Donor ASI Kian Dibutuhkan, Bank ASI dan Regulasi Baik Perlu Dibangun
Donor ASI punya banyak manfaar, tapi perlu regulasi baik agar risikonya juga tidak membahayakan ibu dan anak.
Donor air susu ibu (ASI) merupakan salah satu alternatif yang baik untuk bayi dengan ibu yang tidak bisa menyusui. Kondisi ini dialami oleh beberapa ibu karena beragam faktor, seperti memiliki masalah kesehatan, pasokan ASI tidak mencukupi, maupun alasan pribadi. Kendati demikian, ASI tidak boleh didonorkan sembarangan.
Dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 mengenai aturan pemberian air susu ibu, ASI hanya boleh didonorkan jika ibu donor berada dalam kondisi sehat. Selain itu, ASI yang didonorkan wajib melalui berbagai penapisan, mulai dari pemeriksaan medis dan uji mikrobiologis hingga pasteurisasi.
Kenyataannya, praktik berbagi ASI tanpa prosedur standar justru lebih populer di komunitas para ibu, termasuk di Indonesia. Donor ASI kian marak karena selain bermanfaat untuk bayi, praktik ini membantu ibu penerima dan pemberi donor.
ASI mengandung semua nutrisi yang diperlukan untuk pertumbuhan dan perkembangan bayi, seperti protein, lemak, karbohidrat, vitamin, mineral lengkap, serta antibodi alami yang membantu memperkuat sistem kekebalan tubuh bayi. Bagi ibu yang tidak dapat menyusui, menerima donor ASI dapat meringankan stres sekaligus menghemat biaya pembelian susu formula.
Sementara, ibu pemberi donor ASI menerima manfaat berupa peningkatan produksi air susu. Hal ini dikarenakan adanya mekanisme supply-demand ASI yang unik, yaitu peningkatan produksi air susu ketika ASI makin banyak diperah. Mendonorkan ASI juga memberikan efek psikologis positif bagi ibu donor.
Selain itu, praktik donor ASI bisa meningkatkan solidaritas para ibu dan menormalisasi pemberian ASI. Namun, terlepas dari sederet manfaatnya, pemberian donor ASI yang tidak sesuai standar justru dapat menimbulkan risiko yang perlu diwaspadai.
Baca juga: Kematian Ibu dan Bayi di Papua Tertinggi se-Indonesia: Bagaimana Cara Mengatasinya?
Risiko Donor ASI Tidak Sesuai Standar
Ada beberapa risiko yang dapat timbul jika ASI donor diberikan tanpa mematuhi standar, berikut penjelasannya:
1. ASI rusak dan terkontaminasi
Kualitas gizi ASI donor bisa berkurang ketika disimpan dengan cara yang tidak tepat. ASI donor juga berisiko terkontaminasi virus, bakteri, dan zat beracun. Contohnya, jika pendonor adalah seorang perokok, ASI yang dia donorkan dapat terkontaminasi zat kimia berbahaya dalam rokok.
Meski relatif jarang dilaporkan, risiko penularan penyakit melalui ASI, seperti infeksi HIV, human T-cell lymphotropic virus (HTLV), dan cytomegalovirus (CMV) juga bisa terjadi.
2. Ketidakcocokan nutrisi
Nutrisi dalam ASI donor berisiko tidak cocok dengan usia bayi penerimanya. Sebab, ASI merupakan zat makanan unik yang komposisinya mengikuti usia bayi. Bayi baru lahir, termasuk bayi prematur, mungkin tidak cocok menerima donor ASI dari ibu yang bayinya sudah berusia lebih dari enam bulan.
3. Risiko sosial
Pemberian donor ASI juga berisiko menimbulkan milk kinship atau hubungan saudara sepersusuan yang tidak diketahui dan tidak dikehendaki.
Milk kinship bersifat kultural dan lekat dengan ajaran Islam. Ini merupakan kondisi ketika saudara sepersusuan tidak boleh menikah saat dewasa, meskipun mereka berbeda orang tua.
Baca juga: Cek Fakta: Program Makan Siang dan Susu Gratis Ada di 76 Negara, Betulkah?
Butuh Peran Pemerintah
Praktik donor ASI saat ini umumnya diinisiasi oleh para ibu yang terdorong oleh rasa solidaritas untuk saling membantu karena menyadari pentingnya ASI untuk bayi. Kultur ini sangat berguna untuk mendorong kebiasaan donor ASI.
Meski begitu, praktik donor ASI perlu didukung oleh regulasi yang lebih ketat serta fasilitas pendukung yang memadai dari pemerintah maupun pemangku kebijakan terkait. Tujuannya adalah agar ASI yang didonorkan memiliki standar keamanan dan kesehatan yang sama. Berikut sejumlah rekomendasi yang perlu dipertimbangkan pemerintah:
1. Regulasi lebih ketat
Aturan mengenai syarat ibu pemberi donor sudah tercantum dalam PP Nomor 28 Tahun 2024, tetapi regulasinya masih perlu diperketat dengan menambahkan penjelasan mengenai kewajiban susu yang didonorkan harus melewati skrining medis, uji mikrobiologis, dan pasteurisasi.
Ke depannya, perlu disertakan pula aturan mengenai pengambilan ASI donor wajib dari bank ASI resmi yang sudah menerapkan standar kesehatan. Untuk itu, pemerintah harus segera membangun bank ASI di sejumlah fasilitas layanan kesehatan Indonesia.
2. Pembangunan bank ASI
Sejumlah negara seperti di Amerika Utara dan Eropa sudah memiliki bank ASI. Fasilitas ini diperlukan agar air susu yang didonorkan memiliki standar.
Di bank ASI, air susu pilihan dijamin keamanan dan kualitasnya karena sudah melewati proses seleksi yang dimulai dari pemeriksaan kesehatan ibu pemberi donor. Selanjutnya, kualitas ASI dan keberadaan mikroorganisme di dalamnya diperiksa melalui skrining medis dan mikrobiologis. ASI kemudian harus melalui pasteurisasi, yaitu proses pemanasan air susu untuk membunuh kuman berbahaya tanpa menghilangkan nutrisi penting di dalamnya.
Agar kualitas gizi air susu ibu tetap terjaga, ASI donor perlu disimpan dengan cara yang tepat di bank ASI. Selain itu, ASI yang didonorkan bisa disesuaikan dengan usia bayi yang membutuhkan.
3. Edukasi masyarakat
Pemerintah perlu lebih gencar mengedukasi masyarakat mengenai potensi, risiko, prosedur keamanan, dan langkah-langkah pencegahan dalam penggunaan ASI donor. Hal ini akan meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai pentingnya memilih ASI donor dari bank ASI resmi yang menerapkan prosedur kesehatan ketat.
Tenaga kesehatan juga perlu dibekali pengetahuan dan keterampilan memadai agar dapat menyampaikan informasi yang tepat dan transparan kepada keluarga yang membutuhkan donor ASI, termasuk mengenai indikasi medis pemberi donor dan pengelolaan ASI. Ini akan mencegah timbulnya kekhawatiran masyarakat sehingga akan ada lebih banyak ibu yang mau menjadi pemberi donor maupun menerima donor ASI.
4. Libatkan tokoh agama
Salah satu kunci kesuksesan advokasi donor ASI adalah dengan melibatkan cendekiawan Islam dan pemimpin agama dalam mendidik masyarakat mengenai pentingnya berbagi ASI yang sehat dan sesuai standar.
Sebagai negara berpenduduk muslim terbesar di dunia, Indonesia bisa belajar dari Iran dan Malaysia yang berhasil menyediakan ASI donor dengan memperhatikan panduan Islam.
Donor ASI sangat bermanfaat untuk ibu yang tidak dapat menyusui karena beragam kondisi. Aktivitas ini juga membantu produksi air susu ibu pemberi donor dan menguatkan solidaritas para ibu.
Karena itu, agar manfaat yang diperoleh lebih banyak daripada risiko yang ditimbulkan, pemerintah perlu memperketat regulasi, membangun layanan bank ASI, dan melibatkan tokoh agama guna mendukung praktik donor ASI yang aman dan berkelanjutan di Indonesia.
Lhuri D. Rahmartani, Associate lecturer, Universitas Indonesia dan Wiyarni Pambudi, Praktisi Kesehatan Anak & Dosen, Universitas Tarumanegara
Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.
Ilustrasi oleh: Karina Tungari