Lifestyle

‘Kamu Enggak Kayak Perempuan Lain’ Itu Bukan Pujian

Kalau kamu dengar seseorang bilang kamu “tidak seperti gadis lain,” coba tanyakan: “Siapa gadis-gadis lain itu, dan seburuk apa sih mereka?”

Avatar
  • July 23, 2020
  • 6 min read
  • 1927 Views
‘Kamu Enggak Kayak Perempuan Lain’ Itu Bukan Pujian

Kalian semua pasti pernah menonton film semacam ini. Laki-laki ketemu perempuan. Oh, perempuan ini sungguh berbeda. Dia telanjang kaki di taman sambil membaca sastra Rusia, mengenakan overalls dan dengan sengaja berambut awut-awutan, mengisap rokok dengan jari tangan kiri sementara tangan lain memegang secawan anggur merah. Dia cantik, walaupun dalam standar Hollywood terhitung jelek, tapi dalam kenyataannya dia menawan. Si laki-laki tipe pemalu tapi intelektual. Sangat ganteng, tapi tipe yang suka merenung karena galau.

Yang perempuan kemudian menghabiskan 120 menit berikutnya mengajarkan laki-laki itu cara membebaskan diri dari kegalauannya, semacam panduan spiritual cuma-cuma.

 

 

“Kamu tidak seperti perempuan-perempuan lainnya,” kata laki-laki itu pada si perempuan.

Kamu juga pasti pernah menonton film ini. Seorang gadis berjalan di lorong sekolah SMA di tengah lautan gadis-gadis lain, memeluk buku-bukunya dengan erat. Matanya melirik-lirik dengan gugup dan ia melihat seorang pemuda mendekat. Dia atlet sekolah. Tinggi dengan rambut poni lempar, dikelilingi teman-teman sesama atlet seperti kumpulan llama. Si gadis kutu buku dan introver, sedikit imut. Tapi dengan kacamata seperti itu? Enggak keren banget.

Si gadis kemudian melalui sebuah perjalanan perbaikan diri. Setelah melewati makeover dan krisis identitas, si gadis tetap menjadi dirinya sendiri yang unik, tapi menjadi percaya diri dan terlihat hot banget.

 “Kamu tidak seperti gadis-gadis lainnya,” ujar si cowok atlet kepada sang gadis.

Dalam kedua cerita tersebut, perempuannya sama, hanya ceritanya saja yang berbeda. Yang membedakan adalah si cowok. Di mata Cowok #1, si gadis lemah lembut, tidak berisik atau pecicilan seperti cewek-cewek lain. Buat Cowok #2, ketertarikan si gadis terhadap buku dan kepantasan dianggap aneh. Tapi dia sekarang kelihatan seperti cewek-cewek lain, hanya sedikit lebih menarik saja.

Baca juga: Di Internet, Perempuan ‘Influencer’ Tak Pernah Bisa Jadi Diri Sendiri

Penentu yang sama untuk kedua perempuan tersebut? Dia tidak seperti Gadis Lain. Tapi siapa sih Gadis Lain itu? Gadis Lain adalah gambaran feminitas, yang selalu diperlihatkan dalam dualisme: Perawan atau Pelacur. Gadis Lain senangnya membahas keluarga Kardashian dan mengikuti dandanan mereka dengan bibir tampak tebal dan eyeliner sempurna. Gadis Lain punya rambut yang bisa bikin membuat Rapunzel iri. Gadis Lain adalah perempuan di cerita kitab suci, dongeng anak, dan Instagram.

Gadis dalam cerita-cerita hidup kita bukanlah orang yang tepat buat Cowok #1 dan #2, seseorang yang memiliki prinsip dan minat serupa. Gadis adalah bagian dari kelompok yang si Cowok pikir sama semua. Cowok tidak melihat Gadis sebagai individu yang mandiri, tetapi sebagai versi terbaik dari lawan jenisnya, dan cerminan diri si Cowok.

Cara kita bercerita meletakkan perempuan dalam salah satu dari dua golongan. Perempuan yang supel, atau yang tidak bisa berbaur. Perempuan yang memaksakan diri ke dalam cetakan yang diberikan masyarakat padanya, dan perempuan yang melawannya. Agak bingung untuk mencoba mencari tahu yang mana yang lebih baik. Dalam kedua kondisi tersebut, kelayakan sang perempuan ditentukan oleh laki-laki. Dia harus mengubah diri agar dihormati, atau dia akan diletakkan pada singgasana dan bertanggung jawab untuk membesarkan laki-laki yang serba kekurangan. Keduanya membuat nilai kita diletakkan dalam konteks nilai laki-laki. Kualitas kita hanya diukur dari pasangan kita yang laki-laki, bahkan ketika kita jelas-jelas lebih baik darinya.

Perempuan terus diikat oleh standar-standar ganda karena ide feminitas telah dan terus dipusatkan pada satu bentuk yang kontradiktif.

Perempuan terus diikat oleh standar-standar ganda ini dan meski kedua jawaban itu benar tapi secara inheren keduanya salah. Karena ide feminitas telah dan terus dipusatkan pada satu bentuk yang kontradiktif.

Sepertinya terus ada kepercayaan bahwa jika kamu tidak sesuai dengan persyaratan standar perempuan feminin, maka entah bagaimana kamu berbeda. Tapi kita melihat perempuan berperilaku seperti ini di mana pun. Semua perempuan ini, yang sekarang mungkin menjadi mayoritas, “tidak berperilaku seperti gadis-gadis lain”. Lalu siapa gadis lain ini? Jelas-jelas perempuan masih suka berdandan dan berbelanja (dan mereka bisa saja bicara soal filsafat sambil belanja), tapi dalam pengalaman saya, jumlahnya tidak jauh lebih banyak daripada perempuan yang suka bersepeda atau olahraga lari.

Meskipun perempuan telah mengatasi batasan-batasan yang telah dilekatkan padanya, ekspektasi ini sepertinya masih hidup dan terus berkembang. Perempuan dalam dongeng yang mencakup ide feminitas ini masih berkeliaran di sekitar kita, untuk digunakan sebagai pengukur yang membandingkan kita.

Media terus mendorong naratif “kami vs mereka” terhadap perempuan, dan, sayangnya, life does imitate art dalam banyak cara. Walau saya dan banyak perempuan yang saya kenal telah melawan ekspektasi ini, tetap mudah bagi kami untuk jatuh ke dalam perangkap pemikiran bahwa mayoritas perempuan, perempuan yang tidak pernah kamu kenal, pasti ada di sisi berseberangan. Bagaimana mungkin tidak seperti itu jika kita melihat mereka setiap hari lewat film, televisi dan ponsel kita?

Ya, Instagram penuh dengan citra perempuan ideal. Perempuan yang tampak sempurna. Tetapi ya sampai situ saja, gambar perempuan sempurna, walaupun kita mulai menyadari bahwa standar-standar ini tidak dapat diandalkan untuk merepresentasikan dunia nyata. Perempuan-perempuan ini adalah standar ideal yang dikomodifikasi. Masyarakat menghargai konstruksi perempuan langsing, berkulit terang (atau kecokelatan tergantung kamu ada di belahan bumi mana) dan cantik, karena kita dilatih untuk percaya bahwa ini yang harus kita capai. Perempuan ini bagai dewi dijadikan panutan oleh para perempuan, sadar atau tidak sadar, sambil mereka mencoba membedakan diri dari kelompok kebanyakan supaya dilirik laki-laki, yang pada akhirnya mendorong ketertarikan kita terhadap kecantikan dan kesempurnaan.

Baca juga: Tak Ada yang Aneh dari Perempuan Mendukung Perempuan Lain

Ekspektasi-ekspektasi berlawanan ini membuat perempuan jadi pihak yang kalah dalam permainan cinta. Laki-laki antara menginginkan perempuan di Instagram yang dibuat untuk kesenangannya, (dan jangan salah paham, perempuan-perempuan Instagram ini hanya memanfaatkan sistem yang secara aktif mengotak-kotakkan perempuan—jadi more power to them!) atau “manic pixie dream girl” yang aneh, beda tapi tetap imut, dan dapat menuntun si cowok pemalu dan tidak percaya diri menemukan suaranya. Atau paling tidak itu yang ditampilkan dalam film-film.

Narasi-narasi ini memberitahu perempuan dan laki-laki muda tentang bagaimana hubungan berjalan, dan apa yang seharusnya diharapkan dari lawan jenis (dan saya berasumsi fenomena ini terjadi terutama dalam hubungan heteroseksual). Laki-laki yang mudah terpengaruh mungkin menggunakan lensa ini dalam pencarian si gadis, dan para perempuan mungkin merasa mereka harus memenuhi peran-peran tersebut.

Jadi, lain kali, kalau kamu mendengar seseorang menyebut frasa “tidak seperti gadis lain,” coba tanyakan: “Siapa gadis-gadis lain itu, dan seburuk apa sih mereka?”

Artikel ini diterjemahkan oleh Tabina Amarilla dari versi aslinya dalam bahasa Inggris.



#waveforequality


Avatar
About Author

Grace O’Shannessy

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *