Election 2024 Issues Politics & Society

Rancangan Perda Anti-LGBT: Lagu Lama di Musim Pemilu

Serupa tren di tiap Pemilu, wacana Perda anti - LGBT ini justru memperburuk kualitas hidup mereka. Saatnya pemerintah berubah

Avatar
  • March 1, 2023
  • 11 min read
  • 768 Views
Rancangan Perda Anti-LGBT: Lagu Lama di Musim Pemilu

Kita mungkin masih ingat, di Mei 2018, sepasang gay di Aceh dicambuk 85 kali. Dua bulan berselang, dua gay lain menerima hukuman cambuk di depan umum. Alasannya serupa: Aceh punya aturan daerah yang secara spesifik menyasar kelompok LGBT.

Lalu pada November 2018, 18 pasangan LGBT ditangkap Satpol PP Padang atas perintah Wali Kota Mahyeldi Ansharullah. Mereka dikirim ke Dinas Sosial untuk di-ruqyah. Sebulan kemudian, Satpol PP Padang kembali menangkap pasangan gay di rumah kontrakan dan menyerahkan ke Dinas Sosial untuk dirukyah. Jalur rukyah ini memang sering kali diambil sejumlah pemerintah daerah karena masih menganggap LGBT sebagai penyakit.

 

 

Diskriminasi terhadap kelompok LGBT di Indonesia semakin tajam dengan maraknya peraturan tak inklusif. Peraturan-peraturan diskriminatif yang menyasar langsung kelompok LGBT, kata Arus Pelangi, organisasi nirlaba yang bergerak di bidang HAM kelompok LGBT. Mereka mencatat, setidaknya ada 48 regulasi anti-LGBT di Indonesia dan sebanyak 10 rancangan Perda atau Raperda di 10 wilayah di Indonesia tengah digodok. Pada 2018, pemerintah Kabupaten Cianjur, Jawa Barat memiliki surat edaran pencegahan LGBT. Di tahun yang sama Wali Kota Pariaman Genius Umar merilis perda 10/2018 tentang Ketentraman dan Ketertiban Umum, di dalamnya melarang LGBT.

Tak berhenti sampai situ, pemerintah kota Bogor pada 2021 ikut mengeluarkan perda tentang Pencegahan dan Penanggulangan Perilaku Penyimpangan Seksual (P4S). Dengan diksi-diksi diskriminatif seperti “penyimpangan seksual” atau “penyakit sosial” perda-perda ini disahkan lengkap dengan klaim sains yang tidak update.

Kini giliran pemerintah kota Makassar dan Garut yang ikut meramaikan pesta diskriminasi. Dilansir dari BBC Indonesia, di Makassar, raperda anti-LGBT telah masuk ke dalam program legislasi daerah (prolegda) 2023 sehingga menjadi “prioritas pembahasan”.

Dua anggota DPRD Makassar mengatakan usulan pembahasan raperda anti-LGBT merujuk pada perda serupa yang telah lebih dulu disahkan di kota lain. Lalu di Garut, usulan pembentukan raperda anti-LGBT ditampung oleh DPRD setempat setelah organisasi masyarakat bernama Aliansi Umat Islam mengklaim “terdapat 3.000 LGBT” di wilayah tersebut.

Wawan Sutiawan, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Garut Periode 2019-2024 mengatakan meski sumber data itu belum jelas, ia mengklaim kondisi di Garut “sudah mengkhawatirkan”. Komisi 4 DPRD Garut kemudian memutuskan untuk mendukung bila harus ada raperda yang melarang LGBT.

Politik Homophobia dan Tren Jelang Pesta Demokrasi

Cara pejabat publik menggunakan kuasanya untuk melakukan diskriminasi terhadap kelompok minoritas gender dan seksual bukanlah sebuah fenomena baru di Indonesia. Tom Boellstorff, profesor antropologi dari Amerika Serikat (AS) dalam penelitiannya The emergence of political homophobia in Indonesia: masculinity and national belonging (2006) menjelaskan fenomena ini lewat istilah “political homophobia” atau politik homophobia.

Dalam penelitiannya itu, konsep politik homofobia digunakan Boellstorff untuk memahami tragedi persekusi kelompok LGBT di ruang publik pasca tumbangnya Orde Baru pada 1998. Diimulai lewat tragedi penggerebekan Wisma Hastorenggo di Kaliurang, Jawa Tengah oleh Gerakan Pemuda Ka’bah (GPK) terhadap sekitar 350 orang kelompok LGBT yang tengah memperingati Hari Kesehatan Nasional pada 11 November 2000.

Berbeda dengan heteroseksisme atau norma yang hanya mengakui heteroseksualitas sebagai satu-satunya seksualitas yang “alami” dan benar, politik homofobia adalah logika budaya baru yang mengasosiasikan kehadiran kelompok gender dan seksual non-normatif di ruang publik sebagai ancaman terhadap norma maskulinitas dan masa depan bangsa. Di Indonesia kontemporer pasca Orde Baru, pilihan untuk menjadi nasional haruslah pilihan heteroseksual dan di sinilah bangsa akhirnya diartikulasikan secara gender normatif yang biner.

Dengan logika semacam ini, maka justifikasi untuk melakukan diskriminasi dan kekerasan terhadap kelompok non-heteroseksual yang berusaha untuk mengklaim ruang-ruang publik dianggap valid. Muhammad Ammar Hidayahtulloh dalam tulisannya di The Conversation pun menuliskan kini praktik politik homophobia semakin luas dan beragam. Ini bisa dilihat dari aksi pembatalan kegiatan yang diadakan oleh pegiat hak kelompok seksual minoritas, penutupan pesantren waria Al-Fatah pada 2016, hingga upaya hukum untuk mengkriminalisasi LGBT lewat peraturan anti LGBT.

Politik homophobia yang kental dengan diskriminasi ini justru jadi alat politik jelang pesta demokrasi. Bivitri Susanti, ahli hukum tata negara bahkan mengatakan ini sudah jadi tren jelang pemilu. Dalam wawancaranya bersama Magdalene ia mengatakan Perda yang bernuansa syariah atau mengusung nilai dan moral agama mayoritas cenderung muncul di era pemilu. Ini ditunjukkan untuk mengambil hati para pemilih.

Pola ini sebelumnya pernah diungkap melalui penelitian Michael Buehler, dosen perbandingan politik di SOAS University of London yang berjudul Politics of Shari’a Law (2016). Buehler menunjukkan bahwa dalam kondisi persaingan politik yang ketat, elit politik mendapat tekanan untuk memobilisasi para pemilih. Dan cara yang paling mudah udah memobilisasi pemilih adalah lewat nilai-nilai keagamaan.

“Isu terkait keagamaan atau identitas, itu isu yang sangat mudah diolah karena menyangkut sama emosi. Ada pemilih rasional melihat program, kebijakan, rekam jejak tapi tidak bisa dipungkiri banyak juga pemilih yang memilih dengan alasan-alasan emosional belaka. Jumlahnya cukup banyak. Ini pastinya yang mudah untuk disulut,” jelasnya.

Bivitri juga menambahkan terus digorengnya isu LGBT juga tak lepas dari fakta miris dari minimnya kompetensi para elit politik dalam mengelola isu publik yang lebih urgent.

“Daripada memikirkan program atau ngomongin soal krisis iklim, kesetaraan gender, dan action plan yang mendukungnya, isu-isu LGBT ini tentu lebih mudah. Tidak usah mikir terlalu keras tetapi sudah bisa menjaring banyak orang,” pungkasnya.

Daniel Awigra, Koordinator Human Rights Working Group pun juga punya pendapat yang kurang lebih sama. Dalam wawancara terpisah bersama Magdalene ia mengatakan masalah ruang publik seperti kualitas layanan publik seperti transportasi, akses air bersih dan udara sehat, atau pencemaran lingkungan merupakan isu yang sulit untuk dikelola oleh para elit politik ini.

Ini memperlihatkan bagaimana elit politik di Indonesia apalagi yang hendak mencalonkan diri di pemilu berikutnya minim agenda. Mereka hanya memanfaatkan isu-isu privat yang memantik sisi emosional para pemilihnya sebagai jalan pintas.

Hal yang bersamaan juga memperlihatkan minimnya pemahaman HAM sebagai kesadaran bernegara yang tidak dimiliki oleh mereka. Ini misalnya terlihat dari pernyataan DPRD Makassar dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Azwar ST dikutip dari BBC Indonesia yang menolak raperda anti-LGBT disebut “diskriminatif” dan “berpotensi mempersekusi” LGBT.

“Kesadaran bernegara ini enggak dimiliki mereka (para elit politik). Kok kelompok minoritas yang seharusnya dilindungi malah dikorbankan. Padahal hukum itu kan untuk semua, bukan untuk golongan yang lebih superior dan mayoritas.”

Awigra pun menambahkan “Kalau liat fenomena sekarang ini kan para elit politik juga menerapkan political favoritism, seolah-olah hetero dan kelompok agama mayoritas yang lebih punya hak untuk menetapkan mana yang benar atau keliru. Punya privilege dalam demokrasi. Seharusnya justru demokrasi berbasis HAM memberikan afirmasi pada suara-suara yang perlu dibantu” tutur Awigra.

Bivitri pun mengamini pendapat Awigra. Ia menilai minimnya pemahaman HAM politisi Indonesia hadir karena banyak dari mereka memahami HAM secara particular bukan universal. Dengan pemahaman ini para politisi punya pemahaman sempit terhadap suatu teks hukum dan tidak bisa memahami bagaimana teks hukum atau kebijakan bisa berdampak berbeda pada kelompok minoritas.

“Saya cukup pasti merasa politisi di Indonesia sebenarnya enggak paham kalau hukum itu dampaknya beda sekali terhadap kelompok minoritas. Hukum itu kalau sudah membedakan kelompok manusia dengan manusia lain itu udah sudah bisa dibilang diskriminatif. Artinya dia tidak boleh kalau sesuai dengan konstitusi kita. Tapi ya mungkin merekanya sendiri (politisi) bahkan enggak ngerti arti diskriminasi itu apa”

Pemerintah Pusat yang tetap Bungkam

Dalam laporan Human Rights Watch pada 2016 berjudul “Permainan Politik ini Menghancurkan Hidup Kami” Komunitas LGBT Indonesia Dalam Ancaman dituliskan Indonesia tak pernah mengkriminalisasi perilaku seksual sesama jenis dalam hukum nasionalnya.

Namun sejak 1999, Indonesia telah mendesentralisasi sistem hukumnya yang memberikan ruang besar bagi pejabat-pejabat daerah untuk menetapkan dan menegakkan hukum atas berbagai isu. Salah satunya yang menyasar atau melanggar hak-hak asasi kelompok minoritas.

Otoritas penuh yang dimiliki oleh pejabat negara ini kemudian diperparah dengan putusan Nomor 137/PUU-XIII/2015 oleh Mahkamah Konstitusi pada Juni 2017. Dalam putusan ini Mahkamah Konstitusi menyatakan pembatalan Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten/Kota oleh gubernur atau menteri bertentangan dengan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.

Dengannya, pemerintah pusat lewat Kementerian Dalam Negeri kini tak lagi punya wewenang dalam mencabut perda yang sudah disahkan.  Satu-satunya cara untuk mencabut perda adalah dengan mengajukan Judicial Review atau JR ke Mahkamah Agung.

Kendati demikian, pemerintah pusat bukan berarti bisa langsung lepas tangan. Bivitri menjelaskan pemerintah pusat lewat Kementerian Dalam Negeri punya tanggung jawab dalam mencegah terbitnya perda diskriminatif.

“Pemerintah pusat harus tegas apalagi Menteri Dalam Negeri atau Mendagri juga sebenarnya punya tools untuk mencegah disahkannya perda diskriminatif ini. Tools ini yang namanya Fasilitasi Rancangan Produk Hukum. Kalau mendagrinya benar, ya tools ini bisa digunakan,” jelas Bivitri.

Ia pun menambahkan tools yang dimiliki oleh Mendagri juga berhubungan erat dengan dengan harmonisasi perda dengan perda dengan peraturan perundang-undangan lainnya. Dalam hukum tata urutan perundangan yang dimuat melalui Undang-Undang No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Perundang-undangan, Perda menempati tata urutan hierarki terbawah.

Dalam hal ini tata urutan hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia dimulai dari Undang-Undang Dasar 1945, Ketetapan Majelis MPR, Undang-Undang, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, baru pada Peraturan Daerah atau Perda.

Jika mengacu pada tata urutan hierarki ini maka sebenarnya perda jelas tidak boleh bertentangan dengan undang-undang di tingkat nasional. Apalagi Bivitri menjelaskan Indonesia memiliki Undang-Undang HAM Nomor 39 Tahun 1999, Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM), Kovenan Hak Sipil dan Politik (ICCPR) yang sudah diratifikasi oleh Indonesia melalui UU No 12 tahun 2005, dan Konstitusi UUD 1945 Indonesia sendiri yang menjamin kesetaraan dan pemenuhan hak setiap warga negara.

Jika perda diskriminatif tetap saja diloloskan dan tak ada tindakan tegas dari pemerintah pusat, maka Awigra mengatakan negara telah melakukan bentuk dari pelanggaran HAM dalam bentuk human rights violation by omission. Ini adalah pelanggaran HAM yang disponsori negara atau state sponsored human rights violations yang dilakukan lewat tindakan bungkam dan pembiaran.

“Dengan tindakan ini, negara jelas menjadikan situasi diskriminasi dan kekerasan terus terjadi bahkan memperparahnya. Tugas negara kan seharusnya menghormati dan melindungi hak-hak tiap warga negaranya. Kalau bungkam dan dibiarkan saja, negara udah ngasih legitimasi hukum baik para aparat atau masyarakat untuk ‘menegakkan hukum’ versi mereka sendiri” tuturnya.

Situasi membahayakan ini kemudian menurut Richa F. Shofyan, Kadiv Advokasi dan Kampanye Arus Pelangi diperkeruh dengan peran media yang mempublikasikan berita diskriminatif. Dalam laporan Arus Pelangi bersama Aliansi Jurnalis Independen Indonesia dan Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK), ditemukan dalam kurun waktu Januari sampai Februari 2023 terdapat setidaknya sebanyak 100 berita yang secara spesifik membahas kelompok LGBT dalam perspektif negatif.

“Disksi diskriminatif LGBT sering digunakan. Misalnya sebanyak 29 sekali media menyebut LGBT sebagai perilaku menyimpang. Sebanyak 28 kali disebut dilarang agama, lalu 13 kali disebut melanggar norma sosial dan budaya 13 yang rata-rata disusul dengan mendorong rehabilitasi, revisi perda, pembinaan atau menyinggung ketertiban umum,” jelas Richa kepada Magdalene.

Pemakaian diksi-diksi diskriminatif ini kemudian menurut Richa juga berjalan beriringan dengan ketidakberimbangan narasumber yang dikutip oleh media. Dalam hal ini media lebih cenderung mengutip pernyataan yang diskriminatif seperti dari tokoh ormas sebanyak 35 kali, 31 anggota DPRD, 25 kali walikota, bupati, dan wakil bupati, dan 16 kali kepala dinas dan kepala bidang. Adapun, suara kelompok LGBT hanya lima.

“Ini (pemberitaan diskriminatif) memperkeruh suasana, mendukung situasi kekerasan karena media sampai saat ini masih jadi acuan masyarakat. Entah yang disampaikan itu benar atau tidak. Makanya dampaknya bisa pada kekerasan di ruang fisik, seperti pengusiran, penggerebekan, atau jenis kekerasan lainnya,” jelasnya.

Agar pemberitaan diskriminatif tidak terus menerus diproduksi Richa pun menegaskan Dewan Pers punya tanggung jawab besar untuk menghentikan arus pemberitaan semacam ini. Richa menyarankan agar Dewan Pers aktif mensosialisasikan Peraturan Dewan Pers tentang Pedoman Pemberitaan Isu Keberagaman kepada komunitas pers.

Pedoman itu jadi rujukan penting bagi pers dalam memberitakan isu keberagaman sehingga pemberitaan tidak lagi memuat prasangka, stereotip, kebencian, memantik konflik. Sebaliknya justru mengedepankan nuansa dengan menghormati dan melindungi hak asasi manusia.

Ia pun mendorong pada para jurnalis untuk menerapkan keberimbangan informasi dan narasumber. Melihat bagaimana pemberitaan terkait LGBT lebih banyak berasal dari narasumber yang tak punya kapasitas pemahaman berperspektif gender dan SOGIESC (akronomin dari sexual orientation, gender identity, gender expression dan sex characteristics) atau dari kelompok LGBT sendiri, maka jelas pemberitaan yang ada cenderung bias dan diskriminatif.

Selain pembenahan media, Bivitri dan Awigra menambahkan setidaknya ada dua solusi yang bisa dilakukan untuk mencegah adanya kekerasan berulang pada kelompok LGBT.

Pertama, menurut Bivitri stakeholder seperti Kementerian dalam Negeri dan Kementerian Hukum dan HAM harus menggunakan alat-alat fasilitas yang mereka punyai. Ini termasuk untuk membina daerah-daerah dan mengawasi penerbitan nomor registrasi raperda yang harus sesuai dengan konstitusi negara.

“Selama ini kan fasilitasnya sudah ada, maka gunakanlah fasilitas untuk menyampaikan pada Pemerintah Daerah dan DPRD kalau tidak boleh ada raperda yang diskriminatif,” jelasnya.

Senada dengan Bivitri, Awigra menyatakan jika di beberapa daerah meminta rekomendasi ke pemerintah pusat terkait pengesahan perda mereka, maka Kemenhumkam wajib melarang sedari awal kebijakan yang menyasar satu kelompok ini.

“Prinsip non-diskriminasi harus diterapkan dalam aturan turunan dalam level perda dan ya mencegahnya lewat pemerintah pusat dalam hal ini Kemenkumham. Merekanya yang harus tegas,” pungkas Awigra.

Terakhir, selain pemerintah pusat, kepala partai-partai politik juga punya tanggung jawab besar dalam mencegah terbitnya perda-perda diskriminatif. Hal ini mengingat pemerintah daerah adalah kader dari partai politik. Dengan demikian, penting bagi kepala partai politik untuk tegas melarang pada anggotanya yang hendak menggarap raperda diskriminatif.

“Harusnya kepala ini bilang ke para kadernya ‘Ini konstitusional lho. Jangan sampe produk hukum yang dibuat melanggar konstitusi karena kita ini partai politik resmi di Indonesia harus menaati konstitusi’. Harusnya gitu.”


Avatar
About Author

Jasmine Floretta V.D

Jasmine Floretta V.D. adalah pencinta kucing garis keras yang gemar membaca atau binge-watching Netflix di waktu senggangnya. Ia adalah lulusan Sastra Jepang dan Kajian Gender UI yang memiliki ketertarikan mendalam pada kajian budaya dan peran ibu atau motherhood.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *