Apa itu Parisida: Ketika Anak Membunuh Orang Tuanya
Perilaku pembunuhan orang tua dan nenek di Lebak Bulus termasuk parisida. Perbuatan ini dilatarbelakangi oleh kondisi sosial dan kepribadian individu.
Peringatan pemicu: Gambaran kasus kekerasan yang rentan memicu trauma
Akhir November lalu, MAS—anak berusia 14 tahun di Lebak Bulus, Jakarta Selatan—melakukan perilaku pembunuhan terhadap tiga anggota keluarganya: Ayah, ibu, dan nenek. Kejadian itu berujung pada kematian ayah dan nenek MAS, sedangkan ibunya luka parah dan dirawat di rumah sakit.
Setelah peristiwa tersebut, muncul dugaan perbuatan MAS dilatarbelakangi oleh tuntutan akademis dari orang tua. Sebab, performa belajarnya menurun. Namun, Kasie Humas Polres Jakarta Selatan AKP Nurma Dewi mengatakan, MAS tidak tertekan saat orang tua memintanya belajar.
“Dia merasa itu hal biasa,” ujar Nurma dikutip dari Tempo.
Saat ini, MAS ditetapkan sebagai anak berkonflik dengan hukum (ABH)—sebutan bagi anak yang telah berusia 12 tahun tapi belum berusia 18 tahun, dan diduga melakukan tindak pidana). Atas perbuatannya, MAS dikenakan pasal berlapis, yakni Pasal 338 KUHP Subsider Pasal 351 Ayat 3 KUHP tentang tindak pidana penghilangan nyawa orang, berbunyi: “Jika mengakibatkan mati, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.”
Ditambah Pasal 44 Ayat 2 dan 3 Undang-Undang Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), yaitu: “Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan korban mendapat jatuh sakit atau luka berat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau denda paling banyak Rp30.000.000” serta “Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengakibatkan matinya korban, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun atau denda paling banyak Rp45.000.000.
Kejadian di atas termasuk parisida—atau pembunuhan yang dilakukan anak terhadap orang tua. Kasus MAS sendiri bukan satu-satunya parisida yang terjadi tahun ini.
Juni lalu, KS, remaja perempuan berusia 17 tahun di Depok, Jawa Barat melakukan perilaku pembunuhan terhadap ayahnya. Berdasarkan keterangan yang disampaikan pada polisi, KS mengaku sakit hati lantaran dipukul, disebut anak haram, serta dituduh mencuri kartu ATM dan buku tabungan ayahnya.
Pertanyaannya, apa yang melatarbelakangi anak melakukan parisida?
Baca Juga: Tak Semua Orang Tua Mulia: Relasi Anak-Anak dengan Orang Tua Toksik
Mengenal Parisida
Psikolog Forensik Reni Kusumowardhani menjelaskan, ada faktor internal, eksternal, dan gabungan keduanya, yang mendorong anak melakukan parisida. Secara internal, anak dipengaruhi oleh kondisi psikologis dan emosionalnya. Misalnya merasa kecewa, sakit hati, tidak dihargai, marah, dan dendam. Kemudian juga dipengaruhi oleh ketidakmampuan menghadapi stres, konflik, dan mengalami gangguan mental.
Sementara faktor eksternal berkaitan dengan masalah sosial, ekonomi, dan hubungan interpersonal—termasuk di keluarga. Contohnya saat anak tumbuh di lingkungan yang penuh kekerasan, kebutuhannya tidak terpenuhi, dan hidupnya dikontrol oleh orang tua. Kondisi tersebut membuat anak merasa tertekan, sehingga bingung dalam bersikap dan menimbulkan kebencian terhadap orang tua.
“Anak bisa juga dipengaruhi kondisi sosial dan kepribadian individu (faktor eksternal dan internal),” ungkap Reni.
“Dalam beberapa kasus, anak-anak menganggap parisida sebagai satu-satunya cara mengakhiri penderitaan.”
Motif itu berkaitan dengan usia anak—yang juga faktor penting dalam parisida. Dalam Understanding Parricide: When Sons and Daughters Kill Parents (2013), profesor kriminologi di University of South Florida, AS—Kathleen M. Heide—menyebutkan, umumnya anak melakukan perilaku pembunuhan karena ingin menghentikan kekerasan di keluarga. Sebab, anak tak punya pilihan untuk meninggalkan rumah atau memutus hubungan dengan orang tua.
Seperti saudara kandung di AS, Debora dan Richie Jahnke. Mereka menembak ayahnya lantaran melakukan pelecehan fisik, verbal, dan seksual selama bertahun-tahun.
Reni menambahkan, pada usia remaja, seseorang belum dapat mengendalikan diri maupun pemahaman penuh terkait konsekuensi dari tindakannya. Ini dikarenakan mereka sedang dalam tahap perkembangan emosional dan kognitif yang kompleks. Contohnya berusaha memahami emosi, sedang mencari identitas, serta menghadapi perubahan fisik, hormonal, fisik, dan psikologis.
Sementara parisida yang dilakukan oleh orang dewasa, cenderung dilakukan karena beberapa hal: Mengalami gangguan mental berat, seperti depresi berat dan psikosis, atau orang dengan gangguan antisosial—yang menganggap orang tua menghalangi mereka untuk mendapatkan aset.
Selain menjelaskan motif, usia berkaitan dengan besarnya risiko perilaku pembunuhan terhadap masyarakat dan yang akan dilakukan dalam proses pengadilan. Anak berkonflik dengan hukum seperti MAS, misalnya. Ia ditempatkan di Lembaga Penempatan Anak Sementara (LPAS) dan menjalani proses hukum, sambil tetap menjalani ujian sekolah sebagai bentuk pemenuhan hak pendidikan.
Lalu, apa dampak perilaku pembunuhan pada tumbuh kembang anak?
Baca Juga: Agar Tak Ada Lagi KDRT dan Pembunuhan Anak Jagakarsa
Dampak Parisida pada Anak
Secara psikologis, anak yang melakukan parisida kemungkinan mengalami gangguan kepribadian—seperti antisosial, narsisistik, atau borderline personality disorder. Ini disebabkan oleh ketidakmampuan mengelola emosi, sedangkan peristiwa parisida mengubah kognisi dan emosi anak dengan mengalami rasa takut, perasaan bersalah, dan trauma mendalam.
Sementara dari segi hubungan sosial, masyarakat cenderung memberikan pandangan sosial yang negatif, membuat anak rentan didiskriminasi dan dicap dengan stigma tertentu. Akibatnya, anak merasa rendah diri dan sulit diterima kembali di lingkungan sosial.
“Kemungkinannya, anak akan terisolasi dan sulit membangun hubungan sosial yang sehat. Soalnya orang-orang di sekelilingnya menganggap ia berbahaya dan enggak bisa dipercaya,” terang Reni.
Bahkan dalam jangka panjang, kualitas hidup anak bisa terganggu karena terbebani oleh perasaannya sendiri, maupun dampak sosial yang diterima.
Baca Juga: Keputusan di Tangan Orang Tua, Hidup Anak Milik Siapa?
Pentingnya Pola Asuh Anak
Secara keseluruhan, pola asuh anak yang penuh kasih sayang dan mampu memberikan rasa aman, merupakan fondasi bagi tumbuh kembang anak. Kedua hal ini menyalurkan dukungan emosional, yang membuat anak merasa diterima, dihargai, tanpa rasa takut atau penolakan.
Misalnya memberikan pujian atas prestasi dan perilaku positif anak, sebagai bentuk pengakuan atas kerja kerasnya. Atau pelukan dan sentuhan, sehingga anak merasa dicintai. Menurut Reni, cara-cara ini membuat anak lebih percaya diri, memiliki emosi yang lebih sehat, dan membangun kepercayaan pada orang tua.
Selain itu, orang tua juga perlu membangun komunikasi terbuka, menunjukkan empati, dan menghindari Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Harapannya, anak akan mempraktikannya pada keluarga maupun lingkungan sosial. Menurut Reni, secara tidak langsung, ini mengajarkan pengelolaan emosi dan keterampilan sosial anak. Jika anak terampil mengelola emosi, ia akan terampil mencari pemacahan masalah yang konstruktif.
Terakhir, Reni menggarisbawahi dalam pengasuhan, orang tua perlu mengenali dan mengidentifikasi perilaku dan kondisi emosional anak—untuk melihat apakah anak punya permasalahan sejak dini.
“Kalau anak menunjukkan tanda-tanda perilaku agresif dan sulit mengelola emosi, sebaiknya orang tua mencari bantuan profesional untuk mengantisipasi jika anak punya permasalahan,” tutupnya.