, 42. Keponakannya, Haslilin bercerita, ada kemungkinan PT WIN bakal balik mencari kesempatan menambang jika warga pulang ke rumah. Untuk mencegah hal tersebut, Nia menyarankan warga mendirikan tenda di Simpang 3 dan bergiliran jaga. Ide Nia langsung disetujui warga penolak tambang. Dimulai dari 25 Oktober 2023 hingga 6 November 2023, total ada 32 warga yang melakukan aksi kemah.
“Kami bawa tenda, gantian meronda. Kalau malam, selesai Magrib kami biasanya berkumpul semua menyalakan api unggun. Jadi kami makan di situ, tidur juga di situ. Kalau muncul matahari, barulah perempuan pulang. Karena aksi ini, orang yang tidak pernah akrab, satu tempat tinggal Torobulu tidak pernah tegur, jadi bersaudara,” cerita Haslilin.
Baca juga: Gerakan Feminisme oleh Sastrawan Perempuan Korea
Ongkos Mahal Perjuangan
Berjuang menolak perusahaan tambang bukan perkara mudah buat perempuan-perempuan ini. Ada yang sampai kehilangan pekerjaan bahkan dipenjara di tengah perjuangan. Haslilin salah satunya.
Pada puncak aksi 6 November 2023, Hasilin bersama 31 orang warga Torobulu dilaporkan PT WIN ke aparat. Polisi sendiri mengeluarkan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) kepada delapan warga. Polisi mengancam warga dengan tuduhan merintangi atau mengganggu kegiatan usaha pertambangan. Hal tersebut diatur dalam Pasal 162 UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara sebagaimana telah diubah dengan Pasal 39 ayat (2) Paragraf 5 Energi Sumber Daya Mineral UU Nomor 6 Tahun 2023 tentang penetapan PERPU Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi UU.
Dari pelaporan ini, Haslilin bersama dengan Andi Firmansyah, 41, resmi jadi tersangka. Status tersebut langsung mengubah hidupnya drastis. Sebelum dikriminalisasi, Haslilin adalah pencari nafkah utama keluarga kecilnya. Ia berdagang sembako di pasar dengan penghasilan mencapai Rp4 juta.
Dari berdagang inilah Haslilin bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari keluarga, kala suaminya tak punya pekerjaan dan penghasilan menentu. Namun sejak dikriminalisasi, usaha sembako Haslilin perlahan hancur. Pertama, ia dihancurkan lewat desas-desus, sehingga membuat pelanggan jadi enggan berbelanja sembako darinya.
“Jangan kau beli dari dia. Dia dimusuhi perusahaan. Ada omongan gitu,” kata Haslilin.
Tak cuma dihancurkan lewat desas-desus, Haslilin juga rugi besar karena tiba-tiba sembako senilai Rp12 juta yang ia simpan dalam gudang dicuri orang. Haslilin sempat menceritakan kejadian ini ke bapak mertua. Ia berharap bapak mertua bisa bersimpati dan ikut membantu mencari tahu siapa pelakunya. Nahas bukan simpati yang ia dapat, Haslilin justru dimarahi.
“’Kamu tahu orang sakit hati karena kau lawan tambang? Begitulah (akibatnya) kalau jadi anak keras kepala,’” cerita Haslilin menirukan kalimat bapak mertuanya.
Baca juga: ‘Kim Ji-young, Born 1982’ di Tengah Gerakan #MeToo Korea Selatan
Setelah sumber pencaharianya hancur, kini Haslilin cuma bisa bergantung pada penghasilan pas-pasan suami sebagai kuli bangunan di Kendari. Situasi ekonomi ini diperparah dengan cibiran dan gunjingan tetangga yang mengasingkannya.
Tiap kali ada awak media atau Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang datang mengunjungi rumah untuk minta keterangan, gunjingan tetangga semakin intens. Mirisnya, anak pertama Haslilin, Kila, yang duduk di bangku Sekolah Dasar, dirundung hingga takut berangkat sekolah. Pelaku perundungan termasuk guru-gurunya yang mengingatkan Kila bahwa ibunya tidak akan pulang alias dipenjara karena melawan tambang.
“Guru-guru yang dukung perusahaan bilang, ‘Tidak akan pulang itu mamamu. Mamamu itu lawan tambang lama-lama dipenjara begitu,’” tutur Haslilin.
Di tengah tekanan tersebut, beruntung Haslilin didukung penuh suami dan ayah kandungnya. Hal ini tidak dirasakan oleh Nurhidayah, 34 yang bersama Haslilin berjuang tolak tambang. Meski didukung ibu, Nurhidayah ditekan suami dan kakak-kakaknya sendiri.
Ia bercerita pada Magdalene, kehidupan rumah tangganya diwarnai pertengkaran sejak sang suami tahu perjuangannya menolak tambang. “(Kami) bertengkar terus setiap bernapas,” ucapnya. Suami, imbuhnya, bahkan mengancam akan meninggalkannya jika ia tetap bertahan dengan gerakan.
Ia pun diancam tidak dinafkahi. Tekanan dan ancaman suami ini lantas membuat Nurhidayah pernah mengaku rela untuk diceraikan. Buatnya jika memang perjuangan membutuhkan pengorbanan demikian, dia ikhlas dan menganggapnya sebagai takdir Tuhan.
Sebelas dua belas, kakak laki-laki kedua dan ketiga yang notabene pekerja tambang, juga mengintimidasinya. Kakak keduanya bahkan melarang Nurhidayah mendatangi pemakamannya kelak. Ultimatum inilah yang membuat Nurhidayah enggan bertatap muka dengan sanak saudara Lebaran tahun lalu.
Semua demi Anak-Anak
Di tengah kesusahan ini, baik Haslilin maupun Nurhidayah menolak mundur dari perjuangan. Keduanya sepakat bertahan demi masa depan anak-anak. Haslilin bercerita tentang nasib anak bungsunya yang harus melakukan perawatan selama enam bulan karena terkena dampak debu galian tambang.
Debu yang begitu pekat itu memenuhi atap hingga menempel lengket pada piring-piring makan, membuat sang anak batuk dan pilek selama tiga minggu. Ketika dibawa ke Rumah Sakit Umum Dewi Sartika untuk melakukan pembersihan pada saluran pernapasan, lendir yang keluar dari tubuh sang anak berwarna hijau pekat seperti bensin.
Sementara, Nurhidayah bilang, sebagai warga asli Torobulu ia melihat sendiri bagaimana perubahan besar terjadi di desanya usai perusahaan memulai usaha tambang. Torobulu yang ia kenal dulu masih hijau, namun kini begitu gersang. Jika musim kemarau datang, panas terik matahari jadi lebih menyengat.
Belum lagi debu galian tambang yang semakin banyak dan rawan dihirup anak-anak. Sumur-sumur yang jadi penopang hidup masyarakat pun banyak mengering karena berada di area dekat atau menjadi area penambangan.
Baca Juga: 5 Sastrawan Perempuan Jepang yang ‘Bunyi’ dan Patut Kamu Lirik
“Sudah tidak ada lagi kehijauan, tinggal sedikit saja. Bandingkan dengan Barat (sisi Torobulu yang masih cukup hijau). Khawatir juga karena sumber air banyak yang mengering padahal sebelumnya tidak sampai kering seperti itu. Saya jadi mengingat masa depan anak-anak saya, kalau bukan kami yang pertahankan siapa lagi?” jelasnya.
Berjuang demi masa depan anak-anak juga sempat dilontarkan dua perempuan penolak tambang lainnya yang diwawancarai Magdalene. Mereka Darniati, 29, dan Mina, 29, yang sama-sama masuk daftar korban kriminalisasi PT WIN.
Darniati, ibu dua anak berusia 6 dan 10 tahun ini jadi saksi perusahaan tambang yang merusak lingkungan dekat rumahnya. Di sana ribuan hektar bekas galian tambang terbentang dan memicu kekhawatiran tersendiri. Sebab, debu-debu bekas galian tambang relatif tebal hingga bertebaran ke mana-mana tiap ada motor melintas. Ia juga takut setiap anak-anak main keluar, bisa jatuh ke lubang galian tambang. Kekhawatiran ini cukup beralasan mengingat sebelumnya banyak sapi warga yang mati usai terjatuh di lubang tambang.
“Beberapa ada yang mati jatuh. Pas ketahuan itu udah jadi tulang. Saya kepikiran masa depan anak-anak. Saya khawatir keselamatan dan kesehatan mereka. Kalau rusak, pasti rawan sekali buat anak-anak. Tempat bermain di kebun jadi tidak ada sama sekali padahal biasanya main di belakang ke kebun. Pikiranku kalau diolah juga (tanah dekat rumah), di mana mereka akan bermain,” ucap Darniati.
Sedangkan Mina–walau belum menikah dan melahirkan–tak kalah gencar ikut berjuang menolak tambang demi masa depan anak-anak. Mina adalah guru di salah satu Taman Kanak-kanak di Torobulu. Ia menyaksikan bagaimana tambang berdampak besar pada kesehatan dan keselamatan anak-anak. Ia ogah nantinya masa depan anak terampas demi keuntungan segelintir orang saja.
Belum lagi kerusakan lingkungan yang semakin potensial. Torobulu, kata dia, semakin panas dan berpotensi terendam banjir karena datarannya yang cenderung rendah.
“Kalau sudah ke Timur, sudah habislah kita. Semuanya akan digarap. Kalau ditambang pasti airnya masuk, kami pasti cepat kena dampaknya apalagi kalau hujan. Kalau enggak ditambang saja, tiga hari hujan banjir, apalagi tidak ada drainase,” jelasnya.
Tekadnya kuat untuk mempertahankan desa. Ia selalu ikut aksi bersama perempuan-perempuan lain penolak tambang. Ia bahkan tidak takut jika sewaktu-waktu kariernya terhenti karena banyak orang tua muridnya adalah pekerja tambang dan kepala sekolahnya pun pro dengan tambang.
“Saya enggak khawatir atau takut, karena saya tidak mau tunduk sama mereka,” ucap Mina.
Ketegasan sikapnya dalam menolak tambang mencerminkan semangat perjuangan perempuan Torobulu. Mereka tak peduli jika kalah jumlah. Mereka juga tak peduli jika yang dilawan adalah orang-orang berkuasa yang bisa dengan mudah mengirimnya ke penjara. Yang paling penting, jika perempuan tak melawan hari ini, bisa jadi tak ada masa depan untuk anak-anak di Torobulu.