Meretas Maskulinitas: Peran Laki-laki Menuju Ekofeminisme
Patriarki tak hanya menindas perempuan, tetapi juga membentuk relasi laki-laki dengan alam.

Dalam banyak gerakan keadilan lingkungan, suara laki-laki kerap mendominasi ruang-ruang diskusi. Ironisnya, di saat yang sama, laki-laki juga sering menjadi bagian dari kekuatan yang mempercepat kerusakan alam. Dalam masyarakat yang masih sarat nilai-nilai patriarki, dominasi laki-laki tak hanya menindas perempuan, tetapi juga memperlakukan alam sebagai sesuatu yang sah untuk dikuasai dan dieksploitasi. Ekofeminisme telah lama menunjukkan keterkaitan erat antara penindasan terhadap perempuan dan eksploitasi lingkungan, dua wajah dari sistem kekuasaan yang sama.
Di titik inilah muncul pertanyaan mendasar: mungkinkah laki-laki mengambil peran dalam gerakan ekofeminisme tanpa terjebak kembali dalam pola dominasi yang justru ingin dihancurkan?
Meski kerap diidentifikasi sebagai bagian dari akar ketimpangan gender, tak sedikit laki-laki yang memilih melawan arus dengan berkomitmen menjadi profeminis dan terlibat dalam perjuangan keadilan, termasuk dalam isu lingkungan. Namun, keterlibatan ini menuntut kehati-hatian. Tanpa refleksi dan kesadaran kritis, peran laki-laki berisiko mengulangi logika penguasaan yang berujung pada reproduksi ketidakadilan, baik terhadap perempuan maupun alam.
Baca juga: Perempuan di Tengah Rezim Ekstraktif: Pemimpin Perlawanan untuk Lingkungan
Dari privilese menuju tanggung jawab
Patriarki melahirkan bukan hanya ketidakadilan gender, tetapi juga ketidakadilan ekologis. Di banyak budaya, maskulinitas dikaitkan dengan kontrol, agresi, dan dominasi, termasuk dominasi atas tanah, air, hutan, dan tubuh perempuan. Gambaran ini terlihat jelas dalam cara industrialisasi dan kapitalisme membingkai eksploitasi sumber daya alam sebagai bentuk “penaklukan” atau “pemanfaatan.” Dalam narasi tersebut, laki-laki berposisi sebagai subjek penguasa, sementara perempuan dan alam dijadikan objek.
Namun, meletakkan kesalahan semata pada “watak laki-laki” justru mengaburkan persoalan yang lebih dalam. Kerusakan lingkungan yang dilakukan laki-laki bukanlah buah dari esensi biologis, melainkan hasil konstruksi sosial dan historis yang membentuk maskulinitas hegemonik. Kesadaran akan hal ini membuka ruang bagi perubahan: jika maskulinitas adalah hasil konstruksi, maka ia bisa diruntuhkan, disusun ulang, dan diarahkan menuju bentuk yang lebih adil.
Profesor feminis asal Australia, Bob Pease, mengingatkan bahwa meskipun maskulinitas hegemonik berkontribusi besar terhadap krisis lingkungan, laki-laki tak seharusnya dikecualikan dari proses perubahan. Justru karena keterlibatan mereka dalam banyak praktik destruktif, laki-laki memikul tanggung jawab yang lebih besar untuk menantang dan mengubah struktur tersebut.
Penting untuk diingat, kekuasaan laki-laki bukan sesuatu yang kodrati. Maskulinitas bukan warisan biologis, melainkan hasil dari proses sosial yang bisa dan harus dipertanyakan.
Menganggap perilaku destruktif laki-laki terhadap lingkungan sebagai sesuatu yang “alami” hanya akan mengunci potensi transformasi. Sebaliknya, melihat maskulinitas sebagai produk budaya dan sejarah membuka kemungkinan bagi perubahan relasi, baik dengan sesama manusia maupun dengan alam.
Namun, perubahan ini tak bisa terjadi tanpa kesediaan untuk menghadapi ketidaknyamanan. Laki-laki harus berani mengakui, menerima, dan bertanggung jawab atas kerusakan yang selama ini mereka hasilkan, baik terhadap perempuan maupun terhadap bumi. Beberapa langkah ke arah ini mulai terlihat, misalnya dalam pilihan untuk mengurangi konsumsi daging sebagai bentuk kesadaran atas kontribusi industri peternakan terhadap emisi karbon. Meski demikian, langkah-langkah ini barulah permulaan dari perjalanan panjang menuju transformasi yang lebih substansial.
Baca juga: Feminisme Juga Butuh Laki-laki
Mengurai maskulinitas, menumbuhkan kepedulian
Lantas, bagaimana laki-laki bisa berkontribusi lebih jauh? Saya tidak menawarkan resep ajaib. Membentuk laki-laki menjadi garda terdepan pelindung alam bukan perkara instan. Tapi, langkah awal bisa dimulai dengan menyadari bagaimana identitas maskulin dibangun dan diwariskan.
Sejak kecil, kita dipaksa masuk ke dalam kotak: biru untuk laki-laki, merah muda untuk perempuan; boneka untuk anak perempuan, action figure untuk anak laki-laki. Identitas ini tak sekadar simbol, tapi menjadi dasar bagaimana kita membentuk relasi dengan sesama dan dengan alam.
Sosiolog feminis asal Inggris, Sylvia Walby, menggambarkan bagaimana maskulinitas dikaitkan dengan ketegasan, inisiatif, dan rasionalitas, sementara feminitas dihubungkan dengan kelembutan, kepasifan, dan emosionalitas. Konstruksi ini menempatkan maskulinitas sebagai standar normatif untuk siapa yang berhak memegang kendali, termasuk atas alam.
Relasi yang berbasis dominasi ini melahirkan hubungan eksploitatif manusia dengan lingkungan. Dalam konteks ini, nilai caring yang selama ini dilekatkan pada feminitas, sebenarnya bisa dan perlu diinternalisasi oleh laki-laki. Dalam ekofeminisme, caring bukan sekadar empati, tapi sebuah prinsip etik: kepedulian, perawatan, dan tanggung jawab atas keberlanjutan hidup.
Baca juga: Feminisme Humanistik: Melawan Patriarki dengan Empati dan Kesadaran Kolektif
Menumbuhkan maskulinitas peduli (caring masculinity) bukan berarti menafikan kekuatan laki-laki, tetapi justru mendefinisikan ulang kekuatan itu sebagai keberanian untuk merawat, bukan menguasai.
Perjalanan ini dimulai dari kesadaran diri. Laki-laki perlu menyibukkan diri dengan pengetahuan tentang krisis ekologi dan praktik keberlanjutan. Mereka harus berani membongkar konstruksi lama yang mengasosiasikan maskulinitas dengan kekerasan dan eksploitasi. Tidak berhenti di kesadaran, laki-laki perlu terlibat aktif dalam membangun relasi yang adil, baik dengan perempuan maupun dengan alam.
Merebut kembali definisi maskulinitas yang lebih adil dan berkeadilan ekologis bukanlah soal menjadi pahlawan, tetapi soal mengambil tanggung jawab yang selama ini diabaikan.
Dengan itu, laki-laki bisa menjadi bagian dari perjuangan ekofeminisme. Bukan sebagai penyelamat, tapi sebagai sesama penjaga kehidupan.
Tian Adhia Nugraha, Lulusan Magister Politik dan Pemerintahan Universitas Gadjah Mada, Peneliti di Kamufisa Green Initiative.
