Feminism A to Z Issues

Melirik Keberagaman Fokus Perjuangan Aliran-aliran Feminisme

Feminisme memiliki sejumlah aliran, dan gagasan-gagasan feminisme terus berkembang seiring munculnya kritik terhadap suatu aliran.

Avatar
  • September 16, 2020
  • 10 min read
  • 3226 Views
Melirik Keberagaman Fokus Perjuangan Aliran-aliran Feminisme

Setiap kelompok feminis, baik dalam satu generasi maupun berbeda, memiliki ragam pemikiran dan agenda pokok dalam perjuangan mereka. Dalam melakukan aktivismenya, kelompok-kelompok feminis dari aneka aliran juga kerap mendapatkan kritik dari satu sama lain yang memiliki pemikiran baru. Gagasan-gagasan baru yang senantiasa berkembang dalam feminisme inilah yang sering kali melahirkan aliran-aliran baru feminisme, yang tetap memiliki napas yang sama, yaitu perjuangan untuk keadilan dan kesetaraan gender.

Namun dalam keseharian, sebagian orang masih belum paham mengenai kondisi keberagaman gagasan dan fokus perjuangan kelompok-kelompok feminis. Masih dapat ditemukan respons beberapa pihak terkait isu feminisme seperti “Feminis kok ngurusin kelas, rasialisme, Black Lives Matter?”. Ini dapat mencerminkan bahwa feminisme belum tersosialisasikan dengan baik.

 

 

Berikut ini adalah penjelasan singkat mengenai beberapa aliran feminisme untuk membantu kita memahami kelompok-kelompok yang beragam tersebut. Penjabaran di bawah disarikan dari Feminist Thought karya Rosemarie Putnam Tong, Filsafat Berperspektif Feminis tulisan Gadis Arivia, Menggugat Patriarki dari Kamla Basin, dan Feminisms: An Anthology of Uterary Theory and Critism yang ditulis Robyn Warhol dan Diane Prince Herndl.

Feminisme Liberal

Aliran ini adalah pembuka Feminisme Gelombang Pertama, yang merupakan awal dan cikal bakal lahirnya aliran-aliran feminisme selanjutnya. Beberapa feminis yang menjadi ikon feminisme liberal antara lain Mary Wollstonecraft, John Stuart Mill dan Harriet Taylor Mill,  Betty Friedan dan Jean Bethke Elstain.

Feminisme liberal yang berkembang pada abad 19-20 ini menggugat hak individu sebagai konstitusi dan bentuk dari keadilan sosial dalam pendidikan, pekerjaan, dan reformasi hukum. Mereka memperjuangkan hak perempuan dalam ranah politik, ekonomi, dan institusi sosial yang dapat memaksimalkan kebebasan perempuan sebagai individu.

Aliran ini terbagi menjadi Liberal Klasik dan Liberal Egalitarian. Feminisme Liberal Klasik menekankan pada kebebasan hak sipil perempuan dan hak asasi manusia seperti hak pilih, hak memiliki tanah, kebebasan berekspresi, beragama dan berasosiasi. Melalui perjuangan para feminis Liberal Klasik, perempuan sebagai warga negara akhirnya dapat memilih dan dipilih dalam pemerintahan.

Sementara, Feminisme Liberal Egalitarian berfokus pada kesempatan yang adil dan setara terhadap perempuan seperti akses terhadap dana dan sumber daya. Para feminis dalam aliran ini menggugat kebijakan negara agar kesenjangan ekonomi dapat diminimalisasi dan kebebasan sipil perempuan terlindungi.

Aliran ini menuntut negara melakukan intervensi ekonomi dengan cara menyediakan layanan hukum, pinjaman pendidikan (di kota dan desa), kupon makan, rumah sederhana, tunjangan kesehatan, serta tunjangan dan bantuan sosial kepada kaum tidak mampu dan kelas bawah agar dapat mengakses hal yang sama. Melalui perjuangan para feminis Liberal Egalitarian, perempuan dapat bersekolah dan bekerja.

Feminisme Radikal

Radikal pada dasarnya berarti hal yang sangat mendasar atau prinsipiil, sehingga Feminisme Radikal berfokus pada hal-hal yang mendasar untuk mengupas ketimpangan perlakuan terhadap perempuan.

Aliran ini terbagi menjadi Radikal Libertarian dan Radikal Kultural. Keduanya bertujuan untuk kesetaraan dan kepentingan perempuan, namun dengan cara dan pemahaman yang berbeda, berfokus pada seks, gender, dan sistem (reproduksi dan seksualitas).

Feminisme Radikal Libertarian menganggap identitas gender feminin membatasi perempuan untuk berkembang sebagai manusia seutuhnya; menganggap musuh utama perempuan adalah patriarki, bukan laki-laki.

Aliran yang muncul antara tahun 1960-1980 ini menekankan kepada berbagai pilihan pribadi perempuan atas tubuh dan seksualitasnya, baik ia heteroseksual, lesbian, maupun transgender. Di samping itu, penganut aliran ini menganggap pornografi dan prostitusi sebagai otoritas tubuh perempuan sepenuhnya, menganggap fungsi reproduksi perempuan (hamil, melahirkan, dan menyusui) sebagai bagian dari opresi, percaya pada konsep “ibu sosial”, yaitu bahwa seorang anak tetap dapat tumbuh dengan baik secara emosional dan intelektual melalui peran orang tua angkat, nenek-kakek, paman-bibi, pengasuh, atau guru yang sama efektifnya dengan ibu biologis.

Baca juga: Sejarah Mikroba, Makanan Beku, dan Gelombang Feminisme

Aliran ini juga mempromosikan pengasuhan ganda (ibu dan ayah); rahim pengganti (surrogacy) yang dianggap dapat mendekatkan sesama perempuan, dan memandang lesbianisme sebagai sebuah pilihan preferensi seksual yang sangat pribadi.

Mereka menilai bahwa tidak ada jenis pengalaman seksual yang spesifik yang harus diresepkan sebagai pengalaman seksual terbaik bagi perempuan. Bagi feminis Radikal Libertarian, perempuan seharusnya merasa bebas untuk memilih hal tersebut.

Beberapa feminis Radikal Libertarian yang menonjol adalah Ann Oakley, Kate Millet, Shulamith Firestone, Gayle Rubin.

Gagasan-gagasan feminis Radikal Libertarian tadi berseberangan dengan kepercayaan penganut aliran Feminisme Radikal Kultural. Bagi mereka, pornografi dan prostitusi dianggap membahayakan perempuan. Selain itu, feminis Radikal Kultural juga mengajak perempuan untuk menikmati bahagia dan kesakitan melahirkan sebagai bentuk perayaan “motherhood” dan meresistensi teknologi reproduksi.

Dalam pemikiran feminis aliran ini, pengembangan teknologi reproduksi seperti praktik donor sperma dan telur, fertilisasi, in-vitro, praseleksi jenis kelamin, transplantasi embrio (IVF), dan reproduksi buatan (bayi tabung) adalah produk budaya partriarki. Hal tersebut juga dianggap dapat mereduksi perempuan; persis seperti dalam dunia distopia pada karya fiksi ilmiah feminis yang ditulis Margaret Atwood, The Handmaid’s Tale, di mana perempuan menjadi pekerja domestik, fungsionaris sosial, pelacur seksual, dan pelacur reproduksi.

Selain patriarki, aliran Feminisme Radikal Kultural menganggap laki-laki juga adalah bagian dari opresi terhadap perempuan. Mereka menganggap laki-laki mengendalikan seksualitas perempuan untuk kenikmatan laki-laki, sehingga mereka menginginkan seksualitas perempuan yang eksklusif, melalui selibat, autoerotisme, maupun lesbianisme untuk membebaskan diri dari pembatasan yang dibangun melalui heteroseksualitas.

Beberapa tokoh aliran Radikal Kultural di antaranya Andrea Dworkin, Catharine MacKinnon, Margaret Atwood, Gena Corea, Marge Piercy, Mary Daly, dan Adrienne Rich. Dua orang yang terakhir disebutkan merupakan contoh feminis Radikal Kultural yang memilih lesbianisme secara politis dan hidup tanpa laki-laki.

Feminisme Marxis-Sosialis

Kedua aliran ini bertujuan untuk memerdekakan perempuan dari pengotakan kelas, seks, patriarki, dan kapitalisme. Para feminis Marxis-Sosialis menganggap produk politik, sosial, dan struktur ekonomi sebagai bagian dari imperialisme yang dapat mengopresi perempuan.

Aliran ini menyasar kaum pekerja perempuan dalam ranah domestik dan publik (ibu rumah tangga, asisten rumah tangga, pengasuh, buruh) dalam mengampanyekan pengupahan kerja domestik bagi perempuan, sosialisasi pekerjaan rumah tangga, dan pengasuhan anak.

Beberapa tokoh pemikir dalam aliran Feminisme Marxis-Sosialis di antaranya Friedrich Engels, Iris Young, dan Alison Jaggar.

Alison Jaggar meneruskan pemikiran Marx yang menganggap bahwa bekerja sejatinya adalah kegiatan yang memanusiakan, bertujuan untuk menghubungkan manusia dengan produk tubuh dan pikirannya, alam, dan manusia lainnya. Sedangkan kapitalisme justru menjadikan bekerja atau pekerjaan sebagai kegiatan yang menghilangkan kemanusiaan manusia.

Jaggar juga membahas mengenai keterasingan diri perempuan; seperti buruh terasingkan dari tubuhnya karena terasa seperti mesin yang hanya mengeluarkan tenaga untuk pekerjaan. Perempuan juga terasingkan dengan cara menjadi objek bagi laki-laki dan dirinya sendiri dengan memperindah tubuh untuk mendapatkan validasi laki-laki. Sebagai ibu, perempuan terasingkan dari tubuhnya ketika orang lain yang memutuskan sesuatu untuknya: Berapa anak yang seharusnya dilahirkannya, dicegah memiliki anak sesuai jumlah yang diinginkannya karena dianggap sebagai beban ekonomi, bahkan sampai dipaksa melakukan aborsi atau sterilisasi.

Baca juga: Feminisme Dekolonial dan Upaya Menampilkan Perjuangan Perempuan

Feminisme Psikoanalisis Gender

Psikoanalis Sigmund Freud menyatakan bahwa perempuan mengalami “penis envy” karena perempuan tidak memiliki penis, ia mengalami kecemasan dan merasa lebih inferior daripada laki-laki. Menanggapi pemikiran ini, muncullah gagasan feminis-feminis Psikoanalisis Gender yang menggugat bahwa inferioritas, ketidakberdayaan sosial, dan cara perempuan berpikir (psike) lebih dipengaruhi oleh konstruksi sosial atas feminitas, dan kecil hubungannya dengan biologi perempuan.

Tokoh pemikir Feminisme Psikoanalisis Gender di antaranya Dorothy Dinnerstein, Nancy Chodorow, Juliet Mitchell, Carol Gilligal dan Nel Noddings.

Dalam konteks perempuan menjadi ibu, Dorothy Dinnerstein dan Nancy Chodorow memandang bahwa penindasan terhadap perempuan terjadi karena perempuan “memonopoli” pengasuhan. Monopoli ini terjadi karena pikiran perempuan mengatakan bahwa sudah seharusnya tugas tersebut dilakukan perempuan, dan hal ini menyebabkan berlipat gandanya beban mereka.

Pemikiran feminis Psikoanalisis Gender yang menganggap keinginan dan kebutuhan perempuan berasal dari pikirannya mendapat kritik sejumlah pihak. Mereka menilai, keinginan menjadi ibu bukan disebabkan oleh pikiran (psikologis) semata, melainkan hal (matter), misalnya berupa kondisi sosial di mana perempuan akan mendapat upah lebih rendah dari laki-laki bila bekerja di ranah publik sehingga mereka terdorong untuk menjadi ibu dan mengerjakan tugas domestik atau pengasuhan saja.   

Feminisme Eksistensialis

Aliran ini masuk dalam aliran Feminisme Gelombang Kedua, yang muncul setelah Perang Dunia ke-II, sekitar tahun 1940. Feminisme Eksistensialis mendukung perempuan untuk dapat dengan bebas mendefinisikan makna keberadaannya (eksistensinya) secara filosofis, menjadikan dirinya sebagai subjek sebagaimana yang diinginkannya, bukan objek. Para feminis Eksistensialis juga mengajak perempuan untuk berpikir, berpendidikan, mandiri, serta tidak bergantung, berlindung dan mencari restu laki-laki dalam mengambil pilihan-pilihan hidup.

Dalam buku The Second Sex, salah satu feminis Eksistensialis Simone de Beauvoir berargumen bahwa perempuan ditindas melalui keliyanannya (otherness): Perempuan adalah Liyan (the Other) karena perempuan adalah bukan laki-laki. Perempuan ditindas karena dianggap sebagai ancaman, kemudian dikonstruksikan oleh laki-laki melalui sistem patriarki.

Menurut Beauvoir, perempuan dipaksa untuk menerima dan menginternalisasi tubuhnya sebagai Liyan yang inferior dalam institusi pernikahan dan menjadi ibu, perempuan juga didorong untuk berpendapat dan mempunyai cara seperti juga laki-laki.

Beauvoir juga mengemukakan empat strategi bagi perempuan untuk memaknai dirinya sebagai sang Diri: 1) Bekerja dan menentukan nasibnya; 2) Bergabung dengan kelompok intelektual; berpikir, melihat, dan mendefinisi untuk membawa perubahan bagi perempuan; 3) Bekerja dan mencapai transformasi sosial dalam masyarakat; dan 4) Menolak menginternalisasi keliyanannya.

Feminisme Pascamodern

Feminisme Post-Modern atau Pascamodern bagi banyak orang disebut sebagai “feminisme bagi kalangan akademis” karena sulit dimengerti dan dianggap tidak terlibat pada perjuangan revolusioner yang sesungguhnya, seperti protes, boikot, kampanye, dan demonstrasi.

Berbeda dengan aliran feminisme sebelumnya, aliran ini membalikkan keadaan dan menganggap penindasan terhadap perempuan sebagai sesuatu yang perlu dirayakan dalam bentuk agensi, strategi, dan negosiasi; yaitu suatu pembebasan fundamental: kebebasan dari pemikiran yang opresif atau penerimaan atas keberagaman. Aliran ini melekatkan kembali feminitas kepada perempuan seperti konstruksi gender dalam masyarakat, merayakan keliyanan (otherness) perempuan melalui cara berada, berpikir, berbicara, keterbukaan, keberagaman, dan perbedaan.

Baca juga: Apa yang Perlu Diketahui tentang Dasar-dasar Feminisme

Aliran ini mengajak perempuan untuk menulis, menggali, dan mengedepankan “feminine writing”, karena menganggap salah satu sumber penindasan terhadap perempuan adalah bahasa. Contohnya seperti penggunaan sifat feminin dan maskulin pada bahasa tertentu, yang mengakibatkan interpretasi akan hal-hal mendasar mendapatkan label eksklusif yang maskulin sebagaimana dalam kitab suci, atau dalam bahasa secara spesifik, misalnya history, policeman, humankind, dan sebagainya.

Tokoh feminis Post-Modern di antaranya Hélena Cixous, Luce Irigaray, dan Julia Kristeva.

Penulisan tentang tubuh dan seksualitas perempuan secara eksplisit sebagaimana didukung oleh aliran ini sering dianggap sebagai bentuk pornografi atau tabu dalam masyarakat. Penulis perempuan yang menuliskan tentang tubuh dan seksualitas bahkan sering dianggap “tidak seserius” penulis laki-laki yang melakukan hal yang sama. Mereka pun mendapat pelabelan khusus, seperti dalam dunia sastra, karya penulis-penulis macam Ayu Utami atau Djenar Maesa Ayu disebut “sastra wangi”. Sementara di dunia musik internasional, penyanyi atau penulis lagu perempuan yang melakukan hal yang sama dilabeli “bitch”, “whore” atau “slut”.

Aliran ini juga sebagai penanda lahirnya Feminisme Gelombang Ketiga dan muncul setelah Civil Rights Movement serta penghapusan diskriminasi ras yang juga terjadi secara bersamaan di negara-negara berkembang setelah berjuang melawan penjajahan dan meraih kemerdekaan.

Feminisme Multikultural & Global

Dalam Feminisme Multikultural dan Global, perempuan dipandang heterogen, namun memiliki berbagai irisan yang bersinggungan dan berpautan seperti umur, status sosial-ekonomi, pendidikan, agama, budaya, ras, kewarganegaraan, dan lokasi (interseksional). Tiap kelompok perempuan merasakan penindasan berbeda seiring beragamnya pengalaman dan identitas mereka. Pengalaman perempuan yang dimaksud adalah sebuah pengalaman global dan makro, bukan pengalaman komunal dan mikro, dan bentuknya sangat struktural dan berlapis-lapis.

Konsep women of color, black feminism, “Me Too” movement, Black Lives Matter adalah beberapa hal yang dilahirkan oleh aliran ini. Salah satu tokoh pemikir Feminisme Multikultural dan Global ialah Nawal El Sadaawi, Audre Lorde, dan bell hooks.

Sebagai ilustrasi, pengalaman perempuan Muslim sebagai mayoritas di Indonesia dan perempuan Muslim sebagai minoritas di Amerika bisa sangat berbeda. Begitu pula antara identitas perempuan keturunan Tionghoa yang lahir dan besar di Indonesia atau negara lainnya dan yang tinggal di tanah leluhurnya.

Feminisme Multikultural dan Global juga mencakup feminisme poskolonial, yaitu aliran yang menyoroti perbedaan penindasan yang dialami perempuan dari negara berkembang dan negara maju.

Ekofeminisme

Aliran ini menghubungkan feminisme dengan ekologi, yaitu membahas mengenai hubungan diri dan spiritual perempuan dengan alam. Perempuan sebagai “perawat” yang lebih membutuhkan, lebih dekat dan lebih peka dengan alam daripada laki-laki; dan seperti perempuan, alam “digarap, “diperkosa” dan “dieksploitasi” oleh kapitalisme yang didominasi oleh para pemimpin laki-laki.

Ekofeminisme memandang bahwa kedekatan perempuan dengan alam terkait erat dengan sejarah kehidupan, hubungan konseptual, pengalaman dan simbolisasi antara perempuan dan alam.

Tokoh pemikir Ekofeminisme di antaranya ialah Starhawk, Maria Mies, dan Vandana Shiva.



#waveforequality


Avatar
About Author

Bini Fitriani

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *