Di Balik ‘Omon-Omon’ IKN, Ada Ruang Hidup Rakyat Sepaku yang Direbut Paksa
Kebanjiran di musim hujan, kekeringan di musim kemarau. Setidaknya, itulah kondisi masyarakat adat Suku Balik, di Desa Sepaku, Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur belakangan. Sejak pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) kian digencarkan, hidup masyarakat di sana tak kunjung membaik. Sumber air dan penghidupan mereka kian terkikis.
Adalah “Dewi”, salah satu masyarakat Desa Sepaku yang dirugikan sejak Ibu Kota Nusantara (IKN) mulai dibangun. Terlebih saat Bendungan Sepaku Semoi diresmikan pada 2024 silam. Dewi bilang, dam yang sedianya jadi sumber air utama di IKN ini telah menutup akses air untuk ia dan warga Desa Sepaku lainnya.
Melansir laman resmi Presiden RI, Bendungan Sepaku Semoi merupakan tempat penampungan air baku utama untuk IKN. Memiliki kapasitas tampung sampai 16 juta meter kubik, bendungan tersebut punya luas genangan mencapai 322 hektare. Selain ditujukan untuk IKN, air bendungan juga diharapkan dapat mengatasi kebutuhan air bersih di sebagian wilayah Kota Balikpapan.
Kepada Magdalene, Dewi kecewa akan hal ini. Menurutnya, fokus pemerintah untuk memenuhi kebutuhan air bersih di IKN dan sekitar Balikpapan justru mengorbankan hidup masyarakat sekitar. “Yang di sana dipenuhi airnya, tapi kita di sini susah sekali dapatkan itu (air),” terangnya.
Baca juga: Perempuan Desa Rendu: ‘Pembangunan Waduk Merampas Hidup Kami’
Hidup Sulit di Tanah Sendiri
Sebagai salah satu sumber penghidupan, hilangnya akses air jadi persoalan buat masyarakat Desa Sepaku. Sebelum akhirnya diberi batas dan beton, masyarakat setempat bisa bebas memompa air sungai untuk kebutuhan hidup sehari-hari.
Namun situasi berubah sejak pembangunan bendungan semakin masif dilakukan, bahkan sampai menutup bibir sungai. Kini, masyarakat setempat perlu membeli air bersih untuk kebutuhan mandi sampai minum sehari-hari.
“Budi”, salah satu warga terdampak mengatakan pengeluarannya bertambah signifikan hingga Rp500 ribu semenjak akses air ditutup. Hal ini terjadi lantaran ia perlu membeli air bersih dari pemasok. Dibandreol dengan harga Rp70 sampai Rp80 ribu per tandon, Budi dan warga lainnya kini harus merogoh kocek lebih dalam hanya demi memenuhi kebutuhan air.
“Sekarang beli. Saya enggak cukup uang untuk buat sumur. Cuma dengan beli itu aja kita bisa hidup,” terang Budi kepada Magdalene (16/4).
Tidak hanya menutup akses warga ke air bersih, betonisasi yang terjadi di bibir sungai nyatanya juga menghilangkan banyak tanaman yang hanya bisa tumbuh di tepi sungai. Dewi menjelaskan, sebelumnya ada banyak tanaman pakis di pinggir sungai yang bisa jadi bahan makanan. Kini, tanaman itu hilang. Sumber penghidupan warga banyak berkurang.

Selain itu, imbuh Dewi, pemutusan akses ke sungai juga membuat warga desa harus merasakan banjir dan genangan air yang tak kunjung surut. Di beberapa kebun warga, air yang menggenang pun banyak membuat tanaman dan pohon mati. Seperti pohon langsat milik warga, misalnya.
“Ini pohon-pohon dulunya berbuah subur. Sekarang terendam begini ya mati,” kata Dewi.

Di lain sisi, genangan ini juga jadi sumber penyakit belakangan. Bersarang tepat di bawah rumah warga, genangan air jadi sarana pas untuk nyamuk berkembang biak. Akibatnya, sebagian warga terutama anak-anak, harus mengalami demam berdarah dengue (DBD).
“Ini kami belum lama juga baru kembali dari rumah sakit. Anak-anak itu sekarang banyak yang kena DBD karena air menggenang di bawah rumah itu,” imbuhnya.
Saat ditemui pada Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Aliansi Masyarakat Adat Nusantara ke-VIII (14/4), Alimuddin, Deputi Sosial Budaya dan Pemberdayaan Masyarakat Otorita IKN, bilang tidak ada niat buruk dari pemerintah untuk menyengsarakan masyarakat sekitar IKN, termasuk warga Desa Sepaku.
Terkait krisis air yang terjadi di daerah ini, Alimuddin justru berdalih warga bisa menuntut otorita apabila masih ada persoalan air di daerah tersebut.
“Jangan khawatir soal air bersih. Warga bisa tuntut saya.” Namun, klaim ini tentu tidak sesuai dengan yang terjadi di lapangan.

Baca juga: Kejutan Jokowi Membuka Ekspor Pasir Laut Tak Peduli Riset: Perempuan dan Lingkungan Dikorbankan
Lenyapnya Situs Ritual Masyarakat Adat Balik
Sebagai bagian dari Komunitas Masyarakat Adat Suku Balik, warga di Desa Sepaku juga banyak kehilangan tempat ritual adat semenjak pembangunan bendungan digencarkan. Dewi menjelaskan, salah satu situs yang kini entah ada di mana adalah Batu Badok (badak), tempat di mana warga Desa Sepaku melakukan ritual adat.
Lokasi yang kental akan nilai sejarah ini ikut tenggelam sejak bendungan diresmikan. Dari penuturan Dewi, Masyarakat adat pun kini tidak lagi punya akses untuk melihat apalagi melakukan ritual di lokasi tersebut.

Selain hilangnya Batu Badok, lokasi sungai sebagai tempat melarung aneka makanan sebagai sajian pun kian sulit ditemukan. Sebelumnya, Dewi bersama ibu-ibu lain di Desa Sepaku secara rutin melakukan ritual pelarungan ragam makanan sebagai wujud syukur pada leluhur, atau biasa disebut Larung Jakit Baru. Hal ini juga dilakukan apabila salah satu anggota keluarga ada yang ingin punya hajat maupun jatuh sakit. Namun kini semua itu sulit dilakukan.
“Mau enggak mau kita cari sungai lain yang bisa jadi tempat larung makanan itu,” terang Dewi.
Baca juga: Berebut Air di IKN dan Sekitarnya: Bagaimana Agar Pengelolaannya Lebih Adil?
Omon-Omon Masa Depan IKN
Selepas melakukan penolakan, sebenarnya warga beberapa kali sempat diajak berdiskusi dan diberikan janji soal masa depan oleh pihak otorita. Katanya, warga desa akan ikut sejahtera seiring dengan dibangunnya bendungan dan juga IKN.
Namun, janji-janji tersebut lewat begitu saja. Teranyar, puluhan warga desa yang dijanjikan jadi tenaga pengamanan (security) di kawasan bendungan harus mengubur harapannya dapat sumber penghidupan baru. Setelah beberapa bulan melakukan pelatihan di tahun 2024, tidak ada satu pun warga desa yang mendapat sertifikat, apalagi kesempatan bekerja di IKN.
Dari penuturan Budi, pada akhirnya, orang-orang dari luar pulau Kalimantan lah yang mengisi posisi yang telah dijanjikan tersebut. “Enggak ada itu kami jadi security di sana. Sekarang isinya orang-orang dari Jawa.”
Hal serupa juga disebutkan oleh Dewi. Kepada perempuan di Desa Sepaku, pihak otorita menjanjikan banyak pelatihan, seperti kerajinan anyaman sampai tata boga. Sampai artikel ini ditayangkan, pelatihan itu pun tak kunjung dilaksanakan. Janji-janji kompensasi atas perenggutan sumber penghidupan warga tak ada satupun yang terlaksana.
“Sudah janji bikin pelatihan anyaman, tidak juga. Pelatihan tata boga, tidak juga. Enggak ada yang kejadian satupun. Sudah habis tata kelola hidup kami ini,” terang Dewi.
Bertahan dan Memanfaatkan yang Tersisa
Setelah akses air bersih terputus, kini warga bertahan dengan kemampuan yang tersisa. Beberapa dari mereka yang tidak mampu membeli air dari pemasok pun memilih untuk menadah air hujan dan mengalirkannya ke tandon-tandon air mereka.

Untuk warga yang memiliki lahan di atas bukit, beberapa dari mereka memilih untuk membuka lahan dan membangun tempat tinggal baru. Seperti Pandi, misalnya. Ia pun memilih untuk pindah ke atas bukit lantaran tak tahan lagi hidup di rumah lamanya.
Selepas sumber penghidupannya di bawah semakin terkikis, Pandi memilih untuk membangun tempat tinggal di dekat kebunnya di kawasan bukit bersama sang istri.

“Di bawah (Desa) sudah terlalu bising. Air sudah jelek, tapi saya masih harus tetap cari uang untuk keluarga. Jadi saya di sini, sambil mempersiapkan tanaman yang bisa ditanam. Sekarang mau tanam padi gunung,” tutup Pandi.
















