Cinta Virtual, Cinta yang Aman: Apa yang Perempuan Cari dalam ‘Otome Game’?

Kalimat itu mungkin terdengar dramatis. Tapi, bagi banyak perempuan yang memainkan gim otome, pernyataan itu bukan sekadar lelucon. Sering kali, ia adalah kenyataan yang tak bisa diabaikan.
Otome Game atau gim otome adalah gim berbasis cerita yang utamanya dibuat untuk pemain perempuan, di mana karakter-karakternya dirancang untuk memanjakan perasaan dan memberi mereka kendali penuh atas kisah cintanya. Genre ini pertama kali berkembang di Jepang pada awal 1990-an sebagai bagian dari subkultur permainan yang secara khusus menyasar pasar perempuan.
Sebuah dokumenter produksi NHK World–Japan, Chinese Women Falling for Virtual Romance membuat saya ingin menggali lebih dalam fenomena ini. Dokumenter tersebut menyoroti fenomena gim otome di Tiongkok, tempat sejumlah perempuan muda merasa menemukan ruang aman tanpa penghakiman atas relasi mereka dengan karakter-karakter virtual.
Salah satu pemain merasa fitur gim yang memungkinkan mereka “bercerita” meskipun hanya satu arah, justru membantu meluapkan isi hati tanpa takut dihakimi. Ada yang mengaku merasa diterima karena karakter laki-laki dalam gim tidak pernah mempermasalahkan penampilan fisik mereka. Bahkan, hanya dengan menerima telepon satu arah dari karakter favoritnya, seorang pemain mengatakan ia bisa merasa bungah sepanjang hari.
Cerita-cerita seperti ini membuat saya bertanya: Mengapa begitu banyak perempuan memilih jatuh cinta pada karakter virtual dibanding menghadapi relasi nyata?
Gim otome bukan sekadar permainan cinta-cintaan. Ia menyimpan refleksi besar tentang bagaimana perempuan memahami relasi, hasrat, dan harapan dalam dunia yang sering kali tidak berpihak. Lebih dari sekadar afeksi, gim ini memberi sesuatu yang jarang perempuan temukan dalam kesehariannya: Ruang untuk mengatur alur cerita cinta mereka sendiri.
Baca juga: Windah Basudara, KBGO, dan Industri Gim yang Maskulin
Cinta yang Aman, tapi Tetap Bergetar
Gim seperti Love and Deepspace tidak hanya menyuguhkan visual pria yang beragam. Karakter-karakternya digambarkan dengan tubuh tegap, bahu lebar, rahang tegas, dan postur yang dibuat proporsional. Gaya bicara dan gestur mereka juga dibentuk untuk menghadirkan kesan protektif dan penuh perhatian—dari cara menatap, memanggil nama, hingga bagaimana mereka merespons saat pemain mengalami kesulitan.
Pemain bisa fokus pada satu karakter yang mereka sukai, tapi tidak ada larangan bila ingin menjalin kedekatan dengan semuanya. Kisah latar antara pemain dan karakter pun disusun penuh konflik dan emosi, memberi ruang bagi perempuan untuk menjelajahi bentuk-bentuk relasi tanpa rasa bersalah. Maka, gim ini memberi sesuatu yang sangat esensial: Pengalaman cinta yang aman.
Tentu, tidak ada ruang yang sepenuhnya bebas dari relasi kuasa—termasuk dalam gim. Bahkan dalam Love and Deepspace, naskah dan karakter tetap ditulis oleh tim kreator yang memegang kendali naratif. Tapi justru di situlah letak menariknya: gim otome memberi ruang kecil, di mana perempuan bisa merasakan seolah-olah merekalah yang mengendalikan ritme, memilih siapa yang pantas diberi perhatian, dan menolak tanpa konsekuensi emosional.
Ilusi kebebasan ini, meskipun bukan kebebasan utuh, tetap memberi rasa lega di tengah dunia nyata yang menuntut terlalu banyak bahkan atas pilihan-pilihan paling personal.
Fenomena ini dikenal sebagai interaksi parasosial, sebuah hubungan satu arah antara pemain dan karakter fiksi yang terasa personal, intim, dan penuh resonansi emosional. Gao dalam Parasocial Interactions in Otome Games (2024), menyebutnya sebagai bentuk pengelolaan ekspektasi: Perempuan bisa mengalami rasa sayang, tanpa harus mempertaruhkan harga diri atau ketenangan batin.
Karakter laki-laki dalam gim otome tidak akan menyalahkan, tidak akan menghilang tanpa kabar, tidak akan membuatmu merasa kurang. Mereka selalu hadir. Selalu tahu apa yang ingin kamu dengar. Dan meskipun semua itu hanyalah skrip, tetap terasa mengobati.
Baca juga: ‘Otome Games’: Eskapisme Aman untuk Perempuan di Dunia Otaku
Ingin Dicintai, tapi Tetap Memegang Kendali
Mengapa perempuan merasa perlu mengatur narasi cintanya sendiri? Jawabannya sederhana: dunia nyata sering tidak memberi kesempatan itu.
Dalam relasi sosial dan budaya, perempuan kerap didorong untuk “ditaklukkan,” “dikejar,” atau “dipilih.” Mereka bukan penentu arah, tapi penanti yang baik. Bahkan ketika mereka punya keinginan, harapan itu harus dibungkus agar tak tampak “terlalu mengatur.”
Gim otome menawarkan narasi sebaliknya. Pemain perempuan menjadi pusat cerita. Ia yang menentukan siapa yang patut didekati, siapa yang perlu dihindari. Mau ghosting karakter tertentu? Bisa. Mau memberi batasan emosional? Diperbolehkan. Dalam dunia ini, perempuan bisa menginginkan tanpa takut dianggap terlalu ambisius dalam cinta.
Tingting Liu dalam Eroticism and Design Workshops in Game Interfaces: Exploring A Mobile Otome Game for Chinese Women (2024) menyebut, bahwa dalam gim seperti Light and Night, desain antarmuka dibuat sangat sensual, tetapi tetap berada di bawah kendali penuh perempuan yang memainkannya. Ini bukan tentang seksualitas yang vulgar, tapi tentang sensualitas yang sadar, yang aman, dan yang tidak menghukum.
Dunia yang Menolak Perempuan Menjadi Subjek dalam Kisahnya Sendiri
Tentu akan selalu ada suara yang mencemooh: “Kenapa sih, kok jatuh cinta sama karakter fiksi?”, atau “Itu kan cuma halu.”
Namun, di balik itu semua, ada masyarakat yang belum mampu menawarkan cinta yang sehat, apalagi aman. Dunia nyata menuntut perempuan untuk kuat tapi lembut, tegas tapi tetap mengalah, aktif tapi jangan terlalu dominan. Sebuah hal yang melelahkan, dan tentu sulit dilakukan.
Gim otome justru hadir sebagai ruang yang membebaskan dari paradoks itu. Tidak ada pelecehan. Tidak ada pemaksaan. Tidak ada relasi kuasa yang membuatmu merasa harus tunduk untuk dicintai.
Dan yang menarik, relasi dalam gim ini juga tidak harus berhenti di layar. Komunitas daring seperti yang terbentuk di sekitar Mr. Love: Queen’s Choice dan Love and Deepspace menjadi ruang saling dukung.

Mr. Love: Queen’s Choice, dikembangkan oleh Papergames, sempat menjadi salah satu gim otome paling berpengaruh dari Tiongkok karena menggabungkan simulasi kencan dengan elemen investigasi dan time travel. Sementara Love and Deepspace, yang dirilis oleh Infold Games pada Januari 2024, langsung menempati peringkat pertama gim naratif interaktif di Jepang dan Tiongkok menurut data Sensor Tower. Gim ini telah diunduh lebih dari 70 juta kali dalam sembilan bulan dan mengumpulkan hampir 30 juta dolar AS di Jepang saja sepanjang Januari–September 2024. Di Tiongkok, gim ini juga sempat menjadi aplikasi game dengan pendapatan tertinggi di App Store.
Menariknya, di Indonesia, Love and Deepspace juga mencapai posisi nomor satu sebagai gim simulasi dengan pendapatan tertinggi di Google Play versi Android (per 20 Juni 2025) yang menegaskan daya tariknya yang luas di kawasan Asia Tenggara.
Di Facebook, grup penggemarnya beragam—ada yang fokus membahas alur cerita, berbagi screenshot dan ilustrasi, hingga menyediakan ruang curhat bagi mereka yang merasa terlalu terbawa perasaan setelah satu adegan romantis. Sementara di X, para pemain aktif membuat meme, spekulasi, hingga benang refleksi tentang bagaimana karakter virtual bisa memengaruhi keseharian emosional mereka.
Di ruang-ruang ini, para pemain tidak hanya menjadi konsumen narasi, tapi juga pencipta ulang kisah. Mereka menulis fiksi penggemar, berdiskusi soal tokoh favorit, dan membentuk solidaritas yang tumbuh dari pengalaman emosional bersama (Lei, 2024). Komunitas ini juga menjadi tempat perempuan menegosiasikan identitasnya: Sebagai pemain, sebagai penulis ulang cinta, sebagai pengambil alih kendali.
Tokoh utama perempuan dalam Love and Deepspace pun bukan gadis lemah yang menunggu dijemput. Ia punya karier, keputusan, dan pendirian. Ini bukan pelarian, tapi representasi: Perempuan yang memegang penuh arah kisahnya.
Baca juga: Ada Predator di Gim ‘Online’, Indonesia Darurat Eksploitasi Seksual Anak
Mungkin Bukan Solusi, tapi Tempat Berteduh
Apakah gim otome solusi untuk dunia yang tak adil bagi perempuan? Mungkin tidak. Tapi paling tidak, ia adalah bentuk resistensi lembut terhadap narasi cinta yang terlalu lama hanya menempatkan perempuan sebagai objek.
Dan barangkali, kita memang tidak selalu butuh solusi. Kadang, yang dibutuhkan hanya tempat aman untuk merasa cukup. Cukup sebagai diri sendiri, cukup untuk dicintai, cukup untuk mengatakan: “Aku tidak harus terluka untuk merasa hidup.”
Karena sampai dunia nyata mampu memberi cinta yang setara. Afeksi yang tak menuntut, tak mengatur, dan tak menyakiti. Maka, cinta dalam dunia ternaskah ini pun tetap layak dipeluk.
Dan barangkali, itu pun sudah cukup untuk membuat hati bertahan.
Suci adalah Dosen Prodi Ilmu Komunikasi Universitas Pembangunan Jaya dan Mahasiswa Doktoral LSPR Institut Komunikasi dan Bisnis.
