December 5, 2025
Culture Gender & Sexuality Screen Raves

‘A Normal Woman’: Saat Tubuh Menuntut untuk Didengar

Kecemasan perempuan urban yang dijerat beton, hidup estetik, dan label pendamping suami jadi tema kental di film teranyar Lucky Kuswandi. Namun, ending-nya melempar dua penafsiran yang menarik diinterpretasikan.

  • August 12, 2025
  • 6 min read
  • 1380 Views
‘A Normal Woman’: Saat Tubuh Menuntut untuk Didengar

Ada masa ketika tubuh berkata jujur lebih cepat dari pikiran kita. Dalam A Normal Woman, Lucky Kuswandi memotret perempuan yang tubuhnya lebih dulu tahu ada sesuatu yang salah, sebelum ia sendiri bisa menyadarinya. Dalam kasus Milla (Marissa Anita), tubuhnya mengalami reaksi ekstrem sebagai penolakan terhadap lingkungan tempat ia berada. 

A Normal Woman mengikuti Milla (Marissa Anita), istri seorang influencer tajir yang hidup di rumah modern serba-rapi bersama suami, anak remaja, dan ibu mertuanya. Kehidupan mereka tampak baik-baik saja di permukaan, tapi tubuh Milla mulai menunjukkan tanda-tanda perlawanan: awalnya gatal-gatal, diikuti munculnya ruam, hingga muntah tanpa penyebab medis jelas. 

Gejala itu menjadi titik awal perjalanan Milla untuk memahami apa yang salah dengan hidupnya, dan apa yang sebenarnya ia butuhkan untuk merasa utuh.

Foto: IMDB

Tonton juga: Buka-bukaan Beauty Standard di Industri Film | RAME Bareng Marissa Anita dan Lucky Kuswandi

Tubuh yang Mendamba ‘Nyata’

Ada dua karya Todd Haynes, yang terlintas di kepala saat menonton A Normal Woman. Mereka ialah May December (2023) dan, utamanya, Safe (1995). 

Dalam Safe, Carol White (Julianne Moore), seorang perempuan kelas menengah atas, mengalami gejala fisik misterius: mimisan, muntah, dan ruam, tanpa diagnosis medis yang jelas. Perlahan, film itu mengisyaratkan bahwa sumber penyakitnya adalah lingkungannya yang terlalu steril, penuh tekanan, dan sarat tuntutan sosial. Premis inilah yang selaras dengan A Normal Woman, yang memindahkan gagasan tersebut ke realitas urban Indonesia, di tengah rumah tangga kaum elite, tempat seorang istri lebih dikenal sebagai pendamping daripada individu dengan suaranya sendiri.

Milla adalah contoh tubuh yang secara harfiah memberontak terhadap gaya hidup berfondasikan estetika ketimbang sesuatu yang ‘nyata’. 

Kendati mensyukuri kenyamanan hidupnya, tatapan mata Milla yang kosong saat menjalani rutinitas robotik menandakan bahwa hatinya tak sepenuhnya di sana. Hidupnya didedikasikan untuk menjaga kelancaran rumah tangga yang fotogenik: memilih bunga, mengatur makanan, menyesuaikan diri dengan gaya hidup suami, bahkan hadir di siaran langsung media sosial untuk menjual citra rumah tangga ideal.

Momen ketika ia meletakkan bunga asli di meja makan, lalu seorang staf menggantinya dengan bunga (yang tampak seperti) plastik karena dianggap lebih cocok, menjadi simbol kuat: ruam di tubuhnya seperti alarm untuk mengingatkannya berhenti berpura-pura dan tuntutlah sesuatu yang “nyata”.

Lucky menyandingkan dunia estetika media sosial dengan ruang domestik yang menjadi ladang performatif. Sama seperti rumah Carol di Safe, rumah Milla adalah ruang yang tidak sungguh-sungguh dihuni, ia dipelihara bukan untuk kenyamanan, melainkan untuk konsumsi publik. Bahkan hubungan personal pun terasa terkurasi, seperti panggung dengan pencahayaan sempurna.

Gejala fisik Milla bisa dibaca sebagai alergi terhadap gaya hidup borjuis yang memaksanya menyangkal asal-usulnya. 

Dari percakapan Liliana dan Erica (Gisella Anastasia)—teman masa lalu Milla—kita memperoleh informasi lebih detail tentang latar belakang Milla yang merupakan keturunan Tionghoa dari kelas menengah, bukan dari kalangan elite tempat ia tinggal sekarang. Dalam tubuh yang dimodifikasi dan wajah yang “disesuaikan”, Milla telah menghilangkan jejak dirinya sendiri demi menyatu dengan narasi influencer-isme. Tapi tubuh tidak bisa terus berbohong.

Yang menarik, respons tubuh Mila digunakan film ini untuk menandai secara tegas batas antara yang palsu dan yang otentik. Salah satu contoh mencolok adalah ketika Milla duduk menemani Jonathan melakukan siaran langsung di sebuah streaming platform untuk mempromosikan suplemen kesehatan. Kamera menangkap wajah Milla yang kosong; secantik apa pun make up dan busana yang dikenakannya, ia terlihat tidak hidup. Ia lempeng dan tak hadir secara utuh. 

Sebaliknya, ketika ia membersamai tukang kebun di rumahnya menanam bunga, kulitnya kotor, tangannya berlumur tanah, dan hujan membasahi kepalanya, di situ tubuhnya terlihat hidup.

Konflik dengan anaknya, Angel (Mima Shafa), juga memperkuat hal ini. Milla tampak gelisah ketika Angel terlalu serius menghadapi cemoohan di media sosial. Bukan karena ia tidak peduli, tapi karena ia menolak dunia, tempat ujaran kebencian jadi bagian dari “ritual normal.”

Dalam kajiannya, Sarah Hosey menyebut bahwa dalam Safe, penyakit Carol adalah “strategi tubuh untuk melawan keterasingan struktural perempuan dalam sistem patriarki suburban”. Pandangan ini relevan untuk Milla, yang tubuhnya menolak kepalsuan yang hadir di sekelilingnya, yang sedikit banyak, dipengaruhi oleh peranan media sosial yang terlalu prominen.

Baca juga: Rambut dalam ‘Nana’, Tempat Trauma dan Rahasia Digelung Bersama

Alam Sebagai Solusi atau Ilusi?

Film ini juga terasa menyisipkan jejak May December, film Todd lainnya yang bicara soal duplikasi identitas. Ia muncul dalam karakter Erica, teman lama Milla yang hadir kembali sebagai make-up artist dalam acara ulang tahun Liliana (Widyawati). Erica, dalam beberapa momen, menunjukkan keinginan diam-diam untuk menjadi Milla. Ia meniru pose Milla dalam foto keluarga, beberapa kali bersikap genit kepada Jonathan, dan mengenakan gaun milik Milla di ulang tahun Liliana.

Foto: IMDB

Namun, jika dalam May December dinamika imitasi antara karakter utama dan si peniru menjadi pusat ketegangan film, dalam A Normal Woman, elemen itu tidak dieksplor lebih jauh. 

Karakter Erica terasa seperti subplot yang tidak selesai dikembangkan; ia hadir, menimbulkan sedikit friksi, lalu seolah menguap tanpa konsekuensi. Perbandingan ini menarik secara gagasan, tapi tak cukup kuat untuk memperluas kompleksitas cerita. Lucky jauh lebih berhasil saat ia fokus pada hubungan tubuh Milla dengan lingkungannya yang artifisial.

Seiring dengan memburuknya kondisi fisik dan mental Milla, ia mulai merasa tertarik dengan tukang kebun baru di rumah mereka, Hatta (Hatta Rahandy). Ketertarikan ini bukan bersifat romansa maupun seksual, melainkan eksistensial. Hatta adalah representasi dari dunia “nyata”; Hatta adalah representasi dari dunia “nyata”; berkeringat, sehari-hari berinteraksi langsung dengan tanah, dan hidupnya tidak disorot kamera.

Keputusan klimaks Milla adalah kabur dari rumah mewahnya. Ia meninggalkan Jonathan, anaknya Angel memberinya restu, dan pindah ke desa. Dalam adegan akhir, Milla berjalan sendiri di tengah hamparan sawah. Kamera menangkap wajahnya yang tersenyum—sebuah citra tentang ‘kepulangan’, ‘kealamian’, dan ‘kebebasan’. Tapi seperti penutup Safe, adegan ini menyisakan rasa ambigu. Carol di Safe juga meninggalkan rumahnya, hanya untuk masuk ke “gelembung” baru, yakni sebuah fasilitas kesehatan yang hanya menawarkan kesepian dengan kemasan yang berbeda.

Baca juga: Bukan Tanda Perempuan Malas, Ada ‘Rest’ dalam ‘Resistance’ 

Meski di shot terakhir ia terlihat bebas dan damai, pilihan itu tetap menyisakan pertanyaan: apakah benar mendekatkan diri dengan alam merupakan jalan menuju kepulihan yang hakiki? Atau justru, yang Milla lakukan itu ya sesederhana cuma memindahkan tubuhnya secara fisik dari ruang urban ke pedesaan?

Kepindahan Milla ke tempat yang lebih dekat dengan alam, merefleksikan tren escape to nature yang dewasa ini kerap tampak dilakukan oleh kalangan kelas menengah perkotaan Indonesia. Sebuah cita-cita untuk bisa pindah hidup di desa, menjalani “slow living”, dan membangun rumah dengan arsitektur rustic. Hal-hal yang sering kali dilandasi oleh keinginan melarikan diri dari tekanan hidup di kota. 

Namun, alih-alih memutus sistem kapitalisme yang tidak memanusiakan, langkah tersebut kerap berakhir hanya sebatas pergantian kemasan: dari estetika urban yang terkurasi untuk media sosial ke estetika pastoral yang juga merupakan konstruksi visual dan ideologis. Dalam konteks Milla, perpindahan ini berpotensi menjadi transformasi ke bentuk keterasingan baru yang dibungkus oleh fantasi hidup natural.

Ending film dibiarkan tiba di antara dua kemungkinan: awal dari kebebasan atau sekadar babak baru dari keterasingan. 

Lucky menutup film ini tanpa jawaban pasti, membiarkan penonton merasakan ketidakpastian yang sama dengan Milla. Sebuah keputusan yang memperkuat nuansa ambiguitas sebagai inti dari pengalaman menonton A Normal Woman.

About Author

Catra Wardhana

Periset dan penulis yang berbasis di Yogyakarta. Ia menyelesaikan pascasarjana kajian film di University of Edinburgh. Di sela waktu menggarap berbagai pekerjaan paruh waktu, ia suka berburu lotek enak dan bermain bersama dua keponakannya.