Obsesi pada Pendidikan Anak, KDM Perlu Belajar dari Ki Hadjar Dewantara
“Pendidikan adalah tuntunan dalam hidup tumbuhnya anak-anak. Artinya, pendidikan menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya”. (hal.14)
Demikian kata Ki Hadjar Dewantara, sebagaimana dikutip dari buku Ki Hadjar Dewantara : Pemikiran, Konsepsi, Keteladanan, Sikap Merdeka (2013). Pemikiran tokoh yang dinobatkan sebagai Bapak Pendidikan ini kerap jadi landasan perumusan kebijakan pendidikan di Indonesia karena dianggap masih relevan hingga hari ini.
Bagi Ki Hadjar Dewantara, pendidikan berfungsi untuk menuntun anak agar dapat tumbuh dan berkembang sebelum terjun ke masyarakat. Ia memandang anak sebagai subjek aktif yang sedang tumbuh, bisa melakukan kesalahan, dan belajar darinya. Sistem pendidikan harus mampu menjadi ruang hidup yang mendukung anak dalam mengeksplorasi diri.
Namun, di balik bayangan ideal pendidikan ala Ki Hadjar Dewantara, masyarakat Jawa Barat justru dibuat resah dengan arah kebijakan pendidikan anak. Khususnya setelah Gubernur Jawa Barat Kang Dedi Mulyadi (KDM), mengeluarkan berbagai kebijakan pendidikan yang dinilai bermasalah.
Sebut saja kebijakan pengiriman siswa “nakal” ke barak militer, masuk sekolah pukul 06.30 pagi, hingga pemberlakuan jam malam. Ketiga kebijakan tersebut menurut saya berfokus pada kontrol tubuh dan waktu anak, bahkan terkesan mengglorifikasi model pendidikan militer yang cenderung represif.
Lebih jauh, KDM kerap mengusung narasi tentang pendisiplinan dan kepatuhan dalam setiap kebijakannya. Namun, alih-alih menumbuhkan kesadaran melalui pemikiran kritis, pendekatan yang digunakan justru berbasis pada larangan dan pengawasan berlebih, yang hanya akan menghasilkan ketakutan dan kepatuhan semu.
Baca Juga: Sekolah Anak Korban Perceraian Bermasalah? Salahkan Saja Ibunya
Metode yang dipilih KDM jelas jauh menyimpang dari apa yang telah dirumuskan oleh Ki Hadjar Dewantara. Alih-alih mencari masalah struktural di baliknya, pendekatan represif ini menjadikan anak sebagai objek pasif yang dibentuk oleh penguasa.
Padahal Ki Hadjar pernah memperkenalkan konsep Tri Sentra Pendidikan. Maksudnya, pendidikan anak dipengaruhi oleh tiga lingkungan: Keluarga, sekolah, dan masyarakat. Maka, saat terjadi penyimpangan perilaku, perlu dilacak lingkungan mana yang bermasalah dan harus diperbaiki.
Mengirim anak ke barak militer seolah-olah memperlakukan mereka seperti barang rusak yang dikirim ke bengkel untuk diperbaiki. Padahal, anak bukan barang. Jika pendekatan semacam ini terus dibiarkan, kita hanya akan menghasilkan generasi yang penuh ketakutan dan kepatuhan semu, bukan generasi yang berpikir kritis dan merdeka.
Jika menelaah arah kebijakan KDM, bisa jadi ia memang menginginkan generasi yang hanya patuh tanpa memahami alasan dari kepatuhan itu. Hal ini tentu berbahaya, karena akan menciptakan generasi yang tidak kritis terhadap kekuasaan dan membuka jalan bagi rezim otoriter yang antikritik.
Baca juga: Surat Terbuka untuk Dedi Mulyadi: Sebagai Warga Jabar, Saya Kecewa
Pendidikan ala KDM, Sama dengan Kolonial?
Pendekatan pendidikan ala KDM mengingatkan saya pada pola pendidikan kolonial yang pernah dikritik Ki Hadjar Dewantara. Saat itu, Belanda memang memperbolehkan kaum pribumi untuk bersekolah, tetapi bukan untuk mencerdaskan mereka agar bisa merdeka, melainkan sebagai pemasok tenaga kerja bagi pemerintahan kolonial.
“Sekolah-sekolah pemerintah (Belanda) hanya mendidik anak-anak Indonesia menjadi alat yang patuh bagi pemerintahan kolonial”. (hlm. 78)
— Menuju Manusia Merdeka, Ki Hadjar Dewantara
Jika dicermati, pola ini tidak jauh berbeda dengan pendekatan KDM. Keduanya sama-sama menekankan kepatuhan yang bersumber dari ketakutan. Kolonialisme mencetak tenaga kerja patuh, sementara KDM tampaknya ingin menciptakan generasi yang “tertib” dan “diam”.
Padahal, bagi Ki Hadjar Dewantara, pendidikan seharusnya menumbuhkan keinginan untuk merdeka baik secara bangsa maupun sebagai manusia yang utuh.
Melihat sejarah panjang penjajahan di Indonesia, Ki Hadjar menyadari rakyat masih membawa luka batin berupa rasa rendah diri. Maka, kemerdekaan yang dibutuhkan tidak hanya bersifat politik, tetapi juga jiwa dan pikiran.
Belanda memang sudah diusir dari Indonesia, tetapi jika sistem pendidikannya kembali diterapkan, itu bukan kemajuan melainkan kemunduran. Bukan menyiapkan generasi emas 2045, melainkan menciptakan generasi cemas.
Baca Juga: Pendidikan Perubahan Iklim buat Anak-anak, Apa Pentingnya?
Kembali ke Ki Hadjar
Untuk menyiapkan generasi emas 2045, sebenarnya Ki Hadjar sudah memberikan contoh nyata sistem pendidikan yang relevan dengan kebutuhan Indonesia. Pendirian Taman Siswa adalah wujud konkret dari gagasannya. Ini merupakan lembaga pendidikan yang berbasis pada kemerdekaan berpikir dan kodrat anak.
Taman Siswa enggak cuma menjadi tempat belajar, tetapi juga ruang hidup di mana anak-anak tumbuh merdeka, berpikir kritis, dan mengenali jati dirinya sebagai manusia agar mampu berperan dalam masyarakat.
Pendekatan yang digunakan tidak memaksa, apalagi represif. Sebaliknya, ia bersifat manusiawi disesuaikan dengan kodrat anak dan konteks sosial-budayanya. Inilah pendekatan yang seharusnya diadopsi dalam sistem pendidikan kita hari ini, bukan model yang menekan dan menakut-nakuti.
Arah pendidikan yang seharusnya memerdekakan anak, membentuk manusia yang sadar dan bertanggung jawab atas kemerdekaannya sendiri, kini justru menghilang. Sekolah dan kebijakan pendidikan makin menyerupai pabrik yang mencetak anak sesuai standar para pembuat kebijakan tanpa ruang untuk bertumbuh sebagai manusia merdeka.
















