Apa yang Sebenarnya Terjadi pada Kasus 75 Orang di Puncak Bogor?

Sebagian orang merayakan 1 juli 2025 sebagai Hari Bhayangkara, tapi tidak untuk Polela. Di 22 Juni 2025, institusi ini justru jadi sumber utama traumanya hari itu. Ceritanya, ia sedang istirahat di sebuah vila di Puncak, Jawa Barat, tempat acara komunitas “Big Star Got Talent” digelar. Tiba-tiba aparat Kepolisian Resor (Polres) Bogor, Polsek Megamendung, dan sejumlah anggota organisasi massa menggerebek lokasi tanpa peringatan.
“Pihak kepolisian langsung mendobrak kamar, teriak suruh bangun semua, HP kita ditahan, dompet ditahan,” kata Polela.

Ia digiring bersama 74 orang lainnya ke aula vila. Barang-barang mereka digeledah polisi tanpa boleh menyaksikan langsung. Polela sempat menuntut surat perintah penggeledahan. “Saya tanya surat perintahnya mana, mereka tidak pernah menunjukan suratnya sama kami,” tambahnya.
Setelah digeledah, mereka dibawa ke Polres Bogor. Di sana, imbuh Polela, mereka menjadi sasaran pelecehan verbal, intimidasi, dan perlakuan tidak manusiawi.
“Kami diperlakukan kayak binatang. Katanya polisi melayani secara humanis, tapi detik itu enggak ada sama sekali,” ujarnya.
Baca Juga: Mereka yang Berada di Tepian Negara: Homofobia pada LGBTQ+
Narasi Tunggal Polisi dan Framing Negatif Media
Dalam konferensi pers (26/6), Kasat Reskrim Polres Bogor AKP Dharma Adi menyebut barang bukti berupa alat kontrasepsi, pelumas, dan ponsel telah diamankan, sebagai dasar dugaan pelanggaran.
“Para tersangka kami jerat dengan UU Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi… bisa mencapai 12 tahun penjara,” ujarnya dikutip dari Suara.com.
Namun narasi aparat ini tidak sesuai kenyataan di lapangan. Polela membantah kegiatan itu merupakan pesta seks atau tindakan cabul.
“Katanya ada kondom, pesta seks, pesta gay. Padahal itu semua tidak sesuai dengan kenyataannya. Kita di dalam aula dibiarkan begitu saja… tiba-tiba ke unit PPA, di samping kami di-anjing-anjingin.”

Celakanya, penderitaan Polela dan kawan-kawan LGBTQ tak berakhir di sana. Caca dari Crisis Respond Mechanism (CRM) mengonfirmasi laporan Polela. Ia menyebut para korban menjadi bulan-bulanan publik akibat penyebaran foto dan identitas mereka oleh polisi usai kejadian tersebut.
“Banyak opini yang berbasis orientasi seksual yang menghakimi para korban. Dari 75 orang, sebagian (akhirnya) mengalami PHK, diusir dari kos atau rumah,” katanya.
Lebih dari itu, serangan berlanjut hingga ke tempat tinggal korban. Caca menekankan, framing negatif yang mengutip keterangan aparat membuat opini publik jadi timpang. Bahkan itu mendorong masyarakat ikut mengintimidasi korban.
Media pun dinilai berkontribusi. “Berita yang tidak berimbang menimbulkan ketakutan tersendiri. Bukan cuma rugi materiil, korban juga dipaksa tes HIV tanpa dasar hukum,” lanjutnya.
Baca Juga: LGBT di Media: Minim Perwakilan, Terancam RUU Penyiaran
Media Jadi Sponsor Reviktimisasi
Laporan Bahaya Akut Persekusi LGBT yang dirilis Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) pada 2018 mencatat sedikitnya 973 orang menjadi korban stigma, diskriminasi, dan kekerasan berbasis orientasi seksual, identitas, dan ekspresi gender di luar norma biner heteronormatif. DK Jakarta dan Jawa Barat disebut sebagai dua wilayah dengan tingkat intoleransi tertinggi terhadap kelompok LGBT.
Laporan yang sama juga mengungkap pelaku tindakan diskriminatif paling dominan berasal dari organisasi masyarakat (27 persen), disusul aparat penegak hukum (24 persen). Ini menunjukkan ormas menjadi aktor utama dalam praktik persekusi, sementara aparat negara justru ikut andil dalam memperburuk kondisi yang seharusnya mereka lindungi.
Bagaimana aparat negara menjadi sponsor, juga terlihat dalam kasus penggerebekan komunitas Polela di Bogor. Narasi aparat yang menyebut adanya “pesta seks, “pesta gay”, atau penemuan alat kontrasepsi, dinilai hanya sebagai upaya membentuk opini publik yang menyudutkan korban.
Karena itulah, Yosua Octavian dari LBHM menyebutkan, tindakan polisi dalam kasus ini telah melanggar hukum, termasuk Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Salah satu pelanggaran yang paling nyata adalah mempublikasikan hasil tes HIV peserta acara. Padahal, kegiatan bertajuk Big Star Got Talent merupakan agenda biasa komunitas, semacam ruang pertemuan informal yang berisi pertunjukan busana, lomba tari, dan menyanyi—tidak berbeda dengan aktivitas komunitas lain.

“Ini aktivitas biasa seperti yang juga dilakukan orang-orang heteroseksual. Tidak ada satu pun dari 75 orang yang melakukan hubungan seks,” kata Yosua saat konferensi pers (1/7).
Sebagai informasi, pantauan Magdalene dari mesin pencarian Google dengan mengetikkan kata kunci “pesta gay Bogor” dan “pesta gay” per (2/7) menemukan lebih dari 80 berita terkait. Hampir seluruhnya hanya mengandalkan keterangan dari polisi, pejabat pemerintahan, pemuka agama, dan atau ormas. Tidak ada ruang bagi narasumber dari komunitas terdampak.
Tangkapan layar dari media seperti Viva, Kompas, dan Detik menunjukkan adanya bias tajam dan penggiringan opini publik yang merugikan komunitas LGBTQ+.
“Hasil penelusuran kami, polisi tidak menemukan adanya pesta seks. Gambar dokumentasi tidak menunjukkan ketelanjangan. Hanya ada empat bungkus kondom belum terpakai,” tambah Yosua dalam konferensi pers kemarin.
“Penemuan alat kontrasepsi tidak bisa dijadikan dasar pidana. Itu alat penunjang kesehatan,” tegasnya.
Albert Wirya, Direktur LBH Masyarakat, menyebut pemberitaan media yang masif dan tidak berimbang membuat kasus ini mengalami trial by the press. “Ada kompetisi lip sync, bermain gim, foto-foto dengan pakaian lengkap. Tidak ada pelanggaran pidana,” ujarnya.
Yosua juga mengungkap saat ini Polres Bogor tengah berupaya mencocok-cocokkan pasal agar kasus tetap berjalan. “Dalam surat panggilan, polisi menyebut Pasal 7 dan 10 UU Pornografi, serta Pasal 296 KUHP. Tapi tidak ada ketelanjangan, eksploitasi seksual, atau persenggamaan dalam acara itu,” jelasnya.
Baca Juga: Buntut Stigma LGBTQ+, Perempuan Jadi Korban Pernikahan ‘Kamuflase’
Melanggar HAM dan Prinsip Jurnalisme
Koalisi Bantuan Hukum Menolak Diskriminasi menilai acara komunitas tersebut dijamin oleh konstitusi. Pasal 28E Ayat 3 UUD 1945 menyatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Selain itu, Pasal 24 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia juga menjamin hak untuk berkumpul secara damai.
Koalisi mengecam tindakan aparat yang dianggap melanggar prinsip dasar hukum acara pidana dan etika terhadap warga sipil. Mereka mendesak agar proses hukum terhadap para korban dihentikan dan menuntut evaluasi menyeluruh atas tindakan aparat, termasuk penyitaan barang tanpa surat dan tes HIV paksa, dilakukan secara transparan dan akuntabel.

Peran media massa juga menjadi sorotan tajam. Dalam pernyataannya, koalisi mendorong Dewan Pers untuk meninjau pemberitaan yang bias, penuh prasangka, dan menyudutkan komunitas rentan. Ketika jurnalis hanya mengutip narasi tunggal dari aparat dan tidak memberikan ruang hak jawab, mereka turut memperkuat stigma dan kekerasan terhadap kelompok rentan.
“Pembunuhan karakter komunitas gay lewat berita penuh kebencian tanpa hak jawab adalah bentuk ketidakprofesionalan jurnalis,” tegas koalisi.
Media seharusnya menjadi ruang aman yang adil bagi semua warga negara—terutama kelompok rentan yang selama ini kerap dibungkam. Ketika media justru ikut menjadi alat represi, maka yang dipertaruhkan bukan hanya nasib komunitas minoritas, tapi juga kualitas demokrasi itu sendiri.
Artikel ini telah diperbaharui pada tanggal 3 Juli 2025, di paragraf pertama dan paragraf keempat.
