#MerdekainThisEconomy: Pesan untuk Putraku: Merdekalah dari Negaramu
Sebagai ibu kepala keluarga yang membesarkan “calon pemuda” Indonesia, setiap hari adalah perjuangan buat saya. Apalagi in this economy di mana harga kebutuhan sehari-hari makin mencekik, mencukupi anak tak pernah sederhana. Karena itu, saat membaca pernyataan Rahayu Saraswati, politisi Partai Gerindra, (25/2) saya cuma bisa geleng-geleng kepala.
Menurut Rahayu, anak muda seharusnya jadi pengusaha alias entrepreneur ketimbang mengeluh soal kerjaan. Jika punya kreativitas, katanya, manfaatkan itu untuk usaha kuliner, fesyen, atau bidang lain. Kalimatnya terdengar harmless, tapi kenyataan tak seindah itu, Ferguso.
Begini, Mbak, enggak semua orang kreatif punya modal finansial, sosial, atau pengetahuan teknis untuk memulai bisnis. Membuka usaha kuliner, misalnya, butuh alat, bahan, listrik, biaya produksi, promosi, dan waktu. Waktu yang tidak semua orang miliki karena harus bekerja memenuhi kebutuhan dasar.
Modal jaringan juga menentukan. Anak muda dengan privilese—seperti Ryu Kintaro, bocah 9 tahun yang viral karena bisnis minuman herbalnya—dapat dukungan penuh orang tua. Mereka bisa fokus pada minatnya tanpa khawatir gagal atau kehilangan tempat tinggal. Bagi kebanyakan anak muda, memulai dari nol kadang seperti memulai dari minus.
Pernyataan “kalau enggak jadi pengusaha, berarti kurang kreatif” terdengar menyalahkan korban. Banyak orang kreatif yang idenya tidak terealisasi karena sistem tidak mendukung.
Saya sendiri sejak 2022 mengirim lamaran kerja, tapi sering hanya mendapat jawaban “akan kami hubungi kembali.” Sambil bekerja serabutan dan menjalankan usaha kecil, saya juga memikirkan sekolah anak, kontrakan, transport, makan, dan kebutuhan sehari-hari. Rasanya seperti bermain “Survival Mode” dengan level boss.
Baca juga: Pajak Amplop Kondangan & Rekening Diblokir: Kebijakan Negara Kok Makin Bikin Warga Bingung?
Merdeka dari Harapan yang Tidak Realistis
Sekarang anak muda disuruh buka usaha. Jika ibunya tidak punya modal atau jaringan, dari mana anaknya bisa mulai, Mbak? Modal tidak turun dari langit. Privilese bukan hanya soal uang, tapi juga jaringan, akses informasi, dan pintu yang terbuka karena mengenal orang dalam.
Kalau pun berhasil membuka usaha, sistem ekonomi tidak sepenuhnya ramah. Pajak ada di setiap sudut, dari keuntungan usaha hingga tabungan. Rasa-rasanya pemerintah sudah menunggu di pojokan sambil membawa kotak pajak. Untung seratus ribu, eh, dipotong sana-sini. Napas pun rasanya seperti dikenai pajak.
Saya menjadi semakin kesal ketika muncul ajakan untuk berinvestasi. Tabungan saja sering kali tidak cukup, apalagi disarankan berinvestasi. Secara teori, investasi memang benar dapat mengalahkan inflasi, menumbuhkan aset, dan mempersiapkan masa depan. Namun, masalahnya, ajakan ini ditujukan kepada WNI yang mana? Kepada mereka yang gaji UMR-nya saja tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan bulanan, atau yang sudah berada dalam posisi mapan seperti Mbaknya?
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), tingkat tabungan masyarakat berpenghasilan rendah sangat kecil, bahkan cenderung nol. Artinya, mayoritas orang hidup dari gaji ke gaji. Sementara untuk dapat berinvestasi—apakah itu saham, reksa dana, emas, dan sebagainya—diperlukan uang sisa setelah kebutuhan pokok terpenuhi. Jika membayar kontrakan saja sudah kesulitan, investasi hanya akan jadi teori belaka.
Baca juga: #GenerasiCemaZ: Dituntut Terus Produktif, Hilang Ruang Buku, Pesta, dan Cinta
Di mata saya, ajakan berinvestasi ini terdengar seperti pesan, “jika miskin, itu kesalahanmu sendiri karena tidak berinvestasi”. Padahal masalah utamanya adalah pendapatan yang terlalu rendah dan biaya hidup yang terlalu tinggi. Pernyataan semacam ini biasanya muncul dari posisi privilese—dari orang yang mungkin tidak pernah mengalami rasanya ke ATM tanggal 20, saldo tersisa 28 ribu rupiah, dan gaji berikutnya masih jauh. Karena itu, mudah sekali bagi mereka untuk berkata “ya buka bisnis saja” atau “ya investasi saja” tanpa memahami realitas lapangan.
Dalam konteks ini, pembicaraan tentang “pemuda harus mandiri” sering dicabut dari konteks struktur sosial dan ekonomi kita. Pemuda lahir dari keluarga, dan keluarga itu membiayai hidup mereka. Jika orang tua, terutama ibu kepala keluarga seperti saya, sudah terimpit secara struktural, akses kerja sulit, gaji rendah, dan biaya hidup tinggi, jangan heran jika anaknya tidak dapat langsung membuka usaha atau menjadi pengusaha sukses.
Sementara di saat bersamaan, pemerintah tidak hadir secara optimal untuk memberdayakan keluarga tanpa privilese. Bantuan modal usaha ada, tetapi prosesnya rumit, dengan persyaratan yang seolah seperti mengajukan visa ke planet Mars. Akses pendidikan terjangkau? Sekolah negeri saja kini selain prosedur pendaftaran yang rumit, banyak biaya tambahan di luar SPP, dan jumlahnya cukup signifikan jika dihitung setahun. Belum lagi jika anak memiliki minat dan bakat yang perlu diasah—les, kursus, kompetisi—semua itu membutuhkan biaya. Kreativitas saja tidaklah cukup.
Baca juga: Gara-gara Tambang, Tak Ada Lagi Jawa di Masa Depan
Minggu ini anak saya genap 15 tahun. Ulang tahunnya beda tipis dengan ulang tahun kemerdekaan Indonesia. Namun jujur saja, saya merasa dia lahir di negara yang belum sepenuhnya merdeka untuk warganya, terutama mereka dari kelas bawah tanpa privilese. Saya bilang ke dia:
“Nak, bergantunglah ke dirimu sendiri. Karena sekarang pun kamu dianggap beban negara. I will get you out so you can live a better life. Mungkin negara lain bisa lebih mengapresiasimu. Tak apa kamu dianggap nggak nasionalis, yang penting kamu bisa hidup lebih baik dari Ibumu dan keluar dari negara yang pemerintahnya hobi nge-gaslight rakyatnya.”
Pesan saya sederhana: Anak muda perlu merdeka, bukan hanya secara ekonomi, tapi juga dari harapan tidak realistis negara dan sistem yang sering tidak mendukung. Merdekalah anakku. Merdekalah dari negara yang tidak peduli nasibmu.
Dalam rangka peringatan Hari Kemerdekaan RI 2025, Magdalene meluncurkan series artikel #MerdekainThisEconomy dari berbagai POV penulis WNI.
















