Environment

Kejutan Jokowi Membuka Ekspor Pasir Laut Tak Peduli Riset: Perempuan dan Lingkungan Dikorbankan

Tidak hanya merusak lingkungan hidup, ekspor pasir laut yang sebelumnya dilarang puluhan tahun ini punya potensi besar menghancurkan kehidupan perempuan pesisir.

Avatar
  • September 23, 2024
  • 6 min read
  • 785 Views
Kejutan Jokowi Membuka Ekspor Pasir Laut Tak Peduli Riset: Perempuan dan Lingkungan Dikorbankan

Pemerintahan Joko Widodo tidak berhenti memberi kejutan di akhir masa jabatannya. Belakangan, pemerintah secara resmi membuka keran ekspor pasir laut, setelah sebelumnya 20 tahun dihentikan. 

Pelegalan ini ditandai dengan munculnya Permendag Nomor 20 Tahun 2024 dan Permendag Nomor 21 Tahun 2024 tentang Kebijakan Dan Pengaturan Ekspor. Sebagai aturan turunan dari Pemerintah (PP) No 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut, aturan ini telah jadi tanda resmi bahwa pasir laut kembali jadi komoditas ekspor yang prakteknya dilegalkan oleh negara. 

 

 

Kemunculan peraturan ini sontak memunculkan banyak sentimen dari masyarakat. Pasalnya, pelegalan ekspor pasir laut sempat jadi praktek terlarang karena besarnya dampak yang dapat ditimbulkan terhadap negara. Seperti yang terjadi pada zaman pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), misalnya. Dilansir dari Antara, ekspor pasir laut akhirnya dihentikan karena sempat menghilangkan dua pulau kecil, yakni Pulau Nipah dan Sebatik, Batam, Kepulauan Riau, karena proses pengerukan berlebihan. 

Berbagai riset pun muncul dengan temuan yang sama. Tambang pasir laut punya banyak kerugian terhadap lingkungan, masyarakat, sampai pendapatan negara. Seperti riset yang dilakukan oleh Surianti, dkk, misalnya. Dalam penelitian “Analisis Dampak Penambangan Pasir Laut Terhadap Lingkungan Dan Sosial-Ekonomi Di Desa Kamelanta Kecamatan Kapontori Kabupaten Buton” (2023), Surianti menemukan bahwa tambang pasir laut punya potensi besar meningkatkan erosi pantai, menyebabkan kerusakan ekosistem laut, sampai menurunkan kualitas lingkungan perairan laut dan pesisir pantai. 

Baca juga: Transisi Energi yang Berkeadilan: Mengapa Perempuan Harus Terlibat?

Muhammad Al-Amin, Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sulawesi Selatan pun mengamini hal ini. Sebagai pendamping masyarakat pesisir Pulau Kodingareng, Makassar, Sulawesi Selatan, yang wilayahnya terdampak praktek tambang pasir laut, ia melihat dengan mata kepala sendiri bahwa aktivitas tambang telah merusak lingkungan hidup masyarakat sekitar. Ia pun menambahkan bahwa perempuan jadi kelompok yang paling terdampak dari praktek satu ini. Beban pengaturan ekonomi rumah tangga jadi salah satu penyebab utamanya. 

“Masyarakat nelayan pulau Kodingareng itu kurang lebih mengalami kerugian sampai Rp 83 miliar totalnya. Ini mencakup tangkapan yang hilang, abrasi, sampai kerusakan lingkungan yang terjadi di daerah mereka. Perempuan jadi kelompok paling terdampak. Meskipun enggak terlibat dalam kegiatan perikanan, tetapi perempuan punya peran dalam pengelolaan perekonomian rumah tangga,” papar Amin kepada Magdalene (18/9). 

Beban Ganda, Utang, Sampai Kesulitan Menyekolahkan Anak

Salah satu kerugian pasti yang perlu dihadapi oleh masyarakat pesisir akibat tambang pasir laut adalah hilangnya kawasan memancing, akibat kerusakan lingkungan dan juga ekosistem laut. Kehilangan ini tentu akan diikuti dengan macetnya perputaran uang di kawasan tersebut, akibat ketiadaan pendapatan para nelayan. 

Sebagai pihak yang bertanggung jawab dalam pengelolaan keuangan keluarga, perempuan tentu jadi pihak yang paling sengsara. Dalam kasus dampingannya, Amin menemukan bahwa kelompok perempuan di Pulau Kodingareng, sempat merasa stres karena perlu memutar otak terus-terusan untuk mencukupi kebutuhan keluarga. Hal ini juga berkaitan dengan beban ganda perempuan yang perlu mengurus urusan rumah sekaligus mencari nafkah tambahan. 

“Ketika income nelayan itu menurun, atau bahkan tidak ada sama sekali, perempuan pasti jadi kelompok paling pusing dan stres. Mereka itu kan yang atur urusan rumah dan keuangan juga. Di kasus tersebut, perempuan sampai perlu memutar otak lagi, memikirkan bagaimana caranya agar anak-anak ini bisa makan, bisa tetap hidup,” jelas Amin. 

Keruwetan ini tentu tidak berhenti di sana. Kemacetan sirkulasi keuangan juga punya dampak signifikan terhadap kendala pendidikan anak, akibat hilangnya sumber mata pencarian warga setempat. 

Pada sebuah riset di Pulau Kodingareng, Megawati, lewat “Perempuan Sebagai Aktor Penggerak: Perjuangan Perempuan Kodingareng Melawan Korporasi Tambang Pasir Laut” (2022), menemukan bahwa sebelum adanya operasi tambang, perempuan-perempuan di Kodingareng dapat mengatur kebutuhan hidup dengan mudah. Penghasilan para nelayan cukup untuk kebutuhan hidup mereka, bahkan bisa untuk menabung biaya anak-anaknya bersekolah. Namun, setelah tambang pasir laut beroperasi, kebutuhan ini sulit untuk dipenuhi. Kesempatan untuk menyekolahkan anak pun pupus akibat praktek ini

Dari penuturan Amin sendiri, setidaknya ada puluhan siswa SMA yang sampai putus sekolah di Pulau Kodingareng akibat operasi tambang pasir laut. Hal ini terjadi karena kini para orang tua sudah tidak mampu lagi membiayai pendidikan anak. 

“Kurang lebih ada 26 anak-anak SMA itu putus sekolah karena tidak mampu membayar SPP. Seperti yang tadi dijelaskan, ini terjadi karena uangnya sudah tidak ada. Sumber pendapatan dari kegiatan nelayan sudah hilang,” ujar Amin.

Ketiadaan pendapatan dari nelayan juga bisa berujung pada praktik utang yang kian meningkat. Di beberapa kasus terparah di Kodingareng, Amin mendapati bahwa terdapat lonjakan utang perempuan secara signifikan sejak operasi tambang terjadi. 

“Ketika mereka tidak punya uang, mereka cenderung berhutang. Jadi mereka ini mengutang di tempat-tempat lain untuk bisa bayar uang sekolah, makan, dan hidup. Waktu itu lonjakan utang perempuan-perempuan di sana naik secara signifikan sampai lima kali lipat. Tentu ini jadi masalah serius,” jelas Amin.

Baca juga:  Perempuan Desa Rendu: ‘Pembangunan Waduk Merampas Hidup Kami’

Migrasi Jadi Opsi Terakhir

Kerusakan lingkungan yang ditimbulkan dari operasi tambang pasir laut tentu menyisakan lingkungan hidup yang tidak layak huni. Masih dalam penelitian Megawati, para perempuan yang jadi subjek penelitian menuturkan bahwa mereka cukup khawatir dengan kondisi tempat tinggal mereka. Pengikisan daratan punya potensi besar menenggelamkan pulau kecil ini. 

Beberapa dari kelompok perempuan juga menyadari bahwa tempat tinggal mereka sudah tidak bisa menjamin kehidupan ke depan. Yang terparah, hilangnya sustainabilitas kawasan hidup di sana diprediksi dapat mengakhiri keberadaan pulau kecil mereka. 

Berdasarkan pengalaman Amin mendampingi warga Kodingareng, beberapa perempuan dan keluarganya memang sudah banyak yang ditemukan pindah ke tempat lain. Hal ini juga terjadi karena peningkatan utang yang semakin tidak terbendung, sehingga mengharuskan mereka menjual semua asetnya dan pindah ke lokasi baru. 

“Karena peningkatan utang-utang perempuan ini, banyak dari mereka yang akhirnya harus pindah meninggalkan rumah, kampungnya, ke tempat lain, bahkan provinsi lain, untuk bisa mencari kehidupan yang lebih layak. Jadi bahkan, ada beberapa dari mereka yang harus meninggalkan anaknya, keluarganya, aktivitas sebelumnya, untuk bisa mendapat sumber penghidupan yang lebih layak,” ujar Amin.

Tidak Ada Jalan Lain, Hentikan Ekspor Pasir Laut

Sebelum kehilangan lebih banyak pulau kecil di Indonesia, tidak ada jalan lain, praktek tambang pasir laut memang harus sesegera mungkin dihentikan. Izin ekspor sudah semestinya dibekukan demi kehidupan yang berkelanjutan bagi masyarakat sekitar. 

Menurut Amin, jika ini semua tidak diselesaikan, akan ada ribuan keluarga nelayan yang perlu bermigrasi, karena kawasan pesisir yang sudah tidak layak huni. Tentunya, hal ini memerlukan biaya yang tidak sedikit, dan pada akhirnya akan kembali merugikan negara. 

Meskipun memberikan keuntungan yang cepat, ekspor tambang pasir laut tetap tidak memberikan keuntungan yang signifikan bagi masyarakat pesisir di sekitarnya. Berdasarkan penuturan Amin, hal ini tentu tidak sebanding dengan dampak lingkungan, sosial, dan ekonomi, yang ditimbulkan dari operasi tambang satu ini. Maka dari itu, ia menyarankan untuk pengembangan ekonomi pesisir yang berkelanjutan, alih-alih menggalakan praktek tambang pasir laut di kawasan perairan. 

Baca juga: Tak Ada Tanah untuk Perempuan Mentawai

“Saya tahu bahwa ekspor pasir laut ini bisa mendatangkan keuntungan yang cepat bagi negara. Tapi, ini tidak memberikan keuntungan yang signifikan bagi masyarakat pesisir. Jadi ini tidak seimbang antara pendapatan negara dan dampak yang ditimbulkan. Mau dikonversi secara materi, uang untuk memulihkan lingkungan itu jauh lebih besar ketimbang pendapatannya. Sekali lagi, saya cuma menantang pemerintahan untuk mengembangkan ekonomi pesisir yang lebih sustain tanpa merusak laut dan memiskinkan masyarakat,” pungkasnya. 

Ilustrasi oleh: Karina Tungari



#waveforequality


Avatar
About Author

Syifa Maulida

Syifa adalah pecinta kopi yang suka hunting coffee shop saat sedang bepergian. Gemar merangkai dan ngulik bunga-bunga lokal

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *