Environment Issues

Perppu Cipta Kerja Bikin Perusakan Lingkungan Makin Menjadi

Perpu Ciptaker punya pasal-pasal problematik yang mengancam pelestarian lingkungan di Indonesia.

Avatar
  • August 22, 2024
  • 8 min read
  • 559 Views
Perppu Cipta Kerja Bikin Perusakan Lingkungan Makin Menjadi

Trend Asia merilis riset Penangguk Cuan Transisi Energi pada Juni 2024. Laporan itu mengungkapkan transisi energi baru rentan terhambat karena pemainnya adalah oligarki industri kayu dan batubara.

Sebelumnya diketahui, pemerintah Indonesia hendak mencapai target net zero emission (NZE) di 2060. Untuk mencapai target tersebut, implementasi biomassa dengan teknologi co-firing pada Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) adalah jadi salah satu strategi utama. 

 

 

Pemerintah mengeklaim itu merupakan sumber energi alternatif bahan bakar fosil yang netral karbon alias bersih. Sehingga, berpeluang menurunkan emisi gas rumah kaca. Namun faktanya, skema pemanfaatan energi baru ini membutuhkan lahan yang masif untuk membangun Hutan Tanaman Energi (HTE) sebagai pemasok bahan baku biomassa, pelet kayu. 

Dalam perhitungan Trend Asia di riset sebelumnya bertajuk Ancaman Deforestasi Tanaman Energi ditemukan, butuh konsesi seluas 7.781.626 hektar (tertinggi) THE, atau bila menanam lamtoro gung, dibutuhkan konsesi seluas 2.334.488 hektar (terendah). Tujuannya demi memasok bahan baku biomassa pelet kayu bagi 107 unit PLTU di 52 lokasi yang menerapkan co-firing

Jika dibuat perbandingannya, proyeksi terendah kebutuhan konsesi HTE sama dengan 35 kali luas daratan DKI Jakarta atau setara dengan 3.270.000 lapangan sepak bola. Kebutuhan konsesi HTE yang besar inilah yang jadi “tempat bermain” para oligark. 

Baca Juga: ‘Saya dan Keadilan’: Ubah Paradigma Lingkungan yang Berpusat pada Manusia 

Sumber Cuan Baru Oligark

Nama-nama grup besar yang memang sudah lama terjun di bisnis kayu dan batu bara diidentifikasi Trend Asia. Di antaranya APP Sinarmas Group, Sampoerna Group, Salim Group, Medco, Barito Pacific Group, Jhonlin Group, dan Wilmar. 

Jhonlin Group dan Barito Pacific Group, kata Amalya Oktaviani, Manajer Program Biomassa, Trend Asia, punya anak perusahaan yang menjadi pemasok batubara. Sementara, Wilmar Group juga terlibat dalam investasi PLTU Sumatera Utara-2. 

Ada pula orang terdekat Presiden Joko “Jokowi” Widodo dan pejabat di pemerintahan yang ikut bermain dalam bisnis menggiurkan itu. Salah satunya Andi Syamsuddin Arsyad alias Haji Isam, pemilik Jhonlin Group. Haji Isam adalah orang dekat Presiden Jokowi. la sempat menjabat Wakil Bendahara Tim Kampanye Nasional Joko Widodo-Ma’ruf Amin di Pemilu 2019. 

PT Jhonlin Baratama sendiri kini juga merambah ke bidang usaha pembuatan pelet kayu lewat anak perusahaannya yang lain, yaitu PT Jhonlin Agro Mandiri (PT JAM). Salah satu pemegang saham PT JAM merupakan Soenarko Danu Ardanto, purnawirawan Polri dengan pangkat inspektur jenderal yang menempati sejumlah posisi sebagai Kepala Kepolisian Bali dan Jawa Barat. Setelah pensiun, Soenarko masuk ke PT JAM. 

Pemegang saham lain dari JAM adalah Hanny Kuncoro Hendarso, anak pertama Bambang Hendarso Danuri, Kapolri periode 2008-2010. Keterlibatan purnawirawan Polri dalam skema bisnis energi semakin terang benderang. Ini sekaligus memperlihatkan bagaimana PT JAM melengkapi portofolio bisnis Jhonlin group. Bisnis yang diklaim oleh Trend Asia punya rapor merah, seperti menabrak aturan tata ruang dan program kementerian. 

Amalya Oktaviani mengungkapkan, bisnis oligarki ini merugikan masyarakat. Sebab, masyarakat jarang bahkan sama sekali tidak dilibatkan dalam rantai pemasok penyediaannya. Mereka juga sering kali mengalami kriminalisasi dan kekerasan dari orang-orang yang disewa oleh para oligark. Hutan pun dirusak tanpa ada pertimbangan kompensasi. Rakyat pun ikut kehilangan mata pencaharian utama yang bersifat turun menurun.

Sayang, meski “dosanya” berderet, para biang kerok ini tak dapat konsekuensi hukum atas perbuatan mereka. 

Baca Juga: Energi Terbarukan Muncul di Desa, Pemerintah Harus Dukung 

Warisan Kolonial

Ketua Umum Asosiasi Antropologi Indonesia (AAI) dan Dosen Antropologi Universitas Indonesia, Suraya Afif angkat bicara soal ini. Ia mengungkapkan, lolosnya oligark perebut tanah rakyat dari hukum, bukan hal baru. Ini adalah warisan kolonial Belanda yang terus dipelihara dan erat dengan praktik klientelisme.

Dalam pemaparannya di diskusi publik, (9/8), Suraya menjelaskan prinsip regulasi kolonial yang masih digunakan hingga kini. Salah satunya, Asas Domein Verklaring, pernyataan yang dibuat pada masa pemerintahan kolonial Belanda pada 1870. 

“Pada Pasal 1 Agrariscbe BesAzas Domeinverklaring luit 1870 dinyatakan, tanah yang tidak dapat dibuktikan sebagai milik seseorang adalah tanah negara. Ini membuat kolonial Hindia Belanda punya hak mutlak mempertahankan kekuasaannya atas tanah sehingga mereka bebas untuk mencabut, memindahkan, atau menyewakan tanah,” jelas Suraya. 

Warisan kolonial ini sayangnya berlanjut bahkan sampai Indonesia merdeka. Suraya mencontohkannya lewat Pasal 33 dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi: “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. 

Legitimasi penguasaan tanah oleh negara kemudian berlanjut lewat Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) pada 1960. Dalam Pasal 2 ayat (2) dinyatakan, kewenangan negara untuk mengelola sumber daya alam mencakup tiga hal: 1) mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut; 2) menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa, 3) menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai Bumi, air, dan ruang angkasa. 

Sama halnya dengan UUD 45, ketiga wewenang ini pada dasarnya dilakukan untuk kemakmuran rakyat. Namun realitasnya justru berbanding terbalik. Mengutip artikel Dosen Hukum Agraria FH UII, Mukmin Zakie, S.H., M.Hum., Ph.D di laman Universitas Islam Indonesia, masyarakat rentan digusur paksa. Entah karena pembangunan atau proyek-proyek mercusuar pemerintah dan swasta. Jika mereka tidak bisa memberikan bukti berupa sertifikat pendaftaran tanah, tak peduli tanah ditinggali turun temurun, mereka tetap terusir.

“Jika pun masyarakat ingin memproses sertifikat tanah mereka yang telah diatur secara lengkap dalam Peraturan Pemerintah (PP) No 24 Tahun 1997, belum tentu permohonan dikabulkan. Sering kali Kantor Pertanahan tidak mau mendaftarkannya, dan tidak berapa lama kemudian tanah-tanah tersebut telah berubah menjadi tanah Hak Guna Usaha,” jelasnya. 

Dalam kepemimpinan dua periode Jokowi, ini diperkuat lewat Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Cipta Kerja atau Perppu Ciptaker. Suraya bilang, selama ini kita memahami Perppu Ciptaker soal ketenagakerjaan saja, padahal pasal-pasalnya justru melanggengkan penguasaan negara atas tanah dan berdampak besar pada pengrusakan lingkungan.

Parahnya lagi kata Suraya, Perpu Ciptaker sengaja diteken untuk menyuburkan klientelisme ala Orde Baru. 

Baca juga: Problem Perempuan Penjaga Hutan: Akses Minim hingga Kesenjangan Upah 

Perppu Ciptaker Si Biang Kerok 

Political economy of clientelism atau klientelisme artinya praktik pemberian bantuan pribadi berupa pekerjaan, kontrak, dukungan kesejahteraan, uang, dan sebagainya sebagai imbalan atas dukungan elektoral. Di Indonesia, imbuh Suraya, praktik ini bukan cuma fokus pada pembelian suara, tapi juga mempertahankan atau meningkatkan kekayaan pribadi dan posisi sosial eksklusif oligark. Caranya tak lain lewat perkoncoan antara elit dan para pengusaha. 

Untuk memaknai konteksnya lebih jelas, Suraya memperlihatkan data penelitian Marepus Corner yang bertajuk Peta Pebisnis di Parlemen Potret Oligarki di Indonesia (2020). Dalam penelitian itu ditemukan, dari total anggota DPR periode 2019-2024 sebanyak 575 orang, 55 persennya atau 318 orang merupakan pebisnis.  

Dengan 55 persen pebisnis yang bercokol di DPR, potensi konflik kepentingan pun semakin tinggi. Kerentanan agenda kerja komisi-komisi terhadap kepentingan bisnis tertentu menjadi potensi mematikan tersendiri, terlebih aturan yang mengatur penempatan anggota di komisi sampai hari ini masih absen. 

“Dominasi pebisnis di DPR berpotensi semakin mengukuhkan konsentrasi kekuasaan oligarki dalam proses pembuatan kebijakan. Produk kebijakannya jadi condong kepada kepentingan ekonomi bisnis dan cenderung mengabaikan aspek keadilan sosial, lingkungan, serta partisipasi masyarakat. Mereka yang di dalam juga jadi lebih mudah bikin koneksi, nyogok sana sini” ucapnya. 

Perppu Ciptaker sendiri jadi karpet merahnya. Di dalam Perppu itu diberikan keleluasaan besar pada para oligark. Misalnya dalam Pasal 128A soal royalti nol persen kepada pemegang Izin Usaha Pertambangan/Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUP/IUPK) yang melakukan pengembangan atau pemanfaatan batu bara. Pasal ini, kata Trend Asia, tidak cuma berpotensi menjadi proyek yang merugikan keuangan negara, tetapi memperparah dampak krisis iklim di Indonesia. 

Ada pula Pasal 110 A yang disisipkan di antara Pasal 110 dan pasal 11 dalam UU Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan. Trend Asia melihat aturan ini justru memberi kelonggaran pada perusahaan yang menggunakan hutan secara ilegal. Dengan disahkannya Perppu No 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja, perusahaan tersebut tidak akan dikenai sanksi pidana apabila mengurus izin sebelum 2 November 2023. 

Pasal ini bisa meluaskan kesempatan bagi pengusaha mengurus keterlanjuran usaha di kawasan hutan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah 104/2015. Dengan demikian kata tim Advokasi Trend Asia Adhitiya Augusta aturan ini justru memberi kelonggaran pada perusahaan yang menggunakan hutan secara ilegal

“Keberadaan Pasal 110 A dalam UU Cipta Kerja lagi-lagi memberi karpet merah kepada pengusaha sektor energi yang berniat mengalihfungsikan hutan lindung menjadi hutan tanaman energi yang digunakan sebagai bahan ‘oplosan’ batubara dalam menciptakan energi listrik di PLTU sebagai biomassa (pelet kayu),” kata Adhitiya dalam keterangannya di kanal website Trend Asia. 

Tak berhenti sampai sini saja. Majalah Tempo dalam artikel mereka (2023) mengungkapkan, Perppu Ciptaker memperlonggar urusan perizinan lingkungan demi para pengusaha dan investor. Perpu yang mengubah sejumlah ketentuan dalam Undang-undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup ini salah satunya menyasar pada analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL). 

Berdasarkan Perppu Ciptaker, tidak ada kata “wajib” bagi perusahaan untuk menyusun AMDAL sebelum beroperasi alias cuma jadi pelengkap. Padahal, menurut Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, AMDAL menjadi prasyarat wajib untuk izin lingkungan. Sebab, AMDAL merupakan instrumen untuk mengetahui dampak aktivitas usaha atau pembangunan. 

Perppu Cipta Kerja yang pro-oligarki sukses memangkas hak masyarakat adat dalam penyusunan AMDAL. Pasalnya, Komisi Penilai AMDAL tidak diatur dalam Perppu ini. Tak kalah pentingnya, Perppu juga memuat pasal karet kriminalisasi masyarakat yang menentang tambang.

“Karena itu harus ada gerakan untuk menentang ini semua. Gerakan harus dibangun dan ini memerlukan keterlibatan seluruh pihak. Kita bisa memulainya dari di mana kita datang (lingkungan kita sendiri),” tutup Suraya. 



#waveforequality


Avatar
About Author

Jasmine Floretta V.D

Jasmine Floretta V.D. adalah pencinta kucing garis keras yang gemar membaca atau binge-watching Netflix di waktu senggangnya. Ia adalah lulusan Sastra Jepang dan Kajian Gender UI yang memiliki ketertarikan mendalam pada kajian budaya dan peran ibu atau motherhood.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *