December 5, 2025
Issues Politics & Society

Revisi KUHAP dan Omon-omon Perlindungan bagi Perempuan 

Lewat Revisi KUHAP, negara menyusun ulang alat represi untuk membungkam perempuan. 

  • July 23, 2025
  • 5 min read
  • 745 Views
Revisi KUHAP dan Omon-omon Perlindungan bagi Perempuan 

“Kalau banyak orang marah dengan apa yang menimpa Tom Lembong, kita seharusnya lebih kritis pada bagaimana hukum acara pidana mau direvisi.” 

Pernyataan itu datang dari Bivitri Susanti, pengajar di Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera. Bivitri bicara dalam Rapat Dengar Pendapat Rakyat bertajuk “Akademisi dan Praktisi Menggugat RKUHAP 2025: Revisi KUHAP untuk Siapa?” Forum ini digelar (21/7) lalu di Fakultas Hukum Universitas Indonesia.  

Forum tersebut mempertemukan akademisi, praktisi hukum, dan masyarakat sipil dalam satu ruang. Mereka membedah draf Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) yang sedang digodok oleh DPR. Seluruh pakar yang hadir sepakat, arah perubahan hukum acara pidana dalam RKUHAP justru berpotensi menjauhi prinsip-prinsip keadilan. 

Padahal, dalam logika hukum acara pidana, sistem semestinya dirancang untuk melindungi hak asasi manusia (HAM). Asas praduga tak bersalah  ada untuk memastikan negara tak sembarang menghukum. Mengutip Hukum Online, asas ini menekankan, seseorang wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan.  

Namun sejak awal, KUHAP tak pernah betul-betul berpijak pada prinsip itu. Asas praduga tak bersalah hidup sebagai gagasan, tanpa operasionalisasi yang nyata dalam aturan teknis maupun praktik. 

Baca Juga: Semua (Masih) Bisa Kena, Pasal-Pasal Bermasalah dari RUU KUHAP

“Kalau kita mau mengoperasionalkan itu (asas praduga tak bersalah), artinya kita limiting state power. Kenapa itu enggak akan terjadi? Karena paradigmanya enggak bergeser,” ujar Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia Aristo Marisi.  

Sayangnya, Revisi KUHAP yang baru pun hadir tanpa membawa perubahan paradigma itu. Menurut Aristo, KUHAP yang sekarang berlaku masih memantik perdebatan ideologis soal HAM dan pembatasan kekuasaan negara. Namun dalam Revisi KUHAP, perdebatan itu tak terdengar.  

“Dulu masih ada yang bilang, ‘apaan ini KUHAP? Draf ini bukannya menegakkan hak asasi, malah membantu otoritas.’ Sekarang, saya tidak mendengar perdebatan itu,” ujar Aristo.  

Poin itu diperkuat oleh pembacaan kritis dari Mamik Sri Supatmi, Dosen Kriminologi Universitas Indonesia. Menurutnya, hukum merupakan produk dari penguasa yang tidak pro rakyat. Maka wajar jika hukum lahir bukan untuk melindungi, melainkan sebagai alat perpanjangan kekuasaan.  

“Kita dihadapkan dengan tindakan (rezim) yang semakin punitif.”  

“Pada waktu yang lalu, misalnya, teman-teman minoritas seksual di Bogor dirazia, digrebek, dipermalukan, dituduh. Itu adalah bentuk penyiksaan, diskriminasi,” ujar Mamik, mengajak kita menolak lupa luka kelompok rentan.  

Pernyataan Mamik jadi pintu refleksi. Jika sistem hukum yang dibangun tak berpijak pada keadilan dan lebih melayani kepentingan penguasa, maka kelompok rentan menjadi pihak yang paling dikorbankan.  

Baca Juga: RUU KUHAP Pupus Keadilan Lingkungan, Hanya Satu Kata: Lawan! 

Penjara Tak Dicipta untuk Perempuan, tapi Sistem Menyeret Mereka 

Di tengah derasnya kritik terhadap draf RKUHAP, ada satu persoalan yang kerap luput: Siapa yang paling terdampak dari sistem hukum yang bias ini? 

Pertanyaan ini membawa kita pada satu kenyataan: Perempuan paling rentan ketika berhadapan dengan hukum. Buktinya, mengutip Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), perempuan yang ditahan dan dipenjara mengalami peningkatan selama empat bulan terakhir. Per 5 Mei 2025, tercatat 10.404 narapidana perempuan dan 3.283 tahanan perempuan.  

Karena jumlah mereka yang tergolong minoritas dalam populasi penjara, kebutuhan dan kondisi perempuan kerap diabaikan dalam sistem peradilan pidana. Merujuk Guidance Document on the Bangkok Rules, penjara sejak awal memang dibangun dengan gambaran laki-laki sebagai penghuni utama. Hal ini tampak dari desain bangunan, standar pengamanan, hingga jenis layanan yang disediakan. Mulai dari layanan kesehatan, akses terhadap keluarga, pekerjaan, sampai pelatihan.  

Sistem peradilan pidana yang dibangun di atas nilai-nilai maskulin jelas merugikan perempuan. Padahal, menurut Joanne Belknap dari Universitas Colorado, Amerika Serikat, banyak perempuan yang terjerat kasus pidana karena pengalaman mereka sebagai korban. Misalnya, kekerasan berbasis gender, tekanan ekonomi, atau relasi kuasa yang timpang.  

Alih-alih melihat kompleksitas itu, sistem hukum justru menerapkan pendekatan yang seragam. Dalam the Invisible Women: Gender, Crime, and Justice (2021), Belknap menekankan, pengalaman perempuan perlu dilihat melalui kacamata interseksionalitas.  

Baca Juga: Sistem Hukum Tidak Berkeadilan Gender Langgengkan Kekerasan terhadap Perempuan 

RKUHAP dan Ilusi Perlindungan Perempuan 

Publikasi dari ICJR menunjukkan, realitas penahanan perempuan di Indonesia masih jauh panggang dari api. Fasilitas penahanan untuk perempuan tidak memadai, seperti overkapasitas lapas, kurangnya petugas lapas, minimnya toilet untuk ibu hamil, serta ketiadaan dokter kandungan. Lebih ironisnya, perempuan masih menghadapi risiko kekerasan seksual dan penyiksaan di balik jeruji yang tak manusiawi itu.  

Pertanyaannya kemudian, apakah RKUHAP yang baru akan lebih peka pada kerentanan itu atau justru mengulang pola lama yang bias dan abai? 

Sayangnya, berdasarkan pengamatan ICJR, hanya ada satu pasal dalam RKUHAP yang membahas kerentanan perempuan yang berkonflik dengan hukum, Pasal 138.  

ICJR menilai, meski tampak melibatkan perspektif gender, pasal ini hanya bersifat normatif. Sebab jika memang ingin menghadirkan hukum acara yang inklusif, mestinya perlindungan semacam ini hadir dalam setiap tahapan proses hukum.  

Lebih jauh, alih-alih menunjukkan keberpihakan, draf RKUHAP justru memuat pasal-pasal yang memperkuat impunitas negara. Ini terlihat dalam Pasal 133 Ayat 5 yang menyatakan, negara tidak bertanggung jawab atas segala kerugian dalam proses hukum.  

“Terdakwa tidak bisa menuntut ganti rugi,” kata Ahmad Sofian dari Asosiasi Pengajar Hukum Pidana dan Kriminologi dalam forum yang sama.  

Bayangkan jika pasal ini disahkan, perempuan yang menjadi korban salah tangkap dan mengalami intimidasi serta penyiksaan selama proses hukum tak punya ruang untuk menuntut tanggung jawab negara. Padahal, kekerasan berbasis gender dalam lingkup sistem peradilan pidana kerap menimpa perempuan.  

Selain itu, celah lain yang tak kalah genting dari RKUHAP adalah rumusan soal keadilan restoratif.  

Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan mencatat, dalam praktik di tingkat kepolisian, pendekatan restoratif kerap disalahartikan. Dalam sejumlah kasus kekerasan berbasis digital, korban—yang mayoritas perempuan—justru dipaksa untuk berdamai dengan pelaku.  

Celah ini makin berbahaya karena RKUHAP membuka ruang bagi hakim untuk membebaskan pelaku dari hukuman jika ada titipan ganti rugi. Alih-alih memihak korban, negara justru mengaburkan kekerasan lewat skema penyelesaian damai yang tak pernah benar-benar adil.  

Rangkaian pasal bermasalah dalam draf RKUHAP menunjukkan absennya komitmen negara membenahi sistem hukum acara pidana. Jika draf ini disahkan tanpa perbaikan mendasar, maka kita sedang menyusun ulang alat represi, bukan keadilan.  

About Author

Safika Rahmawati

Safika adalah sosok yang suka melamun dan punya cita-cita hidup tenang di desa di kaki gunung. Tapi kalau harus tinggal di kota dulu, enggak masalah—asalkan bisa rebahan tanpa rasa bersalah sambil menikmati suara burung gereja di dalam kamar.