Beberapa waktu lalu, ketika sedang asyik berselancar di platform X (dulunya Twitter), aku menemukan unggahan yang menyentuh hati. Isinya tentang perempuan yang membagikan kebahagiaan setelah menerima hadiah tak terduga dari kekasihnya: Vaksin Human Papillomavirus (HPV), untuk mencegah infeksi virus penyebab kanker serviks.
“Aku minggu kemarin alhamdulillah dihadiahin pasangan Vaksin HPV buat persiapan nikah. Dulu padahal pernah sempet ngebatin ‘nanti deh aku Vaksin HPV kalo ada uangnya,’” tulis akun @delaeaea.
Unggahan ini sempat viral, menuai berbagai respons. Ada yang memberi ucapan selamat, ada juga yang mengutarakan harapan—bukan cuma mau vaksinnya, tapi juga pasangan yang peduli soal kesehatan reproduksi.
Seperti komentar dari akun @putrikecilmuu, “Semoga bisa punya pasangan yg sadar kayak gini yaa, tau pentingnya vaksin HPV” atau dari @shouuch, ia menulis “Masyaallah banget ya Allah manifesting dapat cowok sepengertian ini”
Di samping itu, aku juga menemukan respons bernada miris. Salah satunya, dari pengguna akun X @Cerealisa yang bilang, “Mau juga. Ga bisa dicover BPJS aja apa? Iri banget kak.” Aku yakin komentar ini mewakili isi hati banyak perempuan yang ingin divaksin tapi masih terhalang akses finansial.
Harganya memang relatif mahal. Dikutip dari Halodoc, vaksin HPV bisa dibanderol mulai dari Rp800 ribu hingga Rp2,5 juta per dosis. Untuk perlindungan yang efektif, butuh 2-3 dosis. Sudah terbayang bukan berapa kocek yang harus dikeluarkan? Variasi harga ini biasanya dipengaruhi oleh ketersediaan stok vaksin, jumlah dosis, biaya admin, fasilitas, lokasi, hingga reputasi rumah sakit.
Sayangnya, menurut Dr. Med. dr. Supriyatiningsih, Sp.OG., M.Kes., Dosen di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, dikutip dari UMY News, tingginya harga vaksin jadi salah satu hambatan utama yang membuat cakupan vaksinasi ini masih rendah.
Enggak heran kalau kemudian vaksin HPV dianggap sebagai self-reward bagi sebagian netizen di X. Seperti yang ditulis akun @gutdayy, “Aku juga lagi nyoba nabung buat menghadiahi diri sendiri vaksin HPV,” dan akun @aldapstsr, “Kado ultah gue buat diri sendiri nanti mau vaksin HPV kali ya, karena gue tau harganya ga murah.”
Wajar saja para perempuan sangat mendambakan kesempatan untuk divaksin. World Health Organization (WHO) pada 2021 mencatat Asia Tenggara, termasuk Indonesia—adalah salah satu wilayah dengan tingkat kasus dan angka kematian akibat kanker serviks tertinggi di dunia.
Kondisi di Indonesia sendiri memperkuat temuan tersebut. Kanker serviks menjadi salah satu ancaman kesehatan paling menakutkan bagi perempuan–menempati posisi kedua paling berbahaya setelah kanker payudara.
Melansir Republika, Prof. Dr. dr. Andrijono, Sp.OG (K), Ketua Dewan Penasihat Himpunan Onkologi Ginekologi Indonesia, menyebut setiap harinya ada 89 kasus baru kanker serviks, dengan 57 di antaranya berujung kematian. Bahkan, data dari Rumah Sakit Umum Pusat nasional (RSUPN) Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta mengungkap 94 persen pasien kanker serviks meninggal dalam kurun waktu dua tahun sejak diagnosis.
Di antara berbagai komentar mengenai ucapan selamat hingga perjuangan self-reward—yang mayoritas datang dari perempuan—ada komentar dari laki-laki yang terkesan romantis sekaligus membuatku merenung sejenak saat membacanya. “Bisa jadi ide kado ultah buat pacar/ istri (kalau udah ada): vaksin HPV,” tulis akun X @styn_p.
Dari situ, aku langsung terpikir dua hal. Pertama, kita mungkin sedang menyaksikan evolusi dalam cara memaknai love languages yang lebih luas, melampaui hal-hal material. Kisah @delaeaea yang menerima hadiah vaksin HPV dari sang kekasih terasa begitu menyentuh, mengingat jarang ada yang memerhatikan kesehatan reproduksi. Bahkan temanku mengonfirmasi kisah tersebut mencerminkan ekspresi cinta yang bermakna dan fungsional, karena manfaatnya yang nyata serta jangka panjang.
Kedua, aku jadi bertanya-tanya: Bagaimana nasib perempuan yang pasangannya belum sadar soal pentingnya kesehatan reproduksi? Atau mereka yang pasangannya belum mampu memberikan dukungan finansial? Atau bagaimana dengan perempuan yang lajang? Apa iya akses vaksinasi harus melulu bergantung pada kesadaran dan kemampuan finansial individu atau pasangan?
Baca juga: ‘Love Language Act of Service’: Ketika Cinta Bicara lewat Aksi Nyata
Love Language Baru: Ketika Vaksin HPV Jadi Ungkapan Cinta
Konsep love languages yang diperkenalkan Gary Chapman dalam bukunya The Five Love Languages: How to Express Heartfelt Commitment to Your Mate (1995), acts of service, words of affirmation, physical touch, quality time, dan receiving gifts. Selama tiga dekade kategorisasi ini telah menjadi acuan banyak orang dalam memahami bagaimana bahasa cinta itu diekspresikan dan diterima.
Fenomena hadiah vaksin HPV yang diperbincangkan di X bikin aku melihat perluasan makna dari receiving gifts. Hadiah enggak lagi soal barang mewah atau kejutan manis yang bikin salah tingkah. Dalam konteks ini, hadiah jadi wujud kepedulian yang terasa sangat dekat–ngasih sesuatu yang benar-benar riil dibutuhkan, dan relevan sama kehidupan orang yang kita sayangi.
Seperti dijelaskan oleh Katie Blake, psikolog sosial dan budaya di Amarillo College, dalam tulisannya Why gift-giving is not a shallow love language, hadiah yang paling berarti bukan ditentukan dari harga, ukuran, atau gengsi tapi dari seberapa personal hadiah itu.
Personalisasi adalah kata kunci, aku yakin seseorang yang memberikan hadiah vaksin HPV pasti sudah melalui berbagai tahap, yang kalau dipikir-pikir, justru merangkum semua bentuk love languages yang dipopulerkan Chapman itu.
Ia telah meluangkan waktu untuk mencari tahu informasi soal vaksin HPV, membaca risiko dan manfaatnya, dan membandingkan harga. Ia enggak berhenti pada ucapan “aku peduli kesehatan kamu”. Namun ia mewujudkannya dalam tindakan nyata. Vaksin itu sendiri memang gift, tapi bukan “sekadar” hadiah, karena menyasar kebutuhan paling mendasar dalam hidup perempuan: Keselamatan tubuh.
Bahkan, meski tanpa sentuhan, mungkin justru di sinilah letak physical touch yang paling dirindukan—karena melalui 2-3 dosis suntikan kecil itu, ada ungkapan cinta yang paling konkret dan sulit ditandingi.
Tindakan yang lahir dari kesadaran semacam ini bisa banget jadi core memory yang manis dan semakin memperkuat hubungan. Cindy Chan, Profesor Pemasaran dari University of Toronto, dalam karyanya Experiential Gifts Foster Stronger Social Relationship than Material Gifts (2017) menyebut hadiah berupa pengalaman justru lebih efektif mempererat hubungan, ketimbang hadiah barang.
Alasannya, hadiah pengalaman sering kali memunculkan emosi positif yang lebih mendalam, terutama saat manfaat dari hadiah itu benar-benar dirasakan. Efek ini tetap muncul, baik ketika hadiah pengalaman itu dinikmati bersama atau tidak.
Menariknya, dari sisi pemberi, memberikan hadiah seperti vaksin HPV ini bisa memberikan rasa kepuasan tersendiri. Menurut Elizabeth Dunn, Professor Psikologi Sosial dari University of British Columbia dalam risetnya Spending Money on Others Promotes Happiness (2008), mengeluarkan uang untuk membantu orang lain memenuhi kebutuhannya, bisa jauh lebih membahagiakan daripada hanya membelanjakan uang untuk kepentingan diri sendiri.
Baca juga: Love Language Receiving Gifts yang Sering Disalahartikan
Saat Cinta Mengisi Kekosongan Peran Negara
Di tengah mahalnya harga vaksin, tak sedikit orang harus menabung lama atau berharap ada orang lain yang bersedia menghadiahkannya.
Relasi asmara pun jadi tampak overfunctional–mengambil tanggung jawab berlebihan, sampai menggantikan peran negara yang harusnya menjamin hak kesehatan warganya. Tindakan individual, seberapa pun tulusnya, tidak seharusnya menjadi solusi utama bagi masalah struktural.
Miris rasanya melihat vaksin yang dirancang untuk menyelamatkan “nyawa” seseorang, justru dikondisikan sebagai “hadiah”. Padahal, vaksin HPV adalah kebutuhan dasar yang semestinya menjadi hak warga negara, bukan privilege dari pacar yang peduli.
Di negara-negara Britania Raya, vaksin HPV diberikan gratis sejak 2008 oleh National Health Service, fasilitas pelayanan kesehatan sejenis BPJS di Indonesia. Vaksin di sana menyasar anak usia 12–13 tahun di sekolah. Jika terlewat, vaksin tetap bisa diakses gratis hingga usia 25 tahun, bahkan sampai usia 45 tahun tergantung kelayakan medis.
Sementara di Indonesia, vaksinasi HPV secara nasional baru dimulai Agustus 2024. Setelah sebelumnya sejak 2016 hanya dilaksanakan terbatas di kota-kota besar, seperti Jakarta dan Surabaya. Pada 2024, vaksin ini diprioritaskan untuk anak usia 11–12 tahun atau siswa kelas 5-6 di sekolah dasar, atau maksimal usia 15 tahun setara kelas 3 SMP. Untuk perempuan usia 20–26 tahun, pemerintah baru berencana menggratiskannya pada 2027, dikutip dari Bloomberg Technoz.
Langkah ini layak diapresiasi. Namun, menurut pakar imunisasi dr. Elizabeth Jane Soepardi, dalam keterangannya di BBC, Indonesia sebetulnya sudah bisa menggelar program imunisasi HPV sejak 2005 lewat dukungan vaksin gratis dari GAVI (Global Alliance for Vaccines and Immunization). Sayangnya, bantuan itu ditolak oleh menteri kesehatan yang menjabat kala itu.
Baca juga: Perempuan, Kelompok Rentan Hadapi Diskriminasi dalam Akses Layanan Kesehatan Seksual dan Reproduksi
Kalau vaksin HPV hanya bisa diakses melalui relasi asmara, bukan melalui relasi negara dengan warga negara–lewat sistem jaminan kesehatan publik, kondisi ini memperlihatkan betapa negara tidak hadir. Khususnya bagi perempuan yang tidak memiliki pasangan, hidup dalam keterbatasan ekonomi, atau berada di luar kelompok prioritas target sasaran penerima program vaksin. Mereka akan menjadi kelompok yang paling rentan berisiko terkena kanker serviks.
Bayangkan demi bisa sehat dan terlindungi dari kanker serviks, perempuan harus lebih dulu punya pasangan yang peduli dan cukup mampu secara finansial.
Mungkin akan ada orang yang bilang “Ya, ngasih vaksin HPV itu kan juga bagian dari love language.”
Memang sah-sah saja bahasa cinta dimanifestasikan dalam bentuk hadiah apa pun. Namun, kalau kita sudah sampai di titik menormalisasi hadiah vaksin HPV sebagai bentuk baru love language, dengan kata lain, kita sedang membiarkan negara bertindak kurang ajar dan malah keenakan absen dari tanggung jawabnya–menjamin akses kesehatan yang setara bagi seluruh warganya.
















