Community Update

‘Palestine Cinema Days’: Serukan Solidaritas buat Warga Palestina lewat Film 

Penayangan film di Palestine Cinema Days Around The World jadi sarana untuk menyerukan perdamaian buat warga Palestina yang terjajah.

Avatar
  • November 11, 2024
  • 4 min read
  • 44 Views
‘Palestine Cinema Days’: Serukan Solidaritas buat Warga Palestina lewat Film 

Sudah genap setahun warga Palestina mengalami genosida Israel. Puluhan ribu orang meninggal dunia. Yang tersisa, dipaksa meninggalkan rumah dan tempat yang selama ini mereka tinggali. Enggak heran jika kemudian perhatian global tertuju pada kekerasan dan genosida tersebut. Mereka ramai-ramai bersolidaritas dan menuntut agar genosida ini diakhiri. 

Salah satunya pada (2/11), Filmlab Palestine–organisasi sinema Palestina berbasis di Ramallah, meluncurkan edisi kedua dari inisiatif Palestine Cinema Days Around The World. Ini mencakup 253 pemutaran 8 film Palestina, di 44 negara dan lebih dari 150 kota. 

 

 

Kegiatan itu didukung organisasi sinema non-profit yang berbasis di Beirut, Lebanon Aflamuna. Mereka bekerja untuk mengangkat permasalahan sosio-politik global yang mendesak lewat film-film Arab. 

Baca juga: Jakarta Film Week 2024 Resmi Dibuka “Sampai Jumpa, Selamat Tinggal”

Pemutaran film di Indonesia, salah satunya diselenggarakan oleh ProyekDekolonial, kolektif di Indonesia yang berfokus pada isu dan praksis dekolonisasi, secara kolaboratif bersama In-Docs, organisasi nirlaba yang berfokus pada promosi budaya keterbukaan melalui film dokumenter. Selain itu, inisiatif kolektif ini juga melibatkan jejaring lain, seperti Sinema Masa Baru, Kolektif Semai, Against Dehumanization, RuangRiung Baceprot, Polimedia Film Festival, dan Geology Made Punk. 

Pemutaran film di Keris Kafe, Depok, Jawa Barat, Indonesia menyajikan serangkaian film dan refleksi kolektif. Ada juga pembuatan zine kolaboratif yang mengeksplorasi tema memori, identitas, dan perlawanan dalam narasi Palestina. Tiga film yang ditampilkan—Little Palestine, Diary of a Siege, Aida Returns, dan Maaloul Celebrates its Destruction—tidak hanya berfungsi sebagai upaya seni tetapi juga sebagai kesaksian penting terhadap pengalaman Palestina.  

“Film-film ini sangat penting. Mereka mencerminkan rasa sakit dan kekuatan kami, perjuangan dan tekad kami (orang-orang Palestina) untuk tetap ada,” ujar Rahaf Saqr, seorang diaspora Palestina dan mahasiswa di Institute of Oriental and Asian Studies, University of Bonn, dalam rilis resmi yang diterima oleh Magdalene.  

Little Palestine dan Diary of a Siege, karya Abdallah Al Khatib, menggambarkan situasi sulit atas pengepungan kamp pengungsi Yarmouk di luar Damaskus selama Perang Suriah, sementara Aida Returns karya Carol Mansour, merupakan cerita personal sutradara Lebanon-Kanada-Palestina yang berupaya membawa abu ibunya kembali ke tempat kelahirannya di Yafa (Jaffa) yang kini berada di Israel. Sementara, Maaloul Celebrates its Destruction, dokumenter oleh Michel Khleifi, menceritakan jejak-jejak penduduk desa Palestina yang hancur dalam perang Arab-Israel pada 1948. 

Film-film yang ditayangkan pun memberikan gambaran multifaset tentang kehidupan Palestina di bawah pengepungan, menantang narasi dominan yang dipertahankan oleh media internasional. Penonton dihadapkan pada realitas mencolok yang tergambar di layar, memicu perdebatan tentang tanggung jawab pembuat film untuk mewakili orang-orang mereka dengan otentik. 

Baca juga: ‘When Olive Trees Weep’: Tentang Luka, Duka, dan Pencarian Keadilan Tanpa Ujung Palestina

‘Sumud’ 

Dalam diskursus seputar identitas Palestina setelah penayangan film, istilah Sumud muncul sebagai tema sentral. Sering diterjemahkan sebagai “keteguhan,” Rahaf bersikeras menggunakan ‘Sumud’ dalam bentuk aslinya, karena esensinya melampaui batasan linguistik.  

“Ketika orang-orang bertanya kepada saya tentang Sumud, saya merasa bahwa itu melampaui imajinasi atau pemahaman siapa pun. Ya, penerjemah mungkin menggunakan kata ‘keteguhan,’ tetapi apa arti sebenarnya dari ‘sumud’? Makna ini melampaui kata-kata,” ungkap Rahaf.  

Ia merefleksikan hubungan pribadinya dengan ‘sumud’, mengekspresikan bagaimana hal itu mewakili beban perlawanan dan komitmen untuk melestarikan identitas Palestina, baik di rumah maupun di diaspora. Sumud mewakili hubungan mendalam antara orang Palestina dan tanah mereka—koneksi yang berlangsung dua arah, di mana mereka berinteraksi dengan tanah, dan tanah, pada gilirannya, berinteraksi dengan mereka.  

Namun, ‘sumud’ tidak hanya untuk mereka yang secara fisik berada di tanah, itu juga mencakup semua orang Palestina, termasuk mereka yang diaspora. Meskipun hanya orang Palestina di tanah mereka yang mewujudkan ‘sumud‘ sepenuhnya dan dalam segala bentuknya. 

Rahaf pun menyoroti perjuangan yang digambarkan dalam film dokumenter Little Palestine, Diary of a Siege tentang kamp Yarmouk, menegaskan pengalaman Palestina tidak mengenal batas. Realitasnya adalah menjadi orang Palestina itu menantang di mana pun, dan menyerah pada tanah mereka tidak pernah menjadi pilihan. Jika mereka tidak melawan untuk tanah kami, masyarakat Palestina mungkin tidak akan pernah sepenuhnya hidup di tempat lain. 

Saat diskusi berlangsung, penonton juga menyampaikan frustrasi kolektif atas kurangnya tindakan dan kesadaran yang substansial terkait perjuangan Palestina. Beberapa dari mereka mengungkap berbagai emosi kesedihan, kemarahan, putus asa, ataupun kebingungan, atas praktik genosida Israel di Palestina. 

Rahaf mengungkapkan pentingnya mendokumentasikan pengalaman Palestina melalui film. Ia bilang, alasan utama untuk mendokumentasikan cerita-cerita ini—oleh orang Palestina atau lainnya—adalah untuk mencegah penghapusan identitas Palestina, memastikan bahwa dunia mengakui realitas mereka. Dan juga berfungsi untuk membuat dunia bertanggung jawab atas situasi yang dialami oleh orang Palestina. 

Pada akhirnya lewat pemutaran film dan diskusi film membuat acara Palestine Cinema Days tak hanya menyoroti sifat penting sinema sebagai sarana perlawanan budaya, namun juga mengajukan pertanyaan tajam tentang apa yang akan terjadi selanjutnya bagi penonton yang tergerak oleh narasi ini. 



#waveforequality


Avatar
About Author

Magdalene

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *