December 5, 2025
Issues Politics & Society

Dari Resesi Ekonomi Hingga Kemiskinan Meningkat: Ini Dampak Tarif Trump di Indonesia yang Perlu Kamu Tahu

Di awal April, Presiden AS Donald Trump baru saja mengumumkan kebijakan baru soal kenaikan tarif timbal balik (resiprokal).

  • April 16, 2025
  • 4 min read
  • 1934 Views
Dari Resesi Ekonomi Hingga Kemiskinan Meningkat: Ini Dampak Tarif Trump di Indonesia yang Perlu Kamu Tahu

Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump, 2 April lalu, resmi mengeluarkan kebijakan tarif baru terhadap produk impor yang masuk ke AS sebesar 10%. Mengutip BBC Indonesia, Trump juga memberlakukan tarif timbal balik (resiprokal) terhadap beberapa negara, misalnya seperti Inggris yang dikenakan tarif 10% dan Uni Eropa sebesar 20%.

Penerapan tarif ini diharapkan dapat menaikkan jumlah pembelian produk AS dengan tujuan meningkatkan perekonomian AS. Selain itu, Trump juga berharap banyak perusahaan luar negeri mendirikan pabrik di AS.

Peraturan ini masih ditangguhkan selama 90 hari untuk beberapa negara, termasuk Indonesia, karena dianggap sebagai negara yang tidak terlalu menentang kebijakan Trump.

Indonesia sendiri dikenakan tarif timbal balik AS sebesar 32%. Tarif ini dikenakan sebagai timbal balik dari tarif Indonesia terhadap US sebesar 64%. Adanya penetapan tarif baru ini membuat Indonesia tak lepas dari dampaknya terhadap perekonomian negara.

Apa saja dampaknya?

Baca juga: Trump Tutup Keran Bantuan Obat HIV: Apa Dampaknya buat ODHIV di Indonesia?

Terjadi Resesi Ekonomi

Kepada BBC Indonesia, Bhima Yudhistira Direktur Cellios mengungkap kenaikan tarif timbal-balik ini dapat memicu resesi ekonomi di Indonesia. Resesi ekonomi sendiri merupakan kondisi ketika ekonomi mengalami perlambatan dalam dua atau tiga kuartal.

Kondisi ini akan berimbas pada kemampuan produksi yang semakin menurun. Beberapa sektor padat karya seperti tekstil dan pakaian pun terancam terpuruk. Kenapa ini bisa terjadi?

Beberapa brand internasional dengan pasar besar di AS, memiliki pabrik di Indonesia. Karena tarif yang meningkat, brand akan mengurangi jumlah pemesanan ke pabrik Indonesia. Hal ini tentu akan mempersulit ekspor Indonesia, ditambah harus bersaing dengan barang impor. Padahal kontribusi ekspor Indonesia ke AS sebesar US$2,4 miliar untuk produk pakaian dan aksesoris (rajutan) sedangkan produk non-rajut mencapai US$2,1 miliar.

Dalam catatan Tempo, Hermanto Siregar selaku Ekonom IPB University mengatakan bahwa penurunan ekspor bisa mencapai 20% hingga 30%. Ini bisa memantik kenaikan inflasi sebesar 1% hingga 2%.

Baca juga: Pembekuan Dana USAID ke RI: Kronologi, Dampak, hingga Strategi Bertahan

Overload Barang Impor

Tak hanya berpengaruh pada ekspor, peredaran barang dalam negeri akan lebih banyak diisi oleh produk buatan Vietnam, Kamboja, dan Cina, yang juga terkena kenaikan tarif AS. Beberapa negara tersebut mengincar pasar alternatif seperti Indonesia.

Mengutip BBC Indonesia, beberapa negara tersebut akan mengalami oversupply sehingga mereka mengirim kelebihan pasokan produk tersebut ke Indonesia. Imbasnya industri kecil-menengah dan industri tekstil dan produk tekstil akan semakin terpuruk.

Rupiah Melemah

Adanya kenaikan tarif timbal balik ini berpotensi membuat nilai tukar rupiah terhadap dolar AS bisa mencapai Rp18 ribu. Nilai tukar rupiah sendiri sudah mencapai Rp17.261 (7/4), terendah sepanjang sejarah. Ini bakal berimbas pada utang-utang negara dan perusahaan yang juga ikut terkonversi sehingga belanja bunga utang pun semakin bertambah.

Baca juga: Dampak Pembekuan USAID: Strategi LSM Indonesia Bertahan di Tengah Krisis Pendanaan

PHK dan Kemiskinan Meningkat

Rupiah melemah dapat berujung pada meningkatnya jumlah PHK. Hal ini disebabkan karena perusahaan besar di Indonesia yang memiliki utang dalam dolar AS berpotensi pailit. Untuk menghindari ini, PHK menjadi pilihan ketimbang mengkonversikan utang perusahaan.

Berdasarkan catatan Apindo, pada Januari-Februari 2025 jumlah tenaga kerja yang terkena PHK sudah mencapai 40 ribu orang. Tak hanya itu, BPS juga mencatat per Agustus 2024 sebanyak 7,47 juta orang menganggur. Ini dapat berdampak pada meningkatnya kemiskinan di Indonesia.

Mengutip BBC Indonesia, kategori masyarakat rentan miskin mencapai 67,69 juta orang (24,23% dari total penduduk). Padahal, jumlah tersebut belum termasuk kelompok miskin yang mencapai 25,22 juta orang (9,03%).

Indonesia dan negara di ASEAN termasuk ke dalam kelompok negara yang memilih untuk bernegosiasi dengan AS. Berbeda dengan Kanada, Cina, dan negara di Uni Eropa yang memberi tarif ekstra ke AS.

Pada laporan BBC Indonesia, Airlangga Hartarto selaku Menko Perekonomian berkata bahwa pemerintah Indonesia menyiapkan beberapa penawaran ke AS. Penawaran tersebut berupa menaikkan jumlah impor dari AS, keringanan insentif biaya fiskal dan nonfiskal seperti keringanan bea masuk, realokasi pembelian LNG dan LPG ke AS, dan kebijakan selain tarif seperti relaksasi TKDN (tingkat komponen dalam negeri).

About Author

Amanda Andina Nugroho

Amanda adalah seorang Pecinta guguk, paling gemes sama corgy. Suka baca buku fiksi dan jalan-jalan tapi malah uangnya yang jalan-jalan.

Leave a Reply