‘Conformity to Masculine Norms’: Alasan Lelaki Berubah Seksis Saat di Tongkrongan
Ikut tertawa atau menimpali candaan seksis walau tahu itu salah, adalah cara lelaki menyesuaikan diri dengan norma maskulin. Tujuannya satu: Agar bisa diterima kelompoknya.
*Peringatan: Penggambaran pelecehan seksual verbal*
“Gede juga tuh (payudaranya).”
Kevin, 33, masih ingat dengan jelas ucapan seniornya semasa Sekolah Menengah Atas (SMA). Saat itu untuk kesekian kali, si senior mengomentari tubuh seorang siswi dengan tatapan genit. Teman-teman Kevin yang lain biasanya ikut menimpali dengan candaan yang mengobjektifikasi perempuan. Kevin sendiri awalnya merespons dengan ikut tertawa, tapi lama-lama ia merasa risih juga.
“(Mereka) kayak enggak pernah ngeliat cewek. Awalnya ikut nimbrung, tapi lama-lama kok ngomongin cewek mulu. Jadinya males main,” curhatnya pada Magdalene.
Lulus dari bangku SMA, lingkaran pertemanan Kevin dari kuliah hingga bekerja tak jauh berbeda. Di kantor lama, perusahaan ternama di Indonesia, lingkaran pertemanannya kerap melontarkan candaan serupa.
“Misal di lantai itu ada cewek. Senior marketing gue bakal bilang ke timnya ‘Eh tuh cewek montok juga,” ucapnya menirukan ucapan ang senior.
Saat senior melontarkan candaan tersebut, Kevin mengaku kolega kantornya biasa menanggapi dengan balik menggoda. Ada pula yang menanyakan di mana keberadaan perempuan yang sedang hangat dibicarakan itu. Sementara dalam situasi seperti ini Kevin lagi-lagi ikut tertawa.
“Karena satu divisi mau gimana dong?” tutur Kevin.
Ikut tertawa atau nimbrung saat teman-teman melontarkan candaan seksis atau mengobjektifikasi perempuan adalah respons umum, yang ditemui dalam dinamika pertemanan laki-laki. Respons demikian disebut sebagai conformity to masculine norms atau penyesuaian terhadap norma-norma maskulin.
Baca Juga: Melawan ‘Toxic Masculinity’ di Kantor, Laki-laki Harus Dilibatkan
Norma-norma Maskulin di Masyarakat
Upaya menyesuaikan diri dengan norma-norma maskulin, dipengaruhi oleh ekspektasi masyarakat patriarkal. Biasanya, ini ditampilkan melalui perilaku dan kepribadian seseorang, supaya sesuai dengan standar yang dinilai maskulin. Misalnya memendam emosi, melakukan kekerasan, mengontrol perempuan, mendominasi kelompok rentan seperti perempuan dan minoritas gender maupun seksual.
Conformity to masculine norms awalnya disampaikan oleh James R. Mahalik, Benjamin D. Locke, dan Larry Ludlow, dkk. dalam sebuah studi pada 2003. Para peneliti asal AS itu menggunakan konsep itu saat mengembangkan instrumen psikologis, untuk mengukur sejauh mana individu menyesuaikan diri dengan norma-norma maskulin tradisional.
Menurut Mahalik, Locke, Ludlow, dkk., meski mayoritas laki-laki mengakui keberadaan norma-norma maskulin, mereka punya tingkat kepatuhan yang berbeda. Hal ini berpengaruh pada cara laki-laki berinteraksi dengan perempuan. Contohnya laki-laki yang mengaku sangat maskulin, cenderung melakukan pelecehan seksual terhadap perempuan.
“Selain ada ketakutan dianggap tidak cukup laki-laki, ada juga ketakutan nanti dibilang ‘ngapain ajak dia, kan banci’ terus laki-laki itu merasa lebih minder,” jelas Danny.
Di sisi lain, laki-laki juga menunjukkan maskulinitasnya dengan berusaha menjauhkan diri dari hal-hal yang dianggap feminin. Misalnya Kevin, yang berhenti memuji penampilan fisik laki-laki, setelah temannya menganggap perilakunya seperti seorang homoseksual. Kevin juga merespons dengan komentar serupa, saat salah satu teman laki-lakinya menyukai penampilan laki-laki lain.
“Gara-gara kejadian itu, dulu pernah mikir, jangan-jangan beneran jadi gay (karena memuji laki-laki). Padahal kalau straight kan straight aja,” kata Kevin.
Pengalaman Kevin menunjukkan, laki-laki yang memuji laki-laki lain dinilai kurang maskulin. Menurut psikolog Danny Yatim, perilaku merendahkan homoseksual ini didorong oleh budaya patriarki, yang membentuk ekspektasi masyarakat. Bahwa laki-lakilah yang paling kuat dan berkuasa.
Hal itu serupa dengan hegemoni seksualitas, istilah yang dijelaskan oleh Sosiolog Australia, Raewyn Connell, dalam Masculinities (1993). Ia mendefinisikannya sebagai praktik gender yang menjamin kuasa atas dominasi laki-laki terhadap perempuan. Untuk menjamin kuasa ini, hierarki gender sengaja dibangun dan diberlakukan secara ketat.
Perempuan dengan sifat-sifat feminin berada di hierarki paling bawah, sedangkan heteroseksualitas dijadikan sebagai tumpuan utama relasi laki-laki dan perempuan. Ini menyebabkan homoseksual sering jadi candaan atau hinaan, ketika seseorang enggak sesuai dengan nilai-nilai maskulinitas dominan—seolah ia layak dipinggirkan. Karenanya, untuk dianggap maskulin, umumnya laki-laki berusaha memenuhi nilai-nilai tersebut.
Contohnya di institusi militer atau dunia olahraga, yang memiliki budaya locker room talk. Di kedua ruang ini, obrolan laki-laki cenderung mengobjektifikasi perempuan. Sementara, laki-laki berada di bawah tekanan untuk mengikuti norma maskulin, dengan ikut membicarakan perempuan.
Tidak terjadi di ruang luring saja, tekanan mengikuti norma maskulin juga bisa ditemui di ruang-ruang daring seperti gim online. Dalam risetnya, peneliti Jesse Fox dan Wai Yen Tang dari Universitas Negeri Ohio menuliskan, gim online jadi ruang bagi remaja dan laki-laki dewasa untuk mengeksplorasi maskulinitas dan identitas mereka.
Di sana, mereka berjejaring dan menjalin ikatan dengan laki-laki lain. Pengalaman ikatan tersebut memperkuat norma-norma maskulin, sehingga tekanan untuk menyesuaikan diri dengan norma-norma tersebut semakin tinggi. Ini melatarbelakangi seksisme dan pelecehan seksual yang dinormalisasi di komunitas gim.
“Dengan melakukan rayuan seksual kepada pemain perempuan atau meminta foto payudara perempuan, pemain laki-laki menegaskan heteroseksualitas mereka kepada sesama pemain,” tulis keduanya dalam Sexism in online video games: The role of conformity to masculine norms and social dominance orientation (2014).
Baca Juga: “Bercanda Kok Seksis?”: Dampak Seksisme di Ruang Publik
Sulitnya Melawan Norma Maskulin
Yudha, 27, ikut tertawa saat teman satu tongkrongannya mengomentari ukuran payudara perempuan yang tiba-tiba lewat di depan mereka. Tawa itu adalah respons alaminya. Tiap kali teman-temannya sudah mulai melontarkan candaan seksis atau bernada seksual, Yudha enggan menegur temannya. Ia tidak ingin merusak suasana.
“Kayak malas untuk negur aja. Anggapannya ya mungkin karakter orangnya begitu,” ujarnya.
Keenganan yang sama juga dialami Kevin. Bedanya, Kevin terang-terangan mengungkapkan kalau keenganannya ini lahir karena ia takut dikucilkan. Ketakutan Kevin cukup valid. Danny mengatakan, walaupun tidak mutlak, ada kemungkinan laki-laki yang berusaha melawan norma-norma maskulin, bakal dikucilkan oleh teman-teman sekelompoknya. Ini menjelaskan sikap laki-laki cenderung menyesuaikan diri dengan norma-norma maskulin dalam kelompok.
Untuk mengatasi norma-norma maskulin, Dannis menuturkan, seseorang perlu belajar dan melupakan hal-hal tak relevan yang pernah dipelajari—atau learn and unlearn. Yaitu dengan membaca, bereksperimen, dan bersikap adil sejak dalam pikiran—terhadap diri sendiri maupun orang lain.
“Selain ada ketakutan dianggap tidak cukup laki-laki, ada juga ketakutan nanti dibilang ‘ngapain ajak dia, kan banci’ terus laki-laki itu merasa lebih minder,” jelas Danny.
Namun, terus-menerus menyesuaikan diri dengan norma-norma maskulin bukan hal mudah. Kevin dan Yudha mengatakan, berada di tongkrongan cukup toksik membuat mereka cukup lelah. Mereka memilih pergi, ketika candaan atau tindakan teman-temannya dianggap “kelewatan”.
Bahkan, kini Kevin membatasi lingkaran pertemanannya sendiri. Ia semakin sadar, merespons candaan seksis atau mengobjektifikasi perempuan, sama halnya menjadi enabler kekerasan.
“Kalau lihat ke belakang (zaman sekolah hingga di kantor lamanya) ya enggak bagus, ngeliat cewek cuma kayak objek doang,” ucapnya.
Sayangnya, tidak semua laki-laki memilih menjaga jarak atau membatasi pertemanan, seperti Yudha atau Kevin. Laki-laki yang tetap berada dalam lingkungan dominan maskulin, dan tidak dapat menyesuaikan diri dengan norma-norma yang diharapkan, akan mengalami masculine gender roles stress (MGRS)—atau stres peran gender maskulin.
Dannis menjelaskan, laki-laki yang mengalami MGRS akan menunjukkan nilai-nilai maskulin lain, lewat cara yang ekstrem. Misalnya dalam hubungan, laki-laki diharapkan sebagai pencari nafkah dan sosok yang keras atau agresif. Sementara ketika mereka tidak dapat memenuhi peran sebagai pencari nafkah, ia menjadi sosok lebih agresif. Ini dilakukan demi mengimbangi ketidakmampuannya.
“Dia enggak provide, tapi karena dia laki-laki, jadinya mengimbangi dengan maskulinitasnya yang lain,” terang Dannis. “Dia nunjukkin kalau dirinya maskulin, (seorang) laki-laki, dengan melakukan kekerasan.”
Baca Juga: Kurang Merasa Jantan? Jangan Salahkan Perempuan
Mengatasi Norma-norma Maskulin
Untuk mengatasi norma-norma maskulin, Dannis menuturkan, seseorang perlu belajar dan melupakan hal-hal tak relevan yang pernah dipelajari—atau learn and unlearn. Yaitu dengan membaca, bereksperimen, dan bersikap adil sejak dalam pikiran—terhadap diri sendiri maupun orang lain.
Misalnya dalam berpakaian. Masyarakat mengategorikan biru sebagai warna laki-laki dan pink untuk perempuan. Kamu bisa mencoba menggunakan baju berwarna pink sebagai bentuk mengeksplorasi diri. Apakah merasa cocok dan nyaman dengan warna tersebut, atau masih menginternalisasi standar di masyarakat. Bahkan melihat respons orang-orang di sekitar, yang kemungkinan belum tentu merendahkan maskulinitas hanya karena memakai baju pink.
Sementara menurut Danny, perlu membangun diskusi di lingkungan pertemanan, supaya meningkatkan kesadaran bahwa seksisme merugikan semua orang—enggak hanya perempuan. Hal ini yang terjadi dalam pertemanan Yudha. Teman-temannya menyadari candaan seksis dan objektifikasi terhadap perempuan adalah bentuk diskriminasi.
“Sering diajak temanku ikut acara atau terlibat di komunitas. Jadi aku banyak tanya soal itu (seksisme),” cerita Yudha.
Atau pendekatan reflektif, dengan melibatkan pengalaman lawan bicara sebagai laki-laki. Koordinator Nasional Aliansi Laki-laki Baru (ALB), Wawan Suwandi menerangkan, laki-laki lebih memperhatikan ketika membahas maskulinitas, harga diri, dan maskulinitas toksik, ketimbang soal gender. Ini berkaca dari pengalamannya memfasilitasi seminar maupun pelatihan.
Namun, seharusnya edukasi tersebut tak hanya terjadi di lingkungan pertemanan maupun ruang formal seperti seminar dan pelatihan. Keluarga dan guru juga perlu memiliki perspektif gender. Sebab, ucapan yang mereka sampaikan berdampak besar pada anak, yang kemudian menginternalisasi stereotip gender: Laki-laki harus kuat, agresif, dan berani. Sedangkan perempuan harus bersikap patuh dan lemah lembut.
Edukasi tersebut perlu dilakukan terus-menerus. Sebab, menurut lelaki yang akrab disapa Jundi ini, setiap orang memiliki pengetahuan dan kesadaran berbeda soal seksisme. Ini berkaitan dengan pemahaman laki-laki tentang feminisme. Ketika memahami, belum tentu mereka berperilaku sesuai pemahaman, karena mereka harus mencapai tingkat kesadaran tertinggi. Inilah yang dinamakan dengan walk the talk.
Mengutip Feminis: Sebuah Kata Hati (2006), Wawan menyebutkan ada tiga jenis laki-laki yang terlibat dalam feminisme. Pertama, supaya update saat teman-temannya membahas isu gender. Kedua, mempelajari karena tuntutan pekerjaan. Ketiga, punya kesadaran yang membuatnya bukan hanya memahami teori, melainkan menerapkan di kehidupan sehari-hari.
Kevin merupakan contoh laki-laki yang terlibat dalam feminisme, dan mempraktikkannya dalam hidup sehari-hari. Ia berani meninggalkan pertemanan yang masih melontarkan candaan seksis, dan tetap melakukan pekerjaan domestik meski lingkungan keluarga terutama orang tua Kevinnya protes keras.
“Kata orang tua gue, nyapu, ngepel, dan nyuci itu tugas istri. Tapi gue bilang, namanya pekerjaan rumah ya dikerjain berdua. Itu kan cuma butuh kesadaran diri (kalau melihat rumah kotor atau berantakan),” ujar Kevin.
Laki-laki yang berani ambil tindakan tegas seperti Kevin mungkin tidak banyak. Tapi dari pengalamannya, ada harapan yang bisa dibangun bersama. Ternyata laki-laki bisa belajar dan dapat berubah. Mereka bisa melampaui norma-norma maskulin yang mengikat mereka dan menjadi agen perubahan, setidaknya untuk dirinya sendiri lalu untuk orang-orang di sekitarnya.
Artikel ini diproduksi oleh Magdalene.co sebagai bagian dari kampanye #WaveForEquality, yang didukung oleh Investing in Women, inisiatif program Pemerintah Australia.
Series artikel lain bisa dibaca di sini.