Trump Tutup Keran Bantuan Obat HIV: Apa Dampaknya buat ODHIV di Indonesia?
Penghentian bantuan Amerika Serikat dalam penanggulangan HIV seharusnya jadi momentum pemerintah untuk lebih mandiri.

Ada saja gebrakan baru Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump. Akhir Januari lalu, Trump menghentikan bantuan global pasokan obat-obatan HIV, Malaria, dan Tuberkulosis. Dilansir Reuters, pemberhentian bantuan tersebut ditujukan pada seluruh mitra yang selama ini didukung pendanaannya oleh United States Agency for International Development (USAID).
Salah satu mitra terdampak adalah Chemonics, perusahaan konsultan di Amerika Serikat yang bertugas dalam penyediaan obat-obatan untuk berbagai kondisi di seluruh dunia. Masih dari Reuters, buntut penghentian ini serius karena distribusi obat HIV, Malaria, Tuberkulosis, sampai Alat Kontrasepsi juga terputus.
Kepada Reuters, Atul Gawande, mantan Kepala Kesehatan Global USAID, menyebut kondisi ini sebagai bencana besar. Pasalnya, selama ini berkat bantuan tersebut 20 juta orang dengan HIV (ODHIV) dapat tetap bertahap hidup.
Gawande menambahkan, perintah ini juga memengaruhi proses distribusi obat ke klinik-klinik yang bermitra dengan bantuan AS. Meskipun stoknya tersedia, 6,5 juta anak-anak dan yatim piatu dengan HIV pun enggak dapat menikmati bantuan ini lantaran pengirimannya dibekukan.
Penarikan bantuan yang mendadak macam ini tentu tidak datang tanpa konsekuensi di negara lain. Untuk melihat akibat yang ditimbulkan dari penarikan donor yang tiba-tiba, Time menjabarkan kondisi Rumania di 2010 sebagai contoh.
Akibat penarikan donor mendadak, prevalensi HIV di Rumania melonjak drastis dari 1 persen pada 2009, menjadi 6,9 persen tiga tahun berselang. Bahkan pada 2013, 53 persen dari populasi ini diketahui menjadi ODHIV.
Lantas, bagaimana dengan Indonesia? Untuk mengetahui dampak yang dirasakan oleh Indonesia, Magdalene berbincang dengan Aditya Wardhana, Direktur Indonesia AIDS Coalition (IAC), salah satu lembaga yang aktif dalam melakukan advokasi dan bantuan pada ODHIV. Sebagai negara yang menerima banyak bantuan pendanaan dari AS, terdapat beberapa konsekuensi yang harus diterima.
Baca juga: Larangan Jual Elpiji 3 KG Eceran, OK Gas Penderitaan Perempuan
Proses Intervensi yang Terhenti
Saat ditemui pada (6/2), Aditya bilang, secara langsung semua lembaga yang selama ini membantu penanggulangan HIV dan AIDS–yang disokong (finansial) oleh AS–harus memberhentikan program. Pemberhentian ini juga meliputi seluruh komunitas yang membantu intervensi. Enggak cuma itu, hampir 300 pekerja lapangan yang melakukan pendampingan langsung terkena imbasnya.
“Mereka (petugas lapangan dan pegiat NGO seputar HIV) sekarang semua sudah mendapatkan memo untuk stop work atau kalau bahasa kita mungkin dirumahkan. Tanpa ada kejelasan sampai kapan. Kebanyakan dari mereka itu adalah komunitas dan 300-an petugas lapangan lain,” kata Adit.
Pemberhentian donor secara langsung membuat ODHIV serta masyarakat semakin rentan. Sebab, edukasi, program penanggulangan HIV, pendampingan, dan testing tidak dapat dilakukan dengan mudah.
“Selama ini bantuan AS dipakai untuk pekerja lapangan memberikan edukasi, program penanggulangan HIV, membawa kelompok risiko tinggi untuk testing dan kelainan pengobatan, memberikan konseling, sampai mengajarkan kepatuhan minum obat. Jadi itu akan hilang,” jelas Adit.
Adit menambahkan, ada potensi hilangnya kesempatan penanggulangan HIV ke hampir 90 ribu orang. Pasalnya, tiap petugas lapangan menargetkan 250 sampai 300 orang untuk diberikan edukasi dan didampingi. Dengan hilangnya bantuan ini, kerja-kerja langsung petugas lapangan pun tidak dapat terlaksana.
“Tiap pekerja lapangan ini punya target sekitar 250 sampai 300 orang untuk diberi edukasi, dibawa ke testing, dibawa ke pengobatan. Jadi tinggal dikalkan saja jumlahnya 300 x 300 yang kehilangan kesempatan ini,” imbuh Adit.
Baca juga: 5 Kebijakan yang Mempersulit Kelas Menengah di 2025
Pemerintah Harus Segera Ambil Alih
Ketika ditanya potensi pencabutan keputusan pembekuan donor ini, Adit mengaku pesimis. Sebab hingga kini Trump hanya mengakui dua gender yang legal dalam pemerintahannya. Hal ini tentu berimbas pada penanggulangan HIV dan AIDS yang punya prevalensi tinggi justru pada kelompok rentan, seperti transgender. Menurut Adit, perubahan cara pandang yang dialami oleh pemerintahan AS berimplikasi pada kebijakan, terutama penanganan HIV dan AIDS.
“Dalam inagurasinya, Trump kemarin itu sempat menyebut hanya mengakui dua gender, yaitu laki-laki dan perempuan. Itu membuat concern kami dari teman-teman aktivis penanggulangan HIV dan AIDS. Lalu bagaimana dengan transgender? Itu juga akan menjadi tantangan. Artinya, memang ada cara pandang yang berubah dari pemerintahan Amerika di bawah Presiden Trump yang kemudian akan berpengaruh terhadap program penanggulangan HIV dan AIDS,” jelas Adit.
Pada aspek lain, Adit menuturkan, tantangan ini sudah semestinya mendapat perhatian pemerintah. Pasalnya, meskipun obat-obatan HIV selama ini sudah dibeli oleh anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN), intervensi lain seperti pendampingan sampai testing, tidak pernah ditanggung pemerintah. Celah kosong inilah yang selama ini diisi oleh bantuan dari negara-negara lain, termasuk Amerika. Untuk itu, Adit mengimbau agar pemerintah memerhatikan dampak besar yang ditimbulkan dari pembekuan donor AS.
“Benar, memang obat HIV itu sudah dibeli oleh APBN. Tapi kan obat itu tidak bisa jalan sendiri. Tidak bisa loncat sendiri ke rumah-rumah ODHIV di kelompok risiko tinggi. Harus ada yang mengakses, harus ada yang mengantarkan, harus ada yang memberikan counseling. Ini yang kemudian akan membawa pengaruh langsung,” tambah Adit.
Baca juga: 10 Alasan Kemenangan Trump Tak Bisa Goyahkan Aksi Iklim Dunia
Sebetulnya sudah ada hitungan pasti berapa uang yang perlu dikeluarkan pemerintah setiap tahunnya apabila Indonesia tidak mendapat bantuan untuk penanggulangan HIV. Berdasarkan UN AIDS, dalam investment case analysis mereka, setidaknya dibutuhkan Rp4,9 triliun per tahun sampai 2030 agar Indonesia dapat mencapai penanggulangan yang maksimal. Alokasi dana ini bahkan tidak lebih besar dari dana yang digelontorkan untuk penanganan TBC, yakni sebesar Rp8 triliun per tahun. Maka itu, menurut Adit, bukan hal yang mustahil apabila kekosongan dana bantuan ini dapat diantisipasi oleh pemerintah.
“Pemerintah tahu kok, Kementerian Kesehatan tahu, kebutuhannya itu Rp4,9 triliun per tahun sampai 2030. Kalau kita konsisten mengalokasikan Rp4,9 triliun per tahun sampai 2030, harapannya itu kita ketika 2030 nanti kita bisa benar-benar mencapai ending AIDS. Saya rasa menggantikan dana ini dengan APBN itu enggak susah, dan tidak besar. Bahkan enggak lebih besar dari dana penanggulangan TBC yang Rp8 triliun,” pungkasnya.
