Bolak-balik Wacana Basi Hapus Pemilu Langsung, Haruskah Kita Waspada Sekarang?
Dengan dalih terlalu mahal, Prabowo mewacanakan penghapusan Pemilu langsung. Apakah ini solusi tepat?
Dalam sambutannya di HUT Ke-60 Partai Golkar, (12/12), Presiden Prabowo Subianto mengusulkan agar Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) diselenggarakan lewat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Prabowo menilai pilihan ini masuk akal karena ongkos Pemilu bikin boncos anggaran negara maupun kandidat.
Anggaran sebesar itu, kata dia, baiknya digunakan untuk kebutuhan rakyat. Untuk mendukung pernyataan itu, Prabowo mencontohkan negara tetangga, seperti Malaysia dan Singapura yang secara efisien memilih kepala daerah lewat pemilihan tertutup.
“Berapa puluh triliun habis dalam satu-dua hari, baik anggaran dari negara maupun dari masing-masing tokoh politik. Kalau dilakukan oleh DPRD, negara bisa hemat dan efisien seperti di Malaysia dan Singapura,” kata dia dikutip dari Tempo.
Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian sependapat dengan Prabowo. Buatnya penjukkan lewat DPRD tidak serta merta mematikan demokrasi. “Kalau DPRD demokrasi juga, tapi demokrasi perwakilan,” kata Tito di Istana Negara, Jakarta, (16/12) dikutip dari KompasTV.
Usulan terkait peniadaan Pilkada langsung nyatanya bukan muncul kali ini saja. Ia telah bergulir sejak lama bahkan terhitung baru sembilan tahun sejak Pilkada langsung digelar pada 2005. Pada 2014, DPR sempat mengetuk aturan Pilkada kembali dipilih lewat DPRD pada 2014. Dalam Rapat Paripurna yang dipimpin oleh Wakil Ketua DPR-RI Priyo Budi Santoso, opsi Pilkada tertutup dimenangkan dengan dukungan 226 suara.
Namun, keputusan ini urung dilaksanakan. Susilo Bambang Yudhoyono yang kala itu menjabat sebagai Presiden menerbitkan dua Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang atau Perppu terkait Pilkada. Perppu ini membatalkan sekaligus mencabut Undang Undang Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota yang mengatur bahwa kepala daerah dipilih oleh DPRD tersebut.
Pertanyaannya apakah memang meniadakan Pilkada merupakan pilihan tepat? Apa risiko terburuknya?
Baca Juga: Anjuran Suswono Janda Kaya Nikahi Pengangguran: Sudah Seksis, Objektifikasi Pula
Pilkada Tidak Langsung Cuma Akan Perkuat Elite Politik
Sejumlah pakar sudah mengatakan Pilkada tidak langsung bukan jawaban dari persoalan anggaran yang kerap kali digaungkan pemerintah. Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Khoirunnisa Nur Agustyati adalah salah satunya. Kepada Magdalene pada (17/12), ia mengungkapkan, kita harus kembali memaknai frasa “dipilih secara demokratis” dalam amandemen Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 terkait Pilkada.
Bagi pemerintah, frasa ini bisa dimaknai dua hal, yakni langsung oleh rakyat atau tidak langsung melalui DPRD. Pemaknaan ini didukung oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 072-073/PUU-II/2004 di mana Pilkada merupakan open legal policy yang membebankan pada pembentuk UU untuk memilih antara sistem demokrasi langsung, yakni pemilihan langsung oleh rakyat, atau sistem demokrasi tidak langsung, yakni diwakili oleh lembaga representatif.
Namun dalam perdebatan para ahli dan politik, kata Khoirunnisa, frasa dalam Pasal 18 Ayat (4) tak cukup menggunakan interpretasi gramatikal. Sebaliknya dibutuhkan penafsiran historis mengingat perubahan amandemen konstitusi kita merupakan sebuah proses yang panjang.
Dimulai pada 1999 hingga 2002, amandemen UUD 45 yang merupakan tuntutan reformasi menekankan semangat demokrasi. Pemilu misalnya, tidak lagi hanya hanya untuk memilih anggota legislatif, tetapi juga presiden dan wakil presiden. Pemilihannya pun dilakukan secara langsung. Karena itu, untuk memaknai Pasal 18 juga tidak bisa setengah-setengah.
“Tidak bisa dilihatnya di Pasal 18 saja, tapi bagaimana dulu semangatnya penggagas amandemen konstitusi itu. Ini ada tarikannya, pasal itu tidak berdiri sendiri. Jadi ketika kita berbicara soal Pilkada harus ditarik ke semangat pemilihan langsung itu,” jelas Khoirunnisa.
Ia menambahkan, Pemilu langsung memang tidak sempurna, namun dengan menekankan partisipasi masyarakat, kita bisa menjaga sistem checks and balances antara DPRD dan pemerintah daerah. Masyarakat sendiri pun masih punya kesempatan untuk menyuarakan suaranya untuk melawan kepentingan-kepentingan elite politik.
Dalam Pilkada belakangan, kita tahu terdapat 37 daerah dengan calon tunggal. Dua di antaranya dimenangkan oleh kotak kosong, yaitu pemilihan Wali Kota-Wakil Wali Kota Pangkalpinang dan Bupati-Wakil Bupati Kabupaten Bangka.
Kemenangan kotak kosong disebut sebagai kemenangan rakyat. Ini menunjukkan kalau rakyat telah berhasil memberikan daya penghukuman pada para elite politik atau partai politik yang ingin menentukan nasib rakyat lewat kepentingannya masing-masing.
Sebaliknya jika menggunakan sistem tidak langsung, masyarakat akan kehilangan kedaulatannya untuk memilih pemimpin daerahnya sendiri. Jajaran pemerintahan akan dipenuhi oleh para elit. Khoirunnisa lalu mengingatkan soal koalisi gemuk pilkada baru-baru ini lewat terbentuknya Koalisi Indonesia Maju (KIM), sekumpulan partai-partai yang mendukung pencalonan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka pada perhelatan Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 lalu.
Setelah pasangan tersebut resmi ditetapkan sebagai pemenang, beberapa partai di luar KIM turut bergabung hingga berubah istilah menjadi KIM Plus. Pengamat politik Agung Baskoro sempat mengungkapkan koalisi gemuk ini bisa jadi alarm bagi demokrasi Indonesia karena tidak adanya oposisi yang duduk di luar pemerintahan.
“Di pilkada itu ada KIM dan KIM Plus yang berbasis kepentingan aja, kalau nanti pilkada lewat DPRD masyarakat jadi tidak punya daya lagi, (pemerintahan) bakal elitis sekali,” kata Khoirunnisa mengingatkan.
Baca Juga: Mundurnya Jacinda Ardern dan Tantangan Perempuan Pemimpin
Perempuan yang Bakal Makin Terpinggirkan
Pilkada yang diselenggarakan tak langsung bukan cuma berpotensi membajak demokrasi negara. Mekanisme ini juga bakal lebih banyak merugikan perempuan. Hal ini sempat disampaikan oleh Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) pada 2014 lalu saat wacana pilkada tak langsung sempat mencuat. Dian Kartika Sari, Sekretaris Jenderal KPI kala itu bilang saat pilkada diselenggarakan tak langsung perempuan jadi tidak dapat memilih langsung calon kepala daerah yang dianggap mereka dapat memperjuangkan kepentingan perempuan.
Perempuan katanya dikutip dari Kompas.com bakal kehilangan ruang publik untuk mendialogkan masalah dan harapannya. Akibatnya perempuan kehilangan membangun kontrak politik atau kontrak sosial dengan calon kepala daerah yang akan menentukan arah pembangunan daerah tersebut.
Khoirunnisa punya kekhawatiran sama. Dalam pilkada langsung, calon kepala daerah bisa melakukan kampanye di mana mereka bisa bertemu langsung dengan masyarakat. Kebutuhan serta aspirasi masyarakat bisa ditampung para calon kepala daerah untuk mereka formulasikan dalam visi misi program.
Pilkada tak langsung menghapus pilihan ini. Calon kepala daerah cuma butuh meyakinkan beberapa anggota DPRD. Tentunya ini bakal berdampak pada kebijakan yang tidak memihak pada masyarakat dan kelompok rentan termasuk perempuan.
Khoirunnisa juga mengingatkan dampak pilkada lewat DPRD juga akan semakin terasa bagi perempuan mengingatkan bahwa dinamika politik di Indonesia masih sangat maskulin. Ia didominasi oleh kepala atau calon kepada daerah laki-laki dan kental dengan politik dinasti. Menurut data KPU, komposisi perempuan sebagai calon kepala daerah atau wakil kepala daerah pada Pilkada 2024 hanya sebanyak 306 orang atau 10 persen dari seluruh calon. Peserta pilkada laki-laki masih mendominasi sebanyak 2.730 orang (90 persen).
Selain itu Politics and Government (PolGov) Fisipol UGM bersama Election Corner Fisipol UGM dan Institute for Advanced Research (IFAR) menemukan ada 605 kandidat yang berasal dari politik dinasti di Pilkada 2024. Dari total ini sebanyak 164 orang merupakan kandidat perempuan. Sebanyak 98 kandidat perempuan mencalonkan diri sebagai kepala daerah dan 66 kandidat perempuan sebagai wakil kepala daerah.
“Tentunya ini bisa berdampak pada keterwakilan perempuan. Politik dinasti yang dalam pemilihan langsung saja sudah tinggi akan semakin meningkat. Perempuan kan susah ya masuk ke kompetisi (politik), bisa dicalonkan aja susah apalagi kalau DPRD yang milih. Bisa dibilang bakal elitis sekali,” begitu respons Khoirunnisa.
Baca juga: Rancangan Perda Anti-LGBT: Lagu Lama di Musim Pemilu
Solusi yang Tidak Tunggal
Dengan dampak yang jelas akan berdampak besar pada perempuan, tentunya pilkada sudah sepatutnya dilaksanakan langsung sesuai dengan semangat amandemen UUD 45. Masalahnya pemerintah selalu berdalih ongkos pilkada sangat mahal. Menanggapi hal ini, Khoirunnisa pun balik bertanya kepada pemerintah, di mana sebenarnya titik mahal ongkos sebuah pesta demokrasi? Ia menyangsikan ongkos pilkada yang mahal justru bersifat struktural.
Soal mahar politik misalnya, kandidat diharuskan mendapatkan dukungan dari partai politik yang secara kolektif mendapatkan antara 6,5 dan 10 persen kursi di pemilu parlemen terakhir. Aturan ini dibuat untuk mendorong partai-partai agar memilih kandidat berdasarkan prestasi dan popularitas.
Tapi pada kenyataannya cabang-cabang partai lokal sering menjual dukungannya ke penawar tertinggi. Ward Berenschot Peneliti Senior KITLV Leiden dan Guru Besar Ilmu Politik Universitas Amsterdam kolomnya bahkan menyatakan tidak jarang harga dukungan partai mencapai Rp 1 miliar per kursi parlemen.
“Kalau untuk mencalonkan mahal, kenapa harus sistem pemilunya diganti? Kenapa parpol kalau mau mengusung orang di pilkada harus meminta uang? Berati enggak ada meritokrasi di sistem ini,” tegas Khoirunnisa.
Selain mahar politik, ada pula politik uang atau jual beli suara. Para pemilih mulai mengharapkan insentif finansial dari kandidat, sehingga praktik ini sudah sulit sekali dihindari dan bagi kandidat yang tidak melakukannya hampir pasti akan berujung pada kekalahan. UU Pilkada kata Khoirunnisa sudah jelas memberi penegasan bahwa praktik ini bisa dipidanakan baik bagi pemberi dan penerima. Namun permasalahannya perlindungan pelaporannya tidak ada dan sanksi tegas kepada pemberi juga tak diberlakukan.
Tak kalah pentingnya lagi, mahalnya ongkos pilkada juga dikatakan Khoirunnisa terjadi karena banyak agenda seremonial yang menurutnya tidak terlalu penting dilakukan.
“KPU sering itu melakukan rapat koordinasi Kabupaten Kota ke Jakarta. Sedangkan dari Kabupaten Kota kan tidak mungkin perwakilannya cuma satu, dua orang saja. Lima orang lah minila, itu belum sekretarisnya,” jelasnya.
Dengan permasalahan yang cukup kompleks ini, satu solusi saja tidak cukup untuk membenahinya. Harus ada beberapa hal yang dilakukan bertahap agar pesta demokrasi tak cuma jadi ajang perebutan kuasa elitis yang berongkos fantastis. Pertama, menjadwalkan pilkada tidak dalam tahun yang sama dengan pemilu nasional seperti tahun ini, sehingga tidak ada pembengkakan anggaran. Perampingan anggaran lalu bisa dilakukan dengan mengurangi agenda seremonial.
Berikutnya calon perseorangan dipermudah. Menurut Khoirunnisa syarat kandidat untuk maju ke pilkada termasuk berat sekali, yakni mengumpulkan tanda dukungan masyarakat lewat KTP. Situasi ini berbeda dengan dengan calon yang maju lewat jalur partai yang bisa dengan mudah mendulang dukungan.
Selanjutnya, penegakan hukum harus dilakukan serius sehingga politik uang tidak lagi jadi praktik umum dilakukan semasa pilkada. Harus ada setidaknya sanksi administratif diskualifikasi calon yang terlibat dalam praktik ini dan perlindungan bagi pelapor juga harus dipertimbangkan.
Terakhir yang tak kalah pentingnya adalah dengan mengubah syarat pencalonannya dari internal partai politik. Partai politik sebagai organisasi yang bertanggung jawab dan punya kewenangan mengelola proses pencalonan justru melakukan pendekatan transaksional dalam pilkada. Mahar poltik jadi sangat tinggi karena parpol mengandalkan kekuatan uang dan relasi kekuasaan.