December 5, 2025
Issues Lifestyle Opini

Begini Rasanya Hidup Sebagai Introver di Tengah Dunia yang Mengidolakan Ekstrover 

‘Social battery’ introver enggak selalu full, dan itu normal. Kadang diam atau menjaga jarak sebentar diperlukan untuk menjaga kewarasan.

  • August 14, 2025
  • 7 min read
  • 829 Views
Begini Rasanya Hidup Sebagai Introver di Tengah Dunia yang Mengidolakan Ekstrover 

Dua tiga tahun terakhir, FYP TikTok penuh curhatan soal “social battery habis” dan “quiet quitting versi pertemanan”. Banyak yang mulai sadar, enggak semua orang bisa on setiap saat. Apalagi di dunia yang percaya kalau ngobrol di networking event sama pentingnya kayak bernapas. Sebagai introver, rasanya seperti disuruh sprint maraton tanpa pernah latihan—lelahnya dobel. 

Salah satu contohnya, aku pernah berbohong demi menolak ajakan nongkrong bareng teman. Aku bilang, malam itu harus bantu acara arisan ibu di rumah. Sebuah arisan yang, jujur saja, cuma ada di kepalaku. 

Kami sebetulnya teman dekat. Namun setelah kuliah, apalagi sempat lama tak bertemu karena pandemi, rasanya banyak yang berubah. Saat harus bertemu kembali, aku merasa asing. Canggung. Daripada harus kelelahan di sela-sela keramaian yang tak lagi terasa akrab, aku memilih tak ikut. 

Itu masa-masa ketika aku mengalami social lag. Sebagai mahasiswa baru yang akhirnya mencicipi dunia kampus setelah lama terkurung pandemi, ritme dunia terasa begitu cepat. Teman-teman di jurusanku, entah bagaimana, mudah sekali berbaur.  

Obrolan mereka mengalir ringan. Saling sapa layaknya teman lama yang kembali jumpa. Tak jarang, mereka melanjutkan hari dengan nongkrong di Kantin Taman Korea (Takor) atau Margonda pasca-ngampus.  

Di tengah anak-anak fakultas yang supel dan selalu punya energi buat bersosialisasi, jujur, aku merasa being left behind. Padahal, angka 52 persen E (ekstrover) di Myers-Briggs Type Indicator (MBTI) selama ini seharusnya membuatku tak kesulitan menghadapi keramaian dan dunia baru. 

Di masa-masa kritis itu, aku sering mengutuk diri: Kenapa sih gue enggak bisa kayak mereka? Itu titik yang paling membuatku frustrasi. Sampai suatu hari, aku membaca The Secret Lives of Introverts Inside Our Hidden World (2017) karya Jenn Granneman, pendiri komunitas Introvert, Dear. Buku itu ajaib. Seperti menyimpan jawaban dari segala resah yang kupendam.  

Ternyata, kebingungan dan rasa frustrasi sebagai pendatang di kampus bukanlah tanda ada yang salah dengan diriku. Itu adalah cara tubuhku berbicara. Selama ini, aku terlalu sibuk menjadi versi ideal yang ada di kepalaku, sampai lupa menjadi diri sendiri. 

Sejak membaca buku itu, aku mulai melihat introversion dari kacamata yang berbeda. Aku malah terpantik pada satu pertanyaan: Mengapa selama ini introver dianggap tak ideal? 

Baca Juga: Bagaimana Jadinya Jika si Introver Pacaran dengan Ekstrover? 

Saat Dunia Memuja Ekstrover 

Aku tak ingat persis kapan mulai percaya orang keren pasti ekstrover. Mungkin karena sejak kecil terbiasa melihat orang-orang populer selalu vokal, punya banyak teman, dan berani tampil. Tanpa sadar aku terus berpura-pura menjadi seperti mereka.  

Belakangan aku tahu, penulis dan orator Susan Cain, lewat bukunya Quiet Power the Secret Strengths of Introverts (2016) menyebutnya sebagai extrovert ideal. Sebuah keyakinan yang tumbuh di masyarakat bahwa semua orang seharusnya mampu mencairkan suasana, cepat mengambil keputusan, tak ragu bicara di depan banyak orang, dan fleksibel. 

Standar ini juga punya pengaruh terhadap cara pandang kita soal kesuksesan. Kekayaan dan kekuasaan kerap dilihat sebagai puncak pencapaian dan keduanya lebih mudah diraih lewat networking. Itu senjata yang dimiliki kaum ekstrover. 

Di bawah bayang-bayang itu, sifat introver sering dipandang kurang berharga. Sementara itu, ekstrover diidolakan seakan merekalah tolok ukur keberhasilan sosial. Susan Cain bilang, standar extrovert ideal membuat banyak introver merasa ada yang salah dengan dirinya, hanya karena mereka tidak bersinar di tengah kelompok besar.  

Tak pernah ada yang bilang menjadi introver pun bisa bersinar dengan kekuatan mereka. Yang lebih sering kudengar justru tips bagaimana mengubah introver menjadi ekstrover. Seolah-olah introver adalah kepribadian yang perlu di-upgrade dulu untuk dianggap normal.  

Budaya populer pun turut melanggengkan pandangan ini. Dalam tulisannya di Remake, Siyue Han dari Universitas Washington bilang, acara TV dan film sering melanggengkan stereotip negatif soal introver. Mulai dari anti sosial, pemalu, sampai kesepian, semuanya lekat dengan konotasi tak menyenangkan.  

Ada Peter Parker, si pahlawan super yang penyendiri dan kikuk di sekolah; hingga Sherlock Holmes yang brilian tapi nyaris nirempati. Menurut Siyue Han, representasi yang dangkal dan bias ini membuat introver seolah hanya bisa diterima jika mereka punya kekuatan super atau kecerdasan luar biasa.  

Bagi introver, menjaga raut wajah tetap ceria itu perlu energi besar. Begitu percakapan berhenti, introver akan kembali tenggelam dalam dunia batinnya yang tertutup. Resting bitch face umum terjadi di situasi seperti itu.  

Baca Juga: Setop Bilang Aku Juga Saat Orang Curhat, Kita Cuma Harus Dengar Saja

Menjadi Introver dan Mitos-Mitos yang Hidup di Masyarakat 

Kini aku paham mengapa dulu ikut memandang rendah introver. Hidup di tengah masyarakat yang memuja ekstrover, bias itu meresap pelan-pelan. Ini bikin percaya, ada yang keliru dengan caraku hidup. 

Ternyata perasaan ini bukan cuma milikku. “Alira”, 22, juga mengalaminya. Sebagai introver, ia merasa banyak kesempatan terlewat, mulai dari networking sampai momen sederhana untuk bersenang-senang.  

“Karena aku juga lebih milih di rumah jadi banyak missed opportunity,” kata Alira.  

Ia juga menghadapi persoalan lain. Dengan resting bitch face, ia kerap disangka kurang ramah, padahal ia merasa biasa saja. Bagi banyak introver, ekspresi ini bukan tanda marah atau kesal, melainkan momen untuk berpikir, mengamati, atau sekadar menghemat energi.  

Bagi introver, menjaga raut wajah tetap ceria itu perlu energi besar. Begitu percakapan berhenti, introver akan kembali tenggelam dalam dunia batinnya yang tertutup. Resting bitch face umum terjadi di situasi seperti itu.  

Sebagai kaum introver, “Maureen”, 22, punya kisah serupa.  

“Pernah ada yang bilang aku orangnya susah diajak ngobrol. Alhasil orang di sekitar dia juga berspekulasi yang sama. Padahal mereka enggak tahu aku sebenarnya seperti apa.” 

Komentar itu sempat membuatnya kehilangan kepercayaan diri. Saat bertemu orang baru, Maureen merasa harus selalu tampil ramai dan membuka percakapan lebih dulu. Dari pengalaman itu, Maureen sadar bahwa kesan pertama punya peran besar dalam cara orang menilainya. Jika ingin diterima, ia merasa perlu menunjukkan sisi yang lebih terbuka, terutama saat pertemuan awal. 

Lucunya, aku justru mengenal Alira dan Maureen sebagai sosok yang ramai dan penuh cerita. Kalau sudah nyambung, kami bisa ngobrol lama dan asik banget. Mulai dari curhatan soal cowok, film, politik, sampai hal-hal receh. Jauh dari membosankan.  

Itulah yang bikin aku paham, kesan membosankan pada introver muncul karena orang belum cukup mengenal mereka. Padahal jika sudah merasa nyaman, introver bisa memancarkan sisi yang menakjubkan.  

Salah paham seperti ini kerap membuat introver dipersepsikan sebagai penghuni goa atau anti sosial. Padahal, sama seperti manusia lain, introver juga punya kebutuhan sosial. Bedanya, di dalam diri kami ada semacam baterai kecil yang menyimpan energi untuk berinteraksi.  

Seperti yang dijelaskan Jenn Granneman, ketika energi itu terkuras, introver akan mengalami social burnout. Ini seperti kelelahan setelah bersosialisasi yang membuat kami jadi lebih sensitif, rewel, atau sekadar kehilangan antusiasme. Orang-orang introver tetap suka menghabiskan waktu dengan orang-orang terdekat. Hanya saja, setiap keseruan itu punya harga yang harus dibayar: Kebutuhan untuk menyendiri sejenak.   

Baca Juga: ‘Kamu Enggak Kayak Perempuan Lain’, Itu Bukan Pujian 

Introverts, Let Your Calm Lead the Way 

Kalau harus mengulang waktu, aku takkan berbohong soal arisan fiktif itu. Sebaliknya, aku akan terus terang bahwa sedang tak punya energi sosial. Dengan begitu, aku bisa menjaga kehadiranku tetap utuh kalau benar-benar dibutuhkan.  

Bagi orang-orang sepertiku, Alira, maupun Maureen, energi sosial itu terbatas. Karena itu, kami memilih untuk memberikannya pada hubungan yang benar-benar berarti. Tak heran jika lingkaran pertemanan kami terbilang kecil.  

Kelebihan lain dari introver adalah cara kami memahami jeda di antara kata-kata. Diam memberi kami waktu untuk mendengar, memahami, dan mengamati lebih dalam. Di balik diam itu, banyak hal terjadi dalam diri introver. 

Hanya saja, alih-alih membicarakannya langsung lewat obrolan, kami sering menyalurkannya melalui aktivitas: Menulis jurnal, melukis, menari, berkebun, atau hanyut dalam lamunan itu sendiri. Seperti yang dikatakan Jenn Granneman, kekuatan terbesar introver justru hadir saat bekerja sendiri. Kita bukan hanya mampu bekerja sendiri, tapi sangat menyukainya.  

Justru karena terbiasa merawat dunia batin, kami belajar mengembara jauh dalam pikiran. Bukankah itu keahlian para introver? 

Ilustrasi oleh Karina Tungari

About Author

Safika Rahmawati

Safika adalah sosok yang suka melamun dan punya cita-cita hidup tenang di desa di kaki gunung. Tapi kalau harus tinggal di kota dulu, enggak masalah—asalkan bisa rebahan tanpa rasa bersalah sambil menikmati suara burung gereja di dalam kamar.