December 5, 2025
Issues Politics & Society

7 Kekerasan Tentara yang Disponsori Negara Sepanjang Demo #TolakUUTNI 

Rakyat diculik dan digebuki, aktivis dikriminalisasi, jurnalis dikirimi kepala babi. Rangkuman kekerasan aparat TNI saat aksi demonstrasi menolak revisi UU TNI.

  • April 23, 2025
  • 5 min read
  • 1470 Views
7 Kekerasan Tentara yang Disponsori Negara Sepanjang Demo #TolakUUTNI 

Pernyataan Kepala Staf Kodim (Kasdim) 1608/Bima, Mayor Inf Asep Okinawa Muas, memantik kontroversi. Dalam diskusi publik bertajuk “NTB Berantas Narkoba” yang digelar organisasi mahasiswa Serikat Mahasiswa Muslimin Indonesia (SEMMI) NTB, ia bilang, “RUU TNI memungkinkan Badan Narkotika Nasional (BNN) boleh dijabat perwira TNI. Tapi kenapa ada yang menolak? Yang menolak adalah antek-antek PKI semuanya, setuju?” 

Pernyataan tersebut sontak menuai reaksi keras dari publik. Banyak pihak menilai tudingan itu tidak berdasar dan tak pantas diucapkan pejabat militer. Terlebih di tengah situasi yang memanas akibat gelombang penolakan terhadap revisi Undang-Undang TNI.  

Sepanjang penolakan RUU TNI—kini sudah disahkan jadi UU TNI—rentetan kekerasan pada demonstran marak terjadi dilakukan oleh aparat. Tim Advokasi untuk Demokrasi (TAUD), yang terdiri dari berbagai lembaga seperti Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Lembaga Bantuan Hukum Jakarta (LBH Jakarta), Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Amnesty International Indonesia (Amnesty Indonesia), Lembaga Bantuan Hukum Pers (LBH Pers), Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI), dan Southeast Asia Freedom of Expression Network (Safenet), semua mencatat pola kekerasan yang sistematis. 

Dalam peluncuran Pusat Data Kekerasan Nasional (PDKN) di Kantor KontraS, Jakarta, (10/4), TAUD menegaskan, “Tindak kekerasan pada pengamanan aksi merupakan bukti adanya pola berulang dan terstruktur dalam pembungkaman suara kritis di Indonesia.” 

Sebagai informasi, sepanjang Ramadan, sebelum dan sesudah pengesahan RUU TNI, aparat dilaporkan menggunakan kekuatan berlebihan. Sebelum pengesahan, tercatat 15 orang ditangkap dan 8 luka-luka. Setelah disahkan, jumlah korban melonjak: 153 orang ditangkap dan ditahan secara sewenang-wenang, serta 68 peserta aksi mengalami luka-luka. 

Apa saja kekerasan lain yang dilakukan TNI dan dibiarkan negara? 

Baca Juga : Sedikit-sedikit Asing Aseng, Cara Prabowo Bungkam Kritik Rakyat

Kriminalisasi Aktivis dan Teror di Kantor KontraS 

Sebelum pengesahan, dua aktivis yang mencoba membongkar pertemuan diam-diam di Hotel Fairmont—tempat pembahasan RUU TNI oleh DPR dan pemerintah—ditarik paksa oleh sekuriti kemudian dilaporkan ke polisi. 

Tak lama berselang, kantor KontraS mengalami serangkaian teror. Sejumlah orang tak dikenal mendatangi kantor, diduga melakukan pengintaian. Tiga hari setelah pengesahan, tiga kali kantor KontraS didatangi kendaraan taktis milik TNI. Dari CCTV terlihat mereka memotret pagar kantor, lalu pergi. Aksi ini dinilai sebagai bentuk intimidasi terhadap lembaga yang kritis terhadap pemerintah. 

Narasi “Antek Asing” Digencarkan di Medsos 

Dua aktivis yang masuk ke ruang rapat Fairmont kemudian jadi sasaran narasi karbitan di media sosial. Dari pantauan TAUD tercatat, sebanyak tiga belas video diunggah oleh akun-akun yang diduga terkait TNI. Akun-akun itu menyebut para aktivis sebagai “antek asing” dengan judul sama: “Indonesia Dalam Bahaya, Antek Asing Bergerak”

Namun, publik tak tinggal diam. Tuduhan ini justru memicu gelombang protes yang makin membesar. Aksi-aksi menolak RUU TNI berlangsung di gerbang DPR, DPRD provinsi, hingga kantor-kantor pemerintahan daerah. 

72 Titik Aksi, 168 Orang Ditangkap 

Menurut pemantauan Koreksi.org, aksi penolakan berlangsung di 72 kota sepanjang 15–29 Maret. Total 168 orang ditangkap, 76 di antaranya mengalami luka-luka. Di Jakarta, polisi mengerahkan 5.021 personel gabungan dari TNI, Pemda DKI, dan kepolisian untuk mengamankan sidang paripurna. 

Namun, kritik sebesar ini tidak digubris oleh Presiden Prabowo maupun DPR. Pemerintah memilih bungkam. 

Baca Juga : UU TNI Sah, RIP Reformasi (1998-2025) 

Gelombang Serangan Siber 

TAUD juga mencatat 25 serangan digital selama 19–27 Maret. Di antaranya, peretasan akun Instagram dan WhatsApp Himpunan Mahasiswa Program Studi Administrasi Publik Universitas Parahyangan yang kritis terhadap RUU TNI. Serangan ini meluas ke media Tempo dan Suara.com yang terkena serangan DDoS hingga tiga miliar permintaan akses. 

Kekerasan terhadap Jurnalis: 18 Orang Jadi Korban 

Ancaman juga menimpa jurnalis. Salah satu reporter Tempo, Cica, menerima kiriman kepala babi setelah pengesahan RUU TNI. Ia juga menjadi korban doxing dan percobaan peretasan. Data AJI Jakarta dan LBH Pers mencatat 18 jurnalis mengalami kekerasan: Mulai dari pemukulan, penyiksaan, hingga perusakan alat peliputan. 

Mustafa dari LBH Pers menyatakan, “Ini bukan pelanggaran etik, ini pidana. Aparat melakukan kejahatan dan selalu berulang.” 

Ia juga menyoroti potensi bahaya dari kewenangan TNI dalam ruang siber sebagaimana tercantum di UU TNI yang baru. 

Aparat Tak Berseragam dan Penangkapan Sewenang-wenang 

Satya dari Amnesty Indonesia menyebut aparat menggunakan kekuatan secara berlebihan. “Kami wawancarai korban aksi di Malang. Ia hanya mendokumentasikan aksi. Saat pembubaran, dikejar, dibawa ke kantor polisi. Kepala bocor, dan hanya disuruh ‘lap gih’.” 

Aparat tak berseragam kerap menyusup ke aksi, bahkan ada yang membawa senjata api. Yahya dari KontraS menyebut banyak penangkapan dilakukan tanpa surat, setelah aksi usai. Hal ini dinilai sebagai bentuk maladministrasi

Baca Juga : Dear WNI yang Masih Diam, UU TNI Bakal Bikin Hidupmu Jadi Lebih Sulit

Desakan Memanggil Kapolri: DPR Dinilai Bungkam 

Sementara itu, Zaenal, Ketua Advokasi YLBHI bilang, “Temuan kami menunjukkan aparat represif bukan untuk membubarkan aksi, tapi untuk menangkap. Seharusnya hari ini Kapolri sudah dipanggil DPR. Tapi mereka diam.” 

Karena hal-hal itulah, TAUD mengeluarkan enam rekomendasi dan tuntutan. Di antaranya adalah: 

  1. Pemerintah harus menghentikan manuver politik yang melahirkan kebijakan yang merugikan publik dan melanggar demokrasi. 
  1. Segera meratifikasi Konvensi Internasional Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa (ICPPED) dan OPCAT. 
  1. Presiden membatalkan pengesahan revisi UU TNI. 
  1. Kompolnas menyelidiki dugaan pelanggaran oleh kepolisian saat pengamanan aksi #TolakUUTNI. 
  1. Kepolisian memproses pelanggaran aparat secara hukum dan internal. 
  1. Komnas HAM menyelidiki potensi pelanggaran HAM berat selama pengamanan aksi penolakan RUU TNI. 
About Author

Ahmad Khudori

Ahmad Khudori adalah seorang anak muda penyuka kelucuan orang lain, biar terpapar lucu.

Leave a Reply