Menemani dari Nol, Ditikam saat Sukses: Saatnya Bicara soal ‘From Zero to Hero Syndrome’
Fenomena From Zero to Hero Syndrome lagi ramai banget dibahas di media sosial. Istilah ini dipakai buat menggambarkan perubahan sikap dan pola pikir laki-laki setelah mereka mencapai kesuksesan besar dalam hidupnya, baik karier, finansial, atau status sosial.
Dalam konteks hubungan romantis, sindrom ini sering kali muncul dalam bentuk laki-laki yang memilih meninggalkan pasangannya, perempuan yang setia mendampinginya sejak masa-masa sulit. Ketika hidupnya mulai stabil dan sukses, ia merasa punya ruang dan kuasa untuk memilih ulang, termasuk soal pasangan.
Alasannya bisa macam-macam: ari pergaulan sosial yang berubah, kepercayaan diri yang melonjak drastis, tekanan dari lingkungan baru, sampai ego yang merasa pantas dapat “yang lebih baik” karena sudah susah payah membangun hidup dari nol.
Dampaknya? Perempuan yang dulu jadi support system utama justru terpinggirkan dari kehidupan sang laki-laki versi barunya. Di titik ini, banyak perempuan merasa kecewa, dikhianati, bahkan mempertanyakan kembali makna kesetiaan.
Lalu, pertanyaannya: gimana sebaiknya perempuan menyikapi sindrom from zero to hero ini? Apa yang bisa dilakukan agar enggak terus-menerus terjebak dalam siklus “berjuang bareng, ditinggal pas menang”?
Baca Juga: Cinta Virtual, Cinta yang Aman: Apa yang Perempuan Cari dalam ‘Otome Game’?
Bagaimana Perempuan Bisa Hadapi From Zero to Hero Syndrome?
Menghadapi pasangan yang berubah sikap setelah sukses tentu enggak mudah, apalagi kalau kamu sudah banyak berkorban sejak awal. Dikutip dari Kompas, Fenomena From Zero to Hero Syndrome, Salahkah Menemani Pasangan dari Nol?, menurut psikolog klinis Melisa, M.Psi, hal pertama yang harus kamu lakukan adalah validasi semua emosi yang muncul, entah itu sedih, kecewa, marah, atau bahkan muak.
Enggak perlu buru-buru kuat. Wajar banget kok kalau kamu merasa dikhianati setelah setia mendampingi dari nol. Melisa bilang, semua perasaan itu sah dan penting untuk dirasakan. Kalau kamu malah memendam atau mengabaikannya, proses penyembuhan justru bisa makin lama.
“Merasa kecewa, marah, sedih, jijik—itu normal banget. Itu tanda kamu masih manusia dan masih punya perasaan,” jelasnya.
Kalau kamu justru enggak merasakan apa-apa, bisa jadi ada luka lama yang belum kamu sadari atau belum kamu izinkan muncul ke permukaan.
Setelah kamu memberi ruang untuk semua emosi itu hadir dan mulai merasa lebih tenang, langkah selanjutnya adalah refleksi. Coba pikirkan ulang: apakah hubungan ini masih layak dipertahankan? Apa pelajaran yang bisa kamu ambil dari semua ini?
Dari titik refleksi itulah kamu bisa menilai dengan jernih, masih adakah ruang untuk hubungan ini diselamatkan, atau justru sudah waktunya kamu melepaskan?
Dikutip dari Mudadalah, From Zero to Hero Syndrome: Menemani dari Nol, Bertahan atau Tinggalkan?, berikut langkah Bijak Buat Kamu yang Lagi Menghadapi Sindrom Ini:
- Pahami Batasan Dukungan yang Sehat
Bantu pasangan itu baik, tapi jangan sampai mengorbankan diri sendiri. Kalau bantuannya bikin kamu burnout, atau merasa kehilangan jati diri, saatnya kamu tarik batas.
Dukungan yang sehat itu seimbang: kamu tetap bisa bilang “iya” ke dia tanpa bilang “tidak” ke dirimu sendiri.
Baca Juga: Putus Nyambung dalam Pacaran, Apakah Relasinya Sudah Karatan?
- Bangun Hubungan yang Setara
Dalam hubungan yang sehat, kontribusi dua belah pihak harus sama-sama dihargai. Jangan cuma kamu yang support impiannya, dia juga harus mendukung mimpimu.
Tanya ke diri sendiri: “Apakah aku merasa dihargai? Apakah pendapatku didengarkan?”
Kalau jawabannya “enggak yakin”, berarti ada yang harus dibicarakan.
- Jangan Tinggalkan Mimpi dan Jati Dirimu
Terlalu fokus mendukung pasangan bisa bikin kita lupa sama diri sendiri. Kamu tetap punya hak untuk mengejar cita-citamu, sekecil apa pun itu.
Jangan biarkan hubungan jadi satu-satunya identitasmu. Kamu bukan cuma “pasangannya siapa”, kamu adalah kamu, dengan keinginan dan hidupmu sendiri.
- Lakukan Evaluasi dan Komunikasi Secara Rutin
Sering kali kita bertahan di hubungan hanya karena sudah terlanjur lama. Padahal, bisa jadi visi kalian sudah enggak lagi sejalan.
Luangkan waktu buat ngobrol serius, bukan cuma soal “hari ini makan apa”, tapi juga soal kebutuhan emosional, harapan masa depan, dan saling dukung.
- Tetap Mandiri, Secara Finansial dan Emosional
Mendampingi pasangan bukan berarti ikut hidup dalam bayangannya. Kalau bisa, punya penghasilan sendiri. Punya tabungan pribadi. Bangun jejaring sosial dan emosional yang kuat, di luar pasangan.
Kemandirian bukan tanda kamu egois, tapi tanda kamu menghargai dirimu sendiri.
- Jangan Takut Cabut Kalau Hubungan Sudah tidak Sehat
Sering banget perempuan merasa tidak bisa pergi karena merasa “sudah terlanjur berkorban banyak”. Tapi bertahan di hubungan yang enggak sehat justru bisa lebih melukai dalam jangka panjang.
Kalau kamu terus merasa enggak dihargai, dimanipulasi, atau makin hari makin kehilangan dirimu, itu red flag.
Kamu berhak pergi. Enggak ada kata terlambat buat memprioritaskan kesehatan mental dan masa depanmu.
Baca Juga: Mengenal ‘Cushioning’: Punya Pasangan Cadangan di Relasi Romantis
Menemani dari Nol: Salah Enggak, Sih?
Enggak Salah, tapi Penting Buat Tahu Risikonya. Dikutip dari The Good Trade, How To Grow Alongside Your Partner-Even When You Change, menemani seseorang dari nol bukan kesalahan. Banyak yang menganggapnya bentuk cinta sejati, simbol kesetiaan, kesabaran, dan pengorbanan. Tapi di balik cerita yang kelihatan romantis, ada sisi yang sering luput dipikirkan. Niat baik untuk “berjuang bareng” kadang justru bikin kita kehilangan batasan, mengabaikan logika, bahkan menomorduakan diri sendiri.
Cinta yang Sehat Butuh Kesetaraan dan Timbal Balik
Hubungan ideal itu harusnya saling menguatkan. Kalau kamu sudah memilih untuk nemenin dari nol, mestinya ada pertumbuhan dua arah: kamu bantu dia bangkit, dan dia juga bantu kamu berkembang.
Tapi kalau kamu yang terus-terusan ngasih, berjuang, dan berkorban, sementara dia cuma menerima tanpa kontribusi berarti, relasi ini bisa jadi timpang.
Beberapa red flag-nya:
- Dia merasa semua bantuanmu adalah “hal wajar” tanpa pernah bertanya apa yang kamu butuhkan.
- Kamu takut ngomong atau menuntut karena takut dibilang “enggak sabar” atau “enggak ikhlas”.
- Tiap bahas masa depan bareng, dia malah menghindar.
Kalau itu yang terjadi, mungkin sudah saatnya kamu bertanya: hubungan ini masih sehat atau justru melelahkan?
Enggak Perlu Menunggu Validasi dari Pasangan
Salah satu jebakan besar dalam sindrom ini adalah harapan bahwa semua pengorbanan akan diganjar kesetiaan saat pasangan sukses. Banyak perempuan berpikir, “Kalau aku temani dia dari nol, nanti aku pasti jadi orang yang dia pilih sampai akhir.”
Padahal kenyataannya enggak selalu seindah itu. Tidak sedikit perempuan yang justru dilupakan setelah semua perjuangan panjang.
Makanya, penting banget untuk belajar memvalidasi diri sendiri. Nilai dirimu bukan cuma dari seberapa besar kamu berkorban buat orang lain, tapi dari bagaimana kamu juga memperjuangkan dirimu sendiri, cita-cita, kebahagiaan, dan kesehatan emosionalmu.
















