Health Issues Lifestyle

Kisah Tentara yang Dibuang, Dikucilkan, dan ‘Dimiskinkan’ Negara

‘Magdalene’ ngobrol dengan dua TNI yang jadi korban bersih-bersih LGBT dan ODHIV pada 2019. Ada yang terpaksa jualan di warung demi bertahan hidup.

Avatar
  • September 24, 2024
  • 19 min read
  • 527 Views
Kisah Tentara yang Dibuang, Dikucilkan, dan ‘Dimiskinkan’ Negara

“Orang dipecat karena pakai narkoba, ngehamilin anak orang. Ini gue enggak pernah ngapa-ngapain dipecat.” 

“Marcel” masih ingat bagaimana kariernya sebagai anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) kandas karena dipecat oleh pengadilan militer. Hari itu sekitar 2019, TNI-Kepolisian RI memang sedang gencar “bersih-bersih LGBT” di organisasinya. Namun, ia tak menyangka bakal jadi salah satu korban. 

 

 

Di lingkungan TNI, bersih-bersih LGBT mengacu pada perintah Panglima TNI melalui Surat Telegram (ST) Nomor ST/398/2009 pada 22 Juli 2009 yang diperkuat kembali oleh ST nomor ST/1648/2019 tanggal 22 Oktober 2019. Pokok aturan tersebut menerangkan, LGBT merupakan salah satu perbuatan yang tidak patut dilakukan prajurit dan diancam dengan pemecatan melalui proses persidangan di pengadilan militer. 

Surat Telegram ini jadi alat untuk menyasar mereka yang ketahuan gay atau melakukan hubungan seksual sesama laki-laki (LSL atau Laki-laki Seks dengan Laki-laki). 

Marcel sendiri jadi target pemecatan berbasis Surat Telegram, setelah ia dilaporkan kepada dua asisten intelijen TNI. Ia kemudian dipanggil dan diberondong pertanyaan terkait orientasi seksual. 

Marcel enggan mengaku. Ia diinterogasi dari jam 10 malam hingga Subuh sampai akhirnya ponsel Marcel diambil paksa untuk diperiksa. Dari ponsel itu, didapati percakapan Marcel dengan pihak rumah sakit. Ia hendak mengambil Antiretroviral (ARV) untuk pengobatan HIV-nya setahun belakangan. 

“Mereka di situ noticed, konfirmasi ke gue, “Kok kamu kena HIV?” Bagi mereka, ini laporan kamu terlibat LGBT, pas banget kamu juga HIV. Tapi gue masih menyangkal, saat itu alasannya gue (kena HIV) karena cewek gitu, jajan,” kata Marcel. 

Dari interogasi tersebut, Marcel sempat dipulangkan ke satuan. Seminggu tak ada kabar, komandan Marcel di batalion memanggilnya. Ia mendekati Marcel dengan penuh simpati, berusaha mengorek informasi lebih dalam terkait orientasi seksualnya. Marcel sukses masuk jebakan. 

Gue jujur cerita segala macem, dari punya orientasi seksual (gay) sampai punya pacar polisi. Gue jujur sejujur-jujurnya karena gue berharap saat itu ya udah ini antara hubungan kakak dan adik gitu, tapi ternyata itu direkam,” jelas Marcel. 

Tidak berselang lama dari pengakuan yang direkam tanpa konsen itu, Marcel lantas dipanggil oleh detasemen polisi militer (denpom). Pada titik ini, rekaman Marcel diputar ulang hingga ia berakhir di sel tahanan untuk secara bersamaan menjalani persidangan. 

Menurut Yosua Octavian, Staf Penanganan Kasus Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Masyarakat, rekaman itu mestinya tak bisa jadi bukti yang memberatkan. Sebab, yang bisa jadi alat bukti adalah “penyadapan” bukan perekaman. Bahkan dalam penyadapan sekali pun, perlu ada hal-hal formil yang dipenuhi. Misalnya itu dilakukan dalam rangka penegakan hukum dan atas permintaan kepolisian, kejaksaan dan/atau institusi lainnya. 

“Pandangan saya, pun mau menganggap perekaman diam-diam sebagai alat bukti keterangan terdakwa, semestinya ini bukan menjadi titik berat dalam pembuktian,” jelasnya. 

Baca juga: Ruang Aman hayVee, Cara Scott Alfaz Lawan Stigma ODHIV

Dipecat Tidak Hormat karena Orientasi Seksual 

Saat masyarakat Indonesia merayakan peringatan Hari Kemerdekaan, Marcel justru mendekam di sel tahanan. Di sel kecil yang hanya bisa memuat satu orang dewasa itu, Marcel berusaha menjaga kewarasan. Seluruh tahapan persidangan pun yang ia ikuti dengan patuh. 

Masalahnya, sejak pertama kali dipidanakan, ia merasa tidak diuntungkan. Marcel tidak bisa memilih penasihat hukum karena sudah ditunjuk langsung oleh militer. Ia juga tidak bisa memberikan pembelaan maksimal. Bahkan, Berita Acara Pemeriksaan (BAP) sebagai dokumen penting berisi catatan tentang semua kejadian dalam proses penyidikan, cuma memuat hasil rekaman yang diambil tanpa konsen itu. Penasihat hukumnya enggan menemuinya di sel tahanan untuk menggali keterangan langsung, 

“Jadi semua udah ada gua tinggal ngikutin prosesnya. (Marcel) enggak pernah diminta keterangan langsung, jadi datang pas persidangan, aparat sudah bawa berkas. ‘Cel ini ya,’” terangnya. 

Yosua mengomentari pengalaman Marcel bukanlah hal baru dan justru lazim di TNI. Suka tidak suka, peradilan militer memang sangat eksklusif atau tertutup. Prajurit yang dipidana rentan karena aturan yang diskriminatif sekaligus minimnya akses bantuan hukum. Mereka tak bebas menunjuk ingin didampingi siapa, bahkan warga sipil tak diperbolehkan terlibat sebagai penasihat. 

“Penasihat hukum yang ditunjuk untuk melakukan perlawanan yang ‘kencang’ layaknya warga sipil, saya rasa enggak mungkin. Apalagi kalau penasihat hukum berhasil membatalkan dakwaan oditur atau mengubah putusan pidana hakim militer, bagi saya itu bakal berbahaya juga buat mereka sendiri,” kata Yoshua. 

Aturan main inilah yang membuat persidangan kasus Marcel berjalan sebatas formalitas saja. Ia resmi dijatuhkan pidana kurungan penjara dan dipecat tidak hormat karena telah memenuhi unsur tindak pidana yang tercantum pada Pasal 281 ke-1 KUHP tentang kesusilaan di muka umum, atau Pasal 103 Ayat (1) KUHPM yang mengatur terkait ketidakpatuhan anggota militer dalam menaati perintah dinas. 

Sekretaris Jenderal (Sekjen) Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) Gina Sabrina mengkritik penggunaan dua pasal tersebut. Menurut pakar hukum militer tersebut, pasal-pasal ini berpeluang diskriminatif karena bisa dimaknai secara luas. Melanggar kesusilaan dalam Pasal 281 KUHP misalnya, mengacu pada perbuatan mempertunjukkan ketelanjangan, alat kelamin, dan aktivitas seksual yang bertentangan dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Dengan penekanan pada nilai, ujar Gina, pasal ini bisa digunakan tergantung kebijakan atasan di lingkungan militer. 

“Jika dianggap itu tidak sesuai, merugikan, atau bahkan merusak citra TNI, (pasal ini) bisa ini bisa saja digunakan. Jadi dalam melaporkan, mengusulkan, termasuk nanti hakim ketika memeriksa dan mengadili bisa menggunakan pasal ini,” kata Gina. 

Begitu pula dengan Pasal 103 Ayat (1) KUPHM. Ketidakpatuhan ini teridentifikasi karena sebelumnya Panglima TNI sudah mengeluarkan Surat Telegram bersih-bersih LGBT. Kata Gina, Telegram itu adalah bagian dari administrasi umum yang harus dilaksanakan segera. Lantaran militer punya rantai komando, maka enggak heran Surat Telegram jadi pemberat dalam persidangan. 

“Apa pun yang dikeluarkan oleh atasan, diterjemahkan sebagai perintah. Oh, karena ada yang enggak sesuai sama imbauan (Surat Telegram), berati dia menyalahi (perintah atasan) dong. Makanya bisa dipecat,” imbuh Gina. 

Baca juga: Orang dengan HIV/ AIDS juga Bisa Berdaya 

HIV Bukan Penyakit Gay atau LSL 

Perkara Marcel yang ketahuan gay dan dijatuhkan hukuman pidana, bukan satu-satunya persoalan. Dalam putusan sidang, salah satu faktor pemberat kasus Marcel adalah kondisi HIV-nya. Dengan menimbang pernyataan Saksi 4, senior Marcel, ia dinyatakan hidup dengan HIV karena melakukan tindakan asusila LGBT. Karena itu, Marcel dinilai telah mencemarkan nama baik TNI. 

Sebelumnya pada 2017, LBH Masyarakat lewat monitoring dan dokumentasi media menemukan tiga berita soal pemecatan terhadap Orang dengan HIV (ODHIV), TNI termasuk. Mereka yang bekerja di lembaga pemerintah, wajib bebas HIV guna memberikan contoh yang baik sebagai pelayan masyarakat. Apabila kedapatan positif HIV, maka pegawai bersangkutan akan ditindak, tulis LBH Masyarakat. 

Hingga artikel ini ditulis, belum ada angka pasti soal berapa banyak jumlah anggota TNI yang dipecat karena positif HIV. Namun dari pantauan Magdalene terhadap pemberitaan media massa, ditemukan 15 prajurit TNI dipecat tidak hormat karena LGBT pada 2020. Salah satu yang dipecat, Serka RR adalah ODHIV

“Itu (kondisi kesehatan) juga masuk pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan vonis, karena kalau dibiarkan bisa menularkan (HIV) ke anggota lain,” kata Pejabat Pemberi Informasi Pengadilan Militer II-10 Semarang Mayor Laut KH Fadhil Hanra usai sidang, dikutip dari CNN Indonesia. 

Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Ardhanary Institute, LBH Masyarakat, Arus Pelangi, dan Support Group and Resource Center on Sexuality Studies (SGRC) Universitas Indonesia sempat merilis pernyataan sikap terkait pemecatan Serka RR. Merujuk pada Pasal 21 ayat (3) Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 21 Tahun 2013 tentang Penanggulangan HIV dan AIDS, kondisi HIV merupakan informasi personal yang tidak seharusnya disebarluaskan kepada orang lain tanpa persetujuan yang bersangkutan. 

Kalau pun kondisi HIV dibuka, tetap harus dengan persetujuan yang bersangkutan dan berkaitan dengan proses hukum. Karena itu, membuka kondisi HIV prajurit apalagi menjadikannya sebagai pemberat vonis pidana, telah menyalahi peraturan. Gina lebih lanjut menekankan tidak sepatutnya prajurit ODHIV diputus kerja begitu saja. 

“Kita punya banyak instrumen hukum yang menjamin kesamaan hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Ini bukan cuma di Undang-Undang Dasar 1945 tapi Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia,” kata Gina. 

Kedua peraturan ini diperkuat kembali dengan UU Nomor 21 Tahun 1999 tentang Pengesahan Konvensi ILO Nomor 111 tentang Diskriminasi dalam Hubungan Kerja dan Jabatan, UU Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003, dan UU No 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Perppu Cipta Kerja Menjadi UU. Karena itulah, ungkap Gina, terlepas dari orientasi seksual dan kondisi kesehatan seseorang, negara termasuk TNI harus memberikan jaminan atas pekerjaan yang layak bagi setiap prajuritnya. 

Selain itu, dalam UU TNI Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia, di Bab II, Pasal 2 huruf (d), diatur mengenai Jati Diri TNI yang berbunyi: “Tentara Profesional, yaitu … serta mengikuti kebijakan politik negara yang menganut prinsip demokrasi, supremasi sipil, hak asasi manusia, …”. Poin ini menyebutkan prinsip hak asasi manusia akan terlanggar jika TNI menjatuhkan sanksi semata-mata karena orientasi seksual, identitas gender, maupun kondisi ODHIV. 

Namun dalam kasus ini, TNI tidak pernah ada transparansi soal dasar peraturan mana yang dilanggar oleh prajurit. Mereka yang jadi korban pemecatan hanya diberi tahu telah melanggar aturan, tanpa perlu mempertanyakan lebih lanjut. Padahal tidak ada peraturan manapun, kata Gina, yang secara eksplisit bisa menjerat prajurit LGBT maupun ODHIV. 

Magdalene menghubungi Mayjen TNI Dr. Nugraha Gumilar, Kepala Pusat Penerangan TNI (Kapuspen TNI) untuk mengonfirmasi masalah pemecatan ODHIV. Dalam sambungan telepon, Nugraha bilang, TNI menjamin setiap prajurit ODHIV tidak akan dipecat cuma karena kondisinya. Bahkan selama hampir 35 tahun di TNI, ia sendiri tidak pernah mendengar satu pun prajurit ODHIV yang dipecat. 

“Selama dinas kalau ada kejadian seperti itu (kena HIV), yang akan dilakukan pengawasan dan berobat rutin, supaya orang dengan HIV ini tidak berkembang menjadi AIDS. Lagipula HIV itu bukan penularan dari udara seperti itu kan, bukan dari sentuhan juga. Sehari-hari kita dinas seperti biasanya saja, tidak ada namanya perbedaan perlakuan,” kata Nugraha. 

Dalam keterangan persnya pada 2021, mantan Panglima TNI Jenderal TNI Andika Perkasa juga sempat mengungkap, jumlah prajurit ODHIV mencapai 1.826 orang dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir. Lalu, apa kabar dengan Marcel yang dipecat tak hormat karena ODHIV? 

Nugraha berdalih, mungkin saja pemecatan terhadap prajurit TNI bukan karena ODHIV saja tapi orientasi seksualnya yang seorang LGBT atau LSL. Ia menambahkan, TNI bukanlah tempat untuk mereka yang gay atau LSL. Mereka tidak menoleransi prajurit LGBT, sehingga jika ketahuan pasti akan segera diambil tindakan tegas, termasuk pemecatan. 

Tindakan ini perlu dilakukan karena menurutnya LGBT dan LSL berbahaya dan merusak. Mereka akan mencari “mangsa” dan berpeluang besar menularkan HIV ke sesama prajurit. 

“Kalau sudah hombreng (gay) lah pasti mencari korban, tentunya tidak bisa dibiarkan, bisa merusak. Peluangnya sangat besar (menularkan HIV) kalau dibiarkan berada di lingkungan TNI, jadi mesti putus secepat mungkin,” kata Nugraha. 

Apa yang diungkapkan oleh Nugraha maupun pernyataan Saksi-4 dalam memberatkan putusan Marcel dan Serka RR menambah daftar panjang stigmatisasi yang masih berlanjut di kalangan TNI. 

Pada 2019, akun X Pusat Penerangan TNI (@Puspen_TNI) mencuit komik yang bilang LGBT adalah salah satu faktor penyebab penyakit menular seksual (PMS) seperti HIV. Sebelum akhirnya dihapus, cuitan itu menuai banyak kecaman hingga Rumah Cemara dan Institute for Criminal and Justice Reformation (ICJR) meliris pernyataan. 

Cuitan Puspen TNI tersebut merupakan salah satu stigmatisasi yang justru kontraproduktif dengan upaya penanggulangan HIV. HIV sendiri ditularkan lewat cairan tubuh dari ODHIV, seperti darah, air susu, cairan semen, dan cairan sekresi vaginal. 

Pertukaran cairan tersebut terjadi melalui perilaku-perilaku berisiko. Sebut saja transfusi darah, jarum suntik yang dipakai bergantian, hubungan seksual, dan transmisi dari ibu ke anak. Artinya, penularan HIV bukan berdasarkan identitas gender atau orientasi seksual. Dalam hal ini, LGBT penyebab penularan penyakit menular seksual, seperti HIV. 

Wahyu Kresna dari Jaringan Indonesia Positif ikut menanggapi persoalan ini. Ia tidak memungkiri masih ada stigma HIV adalah penyakit milik kelompok tertentu. 

“Doktrin kita zaman dulu HIV itu penyakit kotor, hanya di kalangan gay. Padahal kenyataannya di lapangan sekarang, banyak ibu rumah tangga yang tidak pernah melakukan hubungan seksual berisiko, justru tertular HIV dari suami. Apakah mau bilang ini penyakit kotor yang menyasar kelompok tertentu saja?” kata Kresna. 

Menurut Kementerian Kesehatan, penularan HIV pada 2023 didominasi oleh ibu rumah tangga, mencapai 35 persen. Angka tersebut lebih tinggi dibandingkan kasus HIV pada kelompok lain, seperti suami pekerja seks dan kelompok LSL. Dampaknya, kasus HIV baru pada kelompok ibu rumah tangga bertambah sebesar 5.100 kasus setiap tahunnya. 

Lalu mengapa stigma ini masih tetap ada? Pertama, masyarakat Indonesia memegang teguh norma-norma keagamaan. Dalam norma ini, kelompok LGBT dianggap kotor dan melawan kodrat, sehingga dianggap sebagai ancaman bagi kesehatan individu dan masyarakat. 

Kedua, ketidaktahuan kolektif masyarakat Indonesia. Kresna mencontohkan, masih ada mitos HIV menular jika bersentuhan langsung dengan ODHIV atau terkena darah mereka. Stigma HIV adalah penyakit gay terjadi karena masih belum masifnya edukasi dan sosialisasi terkait penularan virus. Jika pun sudah ada, edukasi dan sosialisasi ini tidak komprehensif, inklusif, dan dilakukan secara berkala. 

“Harus terus-menerus ya memberi informasi karena mengubah kebiasaan dan pola pikir perlu jalan panjang,” sebut Krisna. 

Baca juga: Bagaimana Menjadi Positif HIV Membuka Mata Saya

Dugaan Diskriminasi ODHIV 

Berbanding terbalik dengan keterangan Nugraha, Marcel sebagai ODHIV sempat mengalami diskriminasi. Sebelum dipenjara lalu dipecat, pada 2018, Marcel mendapatkan penugasan khusus. Ia menjalankan tes HIV sebagai syarat pratugas dan hasilnya positif. 

Marcel sempat menyangkal statusnya tersebut. Dia pergi melakukan tes HIV di beberapa pusat kesehatan lain dengan harapan hasil tes pertama adalah positif palsu, tetapi hasilnya tidak berubah. Akhirnya, berita tentang kondisi HIV-nya menyebar ke para perwira tinggi militer. 

Berbagi data kesehatan pribadi adalah hal yang normal di kalangan militer, lain halnya dengan masyarakat sipil di mana diagnosis HIV bersifat pribadi dan dilindungi. Sementara itu, pernyataan Nugraha bertolak belakang. Dia mengatakan kepada Magdalene, kondisi kesehatan prajurit adalah rahasia, hanya petugas kesehatan dan komandan satuan yang mengetahuinya. 

“Siapa yang HIV itu kita enggak ada yang tahu. Yang tahu biasanya orang kesehatan dan mungkin komandannya,” tegasnya. 

Dibukanya kondisi kesehatan inilah yang justru membuat hidup Marcel mulai berubah drastis. Tak berselang lama, ia langsung dilucuti dari senjatanya dan tidak dilibatkan dalam kegiatan apa pun. Awalnya ia mengira atasan memberikan perhatian lebih terhadap kesehatannya, sampai ada satu peringatan yang mengganjal hati. 

Gue sempat dipanggil, disuruh hati-hati kalau misalnya korve (sebutan kerja bakti dalam lingkungan militer), jangan sampai berdarah karena takutnya cairan keluar dari badan gue itu ke orang lain dan menularkan (HIV). Mereka takut. Gue juga tidak dilibatkan di kegiatan apa pun karena mungkin dianggap ringkih gitu yang gampang sakit,” curhatnya. 

Marcel mengaku kecewa dengan perlakuan ini. Apalagi kondisi HIV-nya juga tak banyak berpengaruh dengan kesehatan fisik, toh ia tetap bugar. Ia merasa dibuang dan tidak dibutuhkan lagi. 

Nasibnya sebagai ODHIV semakin memburuk selama di sel. ARV yang seharusnya ia konsumsi setiap hari sudah mulai susah diakses. ARV tidak boleh masuk dalam penjara militer. Situasi ini berbeda dengan beberapa lapas atau rutan tahanan sipil yang menurut Kresna dilengkapi klinik yang menyediakan ARV. 

“Obat kan enggak boleh masuk jadi gue setiap mau minum obat (ARV) harus ngetok pintu penjaga yang saat itu yang piket untuk ngasih obat ke gue. Kadang kala yang jaganya enggak ada, jadi akhirnya gue enggak minum obat, sering banget tuh,” tutur Marcel. 

Situasi ini tentu berisiko Mengutip dari World Health Organization, ARV wajib diminum ODHIV setiap hari. ARV berfungsi menghambat pertumbuhan sel HIV di tubuh ODHIV selama 1×24 jam. Jika ARV diminum secara rutin, pertumbuhan sel virus sangat rendah, tidak terjadi, atau tak terdeteksi lagi dalam darahnya. Sehingga, tidak akan menularkan virus kepada pasangan seksualnya dan memungkinkan ODHIV untuk hidup secara penuh dan sehat. Sebaliknya, jika tidak diminum rutin maka bakal ada ruang kosong untuk virus bermutasi. 

Dugaan perlakuan diskriminatif terhadap prajurit ODHIV tak cuma dialami Marcel, “Hartanto” yang sudah mengabdi pada TNI selama 12 tahun juga punya pengalaman serupa. Hartanto sendiri sempat menutup rapat-rapat kondisi HIV-nya dari atasan dan rekan satuan. Mereka cuma tahu Hartanto positif Tuberkulosis (TB). 

Pada 2019 dalam agenda bersih-bersih LGBT, Hartanto dipanggil ke Markas Besar (Mabes) TNI. Kapasitasnya menjadi saksi atas kasus prajurit TNI lain yang terindikasi LGBT. Hartanto ternyata kenal prajurit itu. Mereka sudah saling bertukar DM Instagram selama kurang lebih dua tahun. Hartanto diinterogasi selama satu minggu, ponsel disita, dan kondisi HIV-nya terungkap. Mabes TNI kemudian menghubungi satuan Hartanto, dan berakhir semua orang mengetahui kondisinya. 

Hartanto dijauhi bagai hama oleh rekan-rekannya. Mereka tak pernah lagi menyapa, selalu membuang muka setiap tak sengaja berpapasan atau beradu pandang dengannya. Ruang istirahat yang bisanya selalu ramai pasca-bekerja, tiba-tiba jadi kosong tanpa ada satu pun yang berani duduk di sana. Sebaliknya, kamar rekan-rekannya secara bergilir jadi tempat tongkrongan baru. Hartanto tak pernah diajak bergabung masuk. 

Tak cuma itu, rekan-rekannya juga mulai takut berbagi piring yang sama dengannya saat makan siang. Sebelumnya, tiap makan siang piring akan selalu disediakan untuk para prajurit. Namun persis ketika kondisi HIV Hartanto jadi rahasia umum, piring-piring tersebut seketika berubah menjadi kertas bungkus sekali pakai. 

“Sehari dua hari saya enggak nyadar, pas hari ketiga saya ikut makan, baru sadar pakai kertas bungkus. Mereka takut tertular ya? Dari situ saya lebih nyetok makanan di kamar. Malam-malam saya ke kantin beli roti dan minuman buat persiapan besok. Jadi siang saya enggak pernah makan bareng lagi, malam baru makan nasi ke kantin,” curhatnya. 

Sudah dikucilkan, Hartanto juga dibuang oleh atasannya. Sang atasan marah besar ketika tahu Hartanto terseret dalam bersih-bersih TNI. Ia dinonaktifkan dari satuannya untuk diproses ke tempat penampungan yang berisi prajurit bermasalah dan sakit. 

Sebagai catatan, kondisi Hartanto cukup berbeda dengan Marcel. Ia mengaku sudah mulai memperlihatkan gejala pada 2018, tetapi baru melakukan tes HIV di 2019 awal. Akibatnya, ia mengalami keterlambatan penanganan. Namun demikian ia mengakui dengan kondisi tersebut imunnya semakin menurun dan mudah lelah, jika tidak melakukan kegiatan fisik seperti yang biasa ia lakukan selama jadi prajurit aktif. Karena itu, berada di penampungan justru berpengaruh besar pada proses pemulihannya. 

“Enggak bisa ngapa-ngapain di sana. Jadi pengennya tidur aja. Lelah banget. Tapi semakin saya enggak gerak, semakin lelah banget, terus imun benar-benar tambah turun. Untuk makan saja sampai enggak bisa. Makanya saya paksain gerak,” kata dia. 

Awalnya Hartanto sebisa mungkin bertahan di tempat penampungan. Ia tidak mau mengecewakan ibunya, buruh serabutan yang bangga ketika tahu anak laki-lakinya sukses jadi tentara. Namun pada 2020, sang ibu yang jadi satu-satu penyemangatnya, meninggal dunia. Hartanto kehilangan arah. Ia merasa tidak punya kewajiban lagi membanggakan orang tua. Alhasil, Hartanto pun desersi alias meninggalkan dinas tanpa izin atasan. 

Udah capek banget. Kecuali saya dipidana tapi masih tetap bisa berdinas ya enggak apa, tapi temen-temen saya juga yang kasusnya sama pas zamannya Pak Andika dipenjara semua abis itu dipecat. Saya mending keluar, ngapain mempertahankan hal yang enggak ada untungnya,” jelasnya. 

Adakah Harapan buat Prajurit ODHIV LGBT? 

Meninggalkan dinas tentu bukan keputusan mudah bagi Hartanto. Berbeda dari Marcel yang datang dari keluarga cukup berada, Hartanto berasal dari keluarga menengah ke bawah dan hanya lulusan SMA. Menjadi prajurit telah menjamin hidup Hartanto sampai masa pensiun nanti. Gaji yang berkisar Rp4 juta cukup jadi jaminan buat menopang ekonominya sendiri. Namun masalah ini membuat ia kehilangan sumber penghidupan utama. 

Pasca-desersi, Hartanto sempat menyicip berbagai jenis pekerjaan demi bisa tetap bertahan hidup. Ia pernah jadi satpam dan driver ojek online (ojol). Kedua pekerjaan ini tidak bertahan lama. Gajinya terlalu kecil untuk jam kerja yang terlalu panjang dan dengan biaya hidup di kota yang sangat tinggi. Ketika menjadi driver ojol, ia mendapatkan upah Rp50 ribu sehari. 

Inilah yang membuat Hartanto memutuskan pindah dan menetap di kampung Jawa Timur. Di sana ia mendirikan warung sembako kecil. Walau mengaku hidupnya jadi lebih tenang sekarang karena biaya hidup lebih murah, kerentanan ekonomi masih membayanginya. Layaknya para pedagang pada umumnya, omset Hartanto naik turun. Ada kala omset yang ia terima bisa sebesar gaji lama sebagai prajurit, tapi sering kali jauh di bawah itu. 

“Namanya juga jualan ya, pasti naik turun,” katanya pasrah. 

Kerentanan Hartanto semakin ketara karena ia sendiri menutup rapat-rapat kondisi HIV-nya. Selama ini, ARV yang ia konsumsi didapat dari kenalan lamanya, “Rianti”. Tiap tiga bulan sekali Rianti mengirimkan ARV langsung ke alamat rumah, sehingga ia tidak perlu ke fasilitas kesehatan terdekat seperti Puskesmas. Ia takut kalau ke Puskesmas tetangga di desa bakal tahu penyakitnya. 

“Paling gampang akses di Puskesmas ya. Tapi tahu sendiri, rata-rata orang Puskesmas kan satu lingkup ya, satu wilayah desa. Saya masih trauma selama dinas, jadi saya enggak mau orang-orang satu desa tahu,” tuturnya. 

Cerita Marcel dan Hartanto bisa jadi cuma segelintir dari yang kita tahu. Bahwa dampak kehilangan pekerjaan nyatanya tak cuma ke urusan perut, tapi juga kesehatan mental dan akses ke layanan kesehatan. TNI sebenarnya bisa berbenah dengan belajar dari organisasi militer yang lebih progresif. Di Amerika Serikat, dikutip dari Military OneSource, laman resmi dari Departemen Pertahanan AS, sejak 2011, LGBT telah diizinkan untuk berdinas di militer. Penerimaan terhadap LGBT di militer sendiri diperluas dengan pencabutan larangan transgender pada 2021. 

Mereka mengakui, kemampuan prajurit militer tidak terganggu oleh jenis kelamin tentara. Pun, seksualitas tidak ada hubungannya dengan bagaimana tentara melayani dan membela negara. Bahkan disebutkan dalam laporan Palm Center Legacy, para pejabat Departemen Pertahanan sekarang telah mengakui, anggapan bahwa LGBT merupakan ancaman bagi keamanan nasional adalah keyakinan usang yang tak salah kaprah. 

Tak cuma merangkul tentara LGBT tapi juga ODHIV. Per 2024, ODHIV boleh mendaftar di militer AS. Mengutip CNBC, hakim federal resmi membatalkan kebijakan Pentagon lama yang membatasi ODHIV menjadi prajurit. Sebelum AS, pada 2022, Inggris menghapus semua hambatan bagi ODHIV untuk bergabung dan memiliki karier yang sukses di militer. Personel yang hidup dengan HIV yang memiliki viral load tak terdeteksi dapat bertugas di unit mereka. 

Ini jadi pelajaran yang baik mengingat obat untuk HIV terus berkembang hingga hari ini. Dilansir dari United Nations on HIV/AIDS (UNAIDS), saat ini tengah dilakukan uji coba klinis terhadap pre-exposure prophylaxis (PrEP) atau obat pencegahan HIV. Dengan suntikan obat Lenacapavir dua kali setahun, nantinya penularan HIV lewat hubungan seks bisa ditekan sebesar 99 persen dan suntikan narkoba sebanyak 74 persen. 

Jika ini berjalan lancar, obat bisa didistribusikan melalui Medicines Patent Pool (MPP) yang didukung PBB ke negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Sehingga, obat HIV bisa diakses lebih mudah, luas, dan dengan efek yang nyaman. 

Industri kesehatan yang semakin menguntungkan, ditambah hak atas perlindungan hukum dan literasi pembesar hingga seluruh anggota TNI di bawahnya, diharapkan bisa memastikan agar tak ada lagi Hartanto dan Marcel lain di masa depan. 

*Untuk alasan keamanan dan privasi, mantan dua prajurit TNI yang diwawancarai Magdalene dalam liputan ini menggunakan nama samaran. 

*Laporan ini adalah bagian dari program pengembangan keterampilan media yang diselenggarakan oleh Thomson Reuters Foundation.

*Laporan ini bagian dari Reuters.

*Terima kasih kepada LBH Pers yang berkontribusi terhadap mitigasi risiko liputan ini.



#waveforequality


Avatar
About Author

Magdalene

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *